Liputan6.com, Jakarta Penyintas kanker serviks, Shanty Eka bercerita soal pengalamannya saat mengidap kanker leher rahim. Perempuan yang kini bergabung dengan Indonesian Cancer Information and Support Centre Association (CISC) berkisah bahwa kanker serviks diidapnya pada 2016.
Shanty bersyukur karena kanker serviks yang dialaminya sempat memunculkan gejala. Sementara, pada kasus lain ada yang mengalaminya tanpa gejala sehingga terlambat ditangani.
Advertisement
“Awalnya saya mengalami pendarahan yang enggak berhenti-berhenti. Belum waktunya haid, saya sudah haid. Usai berhubungan intim, saya pendarahan. Di samping pendarahan saya juga mengalami sakit yang luar biasa,” kenang Shanty dalam press briefing Hari Kanker Sedunia bersama Kementerian Kesehatan, Kamis (22/2/2024).
Sadar ada hal yang tak beres pada organ intimnya, Shanty pun memutuskan untuk konsultasi dengan dokter spesialis kandungan.
“Saya ceritakan pengalaman saya, tapi dokter bilang kalau saya itu cuma kena miom dan kista awalnya. Jadi dokter menyarankan agar saya segera operasi, diangkat miom dan kistanya.”
Sayangnya, setelah menjalankan operasi pengangkatan kista dan dirawat tiga hari, rasa sakit itu masih ada.
“Bahkan saya mengeluarkan semacam keputihan, tapi keputihan ini tidak berbau dan tidak menggumpal cuman bening aja. Tapi justru ketika cairan bening ini keluar, sakitnya masyaAllah, sakit luar biasa,” jelas Shanty.
Diagnosis Ditegakkan Usai Tes Biopsi
Karena masih menemukan masalah, Shanty kembali menemui dokter yang menanganinya.
“Saya tanya lagi, dan dokter bilang kita periksa dalam. Saat cek, dokter malah balik tanya ke saya ‘cairan ini apa?’ ya saya bilang ‘saya kan orang awam, saya enggak tahu cairan itu apa’ akhirnya dia menyarankan agar saya dibiopsi.”
Setelah melakukan biopsi, hasil menyatakan adanya kecurigaan sel tumor ganas.
“Suami bilang ini kanker, tapi kita belum tahu kanker apa. Akhirnya saya pergi lagi ke rumah sakit di Jakarta (dokter lain) membawa hasil biopsi. Saya diperiksa ulang, baru di situ dinyatakan kalau saya kena kanker serviks stadium satu B.”
Setelah diagnosis ditegakkan, Shanty mulai melakukan operasi, terapi, radiasi luar 25 kali, dan radiasi dalam tiga kali.
“Sampai sekarang ya Alhamdulillah saya menjalankan rutinitas, untungnya saya di komunitas CISC yang bikin saya bangkit kembali jadi saya semangat.”
Advertisement
Harapan Shanty sebagai Penyintas Kanker Serviks
Sebagai penyintas kanker serviks, Shanty berharap pemerintah segera melancarkan eliminasi kanker serviks dengan vaksinasi. Tujuannya tak lain agar tak ada perempuan di Indonesia yang terkena kanker serviks.
“Saya cuman pingin agar pemerintah secepatnya, kalau memang ada program eliminasi tentang kanker serviks saya ingin sekali semua perempuan di Indonesia mendapatkan vaksinasi biar tidak ada yang terkena kanker serviks.”
Usai memiliki pengalaman kanker serviks, kini Shanty rajin mengedukasi perempuan-perempuan di lingkungannya untuk lebih sadar akan bahaya kanker tersebut.
Tak jarang dia juga mengajak kerabat dan orang terdekat untuk melakukan skrining kanker serviks ke fasilitas layanan kesehatan.
“Tapi ya gitu, kesadaran mereka itu kurang. Memang balik lagi ke individu masing-masing, tingkat kesadaran mereka untuk skrining, pap smear, tes HPV balik lagi ke orangnya. Jadi pemerintah bagaimana nih secepatnya agar anak-anak juga dapat vaksinasi.”
Keterlambatan Penanganan Pengaruhi Ketahanan Hidup
Mendengar kisah ini, dokter kebidanan dan kandungan konsultan onkologi ginekologi Brahmana Askandar Tjokroprawiro menanggapi soal kanker serviks yang tak langsung terdiagnosis saat konsultasi pertama yang dilakukan Shanty.
Menurutnya, setiap keterlambatan penanganan akan memengaruhi ketahanan hidup pasien. Ukuran yang diterapkan pada kanker adalah prognosis, angka ketahanan hidup lima tahun.
“Semua kanker itu selalu demikian untuk menggambarkan tingkat kesembuhan. Contoh, pada kanker serviks stadium satu angka ketahanan hidup lima tahun mencapai 90 persen,” kata Brahmana menjawab pertanyaan Health Liputan6.com dalam acara yang sama.
Angka ketahanan hidup 90 persen artinya jika ada 100 orang yang terkena kanker serviks stadium satu, maka lima tahun kemudian 90 orang masih hidup.
“Itu menggambarkan kanker prognosisnya demikian. Otomatis, semakin tinggi stadium, semakin terlambat, prognosis juga semakin turun alias angka ketahanan hidupnya semakin rendah.”
Contoh, kanker serviks stadium satu angka ketahanan hidupnya 90 persen, sementara kanker serviks stadium empat angka ketahanan hidupnya turun jadi 20 persen.
Advertisement