Kripto Sumbang Pajak Rp 39,13 Miliar ke Kantong Negara

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat pada Januari 2024 telah mengumpulkan sebanyak Rp 71,72 miliar yang berasal pajak kripto dan financial technology.

oleh Tira Santia diperbarui 22 Feb 2024, 20:50 WIB
Ilustrasi Kripto. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat pada Januari 2024 telah mengumpulkan sebanyak Rp 71,72 miliar yang berasal pajak kripto dan financial technology. (Foto By AI)

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat pada Januari 2024 telah mengumpulkan sebanyak Rp 71,72 miliar yang berasal pajak kripto dan financial technology.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo, merinci pajak yang berasal dari kripto berhasil terkumpul Rp 39,13 miliar, sementara sisanya yakni 31,59 miliar dari financial technology.

"Bahwa untuk pajak kripto saat ini sudah terkumpul di bulan Januari di angka Rp 39,13 miliar," kata Suryo saat konferensi pers APBN KiTa edisi Februari 2024, secara virtual, Kamis (22/2/2024).

Lebih detailnya, untuk pajak kripto tercatat sebanyak Rp 18,2 miliar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, kemudian Rp 20 miliar dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi kripto.

Sementara untuk fintech berbasis peer to peer lending (P2P), dari Rp 31,59 miliar tersebut rinciannya berasal dari PPh pasal 23 sebanyak Rp 20,5 miliar berasal dari PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 sebanyak Rp 12,09 miliar.

Sebagai informasi, Kemenkeu mencatat realisasi pendapatan negara pada Januari 2024 mencapai Rp215,5 triliun atau setara 7,7 persen terhadap APBN. Diketahui pagu anggaran yang ditentukan tahun ini adalah Rp2.802,3 triliun.

Penerimaan Perpajakan

Pendapatan negara ini didukung oleh penerimaan perpajakan yang mencapai Rp172,2 triliun atau setara 7,5 persen dari target APBN sebesar Rp2.309,9 triliun.

Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp149,2 triliun, atau baru mencapai 7,5 persen terhadap target APBN yang sebesar Rp1.988,9 triliun.


Sri Mulyani: Ekonomi Global 2024 Masih Lemah, Indonesia Justru Tumbuh Positif

Sri Mulyani. (Foto: Instagram/smindrawati)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perekonomian global di tahun 2024 masih dalam posisi yang lemah, meskipun inflasi secara global mengalami penurunan.

Hal itu dipengaruhi oleh kondisi geoolitik dan  ekonomi global yang perlu mewaspadai, karena situasinya tidak membaik dan bahkan ada ketegangan-ketegangan baru.

"Perekonomian global 2024 diperkirakan masih dalam posisi yang lemah, dimana meskipun inflasi mengalami moderasi atau penurunan namun belum serta merta menurunkan suku bunga yang melonjak cukup tinggi dalam 18 bulan terakhir," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Februari 2024, secara virtual, Kamis (22/2/2024).

Apalagi kata Sri Mulyani, dilihat dari ramalan lembaga dunia seperti IMF, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,1 persen. Kemudian, World Bank memproyeksikan  2,4 persen atau lebih rendah dari kinerja perekonomian global tahun 2023.

Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 5 persen. Artinya, masih relatif dalam posisi yang cukup baik dibandingkan negara G20 maupnun di ASEAN.

Lebih lanjut, kata Menkeu, perkembangan inflasi global yang mulai menurun memberikan harapan akan terjadinya penurunan suku bunga, namun ini diperkirakan baru akan terjadi pada semester kedua.

 


Sisi Risiko

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perekonomian global di tahun 2024 masih dalam posisi yang lemah, meskipun inflasi secara global mengalami penurunan.

Disisi risiko, ia melihat bahwa bagi negara-negara yang waktu 4 tahun lalu menggunakan instrumen fiskalnya untuk menghadapi pandemi covid, situasi inflasi serta suku bunga yang tinggi dalam jangka panjang, membuat ruang kebijakannya, baik fiskal maupun moneter diberbagai negara menjdi sangat terbatas.

Menurutnya, hal ini tidak dalam posisi yang menguntungkan, karena perekonomian global dan domestik berbagai negara justru sedang dalam posisi lemah. Dimana biasanya membutuhkan intervensi atau respons dari baik intrumen fiskal maupun moneter, namun space dari kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara sudah sangat terbatas.

"Inilah yang harus menjadi perhatian kita bahwa  kita perlu untuk menavigasi situasi yang sangat rentan dan risiko dari sisi global. Namun Indonesia dalam situasi yang relatif baik," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya