Liputan6.com, Jakarta - Gus Iqdam sempat sedih karena ditipu jemaahnya yang memiliki kelakuan aneh. Dia menipu Gus Iqdam dengan modus mengaku nonmuslim padahal aslinya Islam dengan harapan dapat uang lebih dari Gus Iqdam.
Kala itu, ada sosok pemuda berdialog dengan Gus Iqdam dalam rangkaian Harlah Sabilu Taubah ke-5. Saat itu hadir pula Habib Ali Zainal Abidin atau akrab dipanggil Habib Bidin.
Dalam dialog tersebut ia mengaku nonmuslim dan berasal dari Pulau Bali. Kala itu, usai dialog ia berhasil mendapatkan uang Rp2 juta dari Gus Iqdam.
Baca Juga
Advertisement
Tak hanya mengaku soal agama, pemuda ini juga sekalian mengaku namanya disesuaikan dengan unsur Bali. Ditambah lagi drama yang ia ceritakan dari Bali menggunakan sepeda motor, dan mengaku menginap di Sabilu Taubah.
Namun ada kejanggalan saat dialog, hal ini pun dirasakan oleh Gus Iqdam. bebrapa kali ditanya Gus Iqdam, jawabannya seperti gelagapan. Sebenarnya Gus Iqdam sudah mengikhlaskan dan memafkan kejadian tersebut. Dalam bahasa Jawa, gus Iqdam sudah memberi 'ngapuro'.
"Uwis, uwis tak ngapuro, wonge wes jaluk ngapuro, ojo dibahas meneh," kata Gus Iqdam saat rutinan Kamis malam.
Atas kejadian tersebut, Gus Iqdam minta kepada jemaah lainnya kedepan agar tak mengaku sebagai nonislam demi uang. Karena prinsipnya adalah sedekah dan kebersamaan.
Sikap memaafkan ini sejalan dengan agama Islam. Banyak keutamaan yang akan diperoleh seseorang yang berbesar hati memaafkan orang lain.
Simak Video Pilihan Ini:
Bagaimana Dalil Memaafkan
Lalu bagaimana dalil memaafkan ini?
Mengutip almanhaj.or.id, memaafkan merupakan sifat terpuji dan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan oleh Allah Shubhanahu wa Ta’alla pada para nabi serta hamba -Nya. Berdasarkan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
قال الله تعالى: خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. [al-A’raaf/7: 199].
Dijelaskan lebih tegas lagi dalam bentuk perintah kepada nabiNya, dan umatnya secara umum, Allah berfirman:
قال الله تعالى: وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْمِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka”. [al-Imraan/3: 159].
Demikian juga perintah Allah ta’ala pada hamba-Nya yang beriman secara umum, seperti ditegaskan dalam firman-Nya:
قال الله تعالى: وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [an-Nuur/24: 22].
Advertisement
Inilah Definisi Al 'Afwu
Definisi al-‘Afwu:
Berkata al-Kafawi menjelaskan, “al-‘Afwu artinya ialah tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat padanya) walaupun mampu untuk membalasnya”. Dan setiap orang yang berhak mendapat balasan yang setimpal atas perilakunya, kemudian yang disakitinya tidak menuntut balas dan dirinya ikhlas dan mampu untuk itu, dan ia membiarkannya maka itulah yang dinamakan al-‘Afwu (memaafkan). Dan perbedaan antara al-‘Afwu dengan ash-Shafhu (berlapang dada) sangat tipis, dan keduanya mempunyai kemiripan dalam makna, akan tetapi, bila dikatakan misalkan, “Aku berlapang dada”, yakni bilamana ada orang yang menyakiktiku lalu dia aku maafkan dan biarkan kesalahan dan celaan yang ditujukan padaku”.
Dan ash-Shafhu itu cakupan maknanya lebih luas dari hanya sekedar memaafkan, karena bisa jadi ada orang yang dapat memaafkan namun belum bisa menerimanya, seperti dikatakan, “Aku berlapang dada atasnya”, yaitu manakala dia memprioritaskan untuk membiarkan sambil menerimanya dengan ikhlas. Hal itu, seperti telah disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: فَٱصۡفَحۡ عَنۡهُمۡ وَقُلۡ سَلَٰمٞۚ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk)”. [az-Zukhruf/43: 89].[1]
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah Shubhanahu wa Ta’alla dalam surat an-Nuur diatas dengan mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu, yaitu manakala beliau bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Atsatsah setelah terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah. Maka tatkala turun firman Allah Shubhanahu wa Ta’alla yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, melegakan semua orang dari kaum mukminin, dan merasa bahagia serta tentram atasnya, kemudian Allah Shubhanahu wa Ta’alla menerima taubatnya orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.
Dan atas anugerah dan keutamaan yang Allah Shubhanahu wa Ta’alla berikan, pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak keluarga dan kerabat, dan diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Atsatsah anak dari bibinya, dia seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Dan ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.
Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga orang lain, maka tatkala turun firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
قال الله تعالى: أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [an-Nuur/24: 22].
Artinya balasan yang mereka lakukan setimpal dengan perbuatannya. Sebagaimana Engkau telah mengampuni hamba yang berbuat dosa pada-Mu, Kami juga telah mengampunimu. Dan sebagaimana engkau memaafkan, Kami juga memaafkan kesalahanmu.
Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung mengatakan, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami”.
Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya”.
Ibnu Katsir mengomentari ucapan Abu Bakar tadi dengan mengatakan, “Oleh karena itulah dirinya dijuluki ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya”.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul