Kisah Dahsyat 2 Pemuda Mualaf yang Bikin Orang Sekampungnya Auto Masuk Islam

Salah satu kisah mualaf yang menginspirasi adalah masuk Islam-nya dua pemuda pemimpin kabilah di Madinah. Mereka adalah Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz. Mualafnya dua pemuda ini membuat masyarakat yang dipimpinnya mengikuti ajaran yang diserukan Nabi Muhammad SAW.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 24 Feb 2024, 05:30 WIB
Ilustrasi doa, ibadah, muslim, Islam, mualaf. (Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Mualaf diartikan sebagai seseorang yang baru masuk Islam. Mualaf berasal dari bahasa Arab, artinya orang yang dilembutkan hatinya. Maknanya, orang mualaf telah dilembutkan hatinya untuk memeluk agama Islam.

Mendengar kabar orang mualaf adalah suatu kebahagiaan bagi seorang muslim. Ia berarti memiliki saudara baru yang seiman untuk bersama-sama melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesuai ajaran Islam.

Cerita-cerita seseorang yang baru mualaf selalu menarik perhatian dan menjadi inspirasi bagi banyak orang, khususnya muslim. Tentu perjuangan seorang mualaf hingga mantap menjadi seorang muslim tidaklah mudah.  

Orang yang baru masuk Islam di usia dewasa sebetulnya sudah sejak lama. Namun memang tidak seperti era sekarang, ada media sosial yang kerap menjadikannya viral sehingga kabar mualaf seseorang diketahui banyak orang. 

Jika menilik sejarah, orang yang mualaf alias baru memeluk agama Islam sudah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW sejak diutus oleh Allah SWT membawa ajaran Islam gencar mengajak orang-orang terdekatnya masuk Islam, kemudian kepada masyarakat Makkah hingga akhirnya kepada penduduk Madinah.

Salah satu kisah mualaf yang menginspirasi adalah masuk Islam-nya dua pemuda pemimpin kabilah di Madinah. Mereka adalah Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz. Mualafnya dua pemuda ini membuat masyarakat yang dipimpinnya mengikuti ajaran yang diserukan Nabi Muhammad SAW.

Simak berikut kisah selengkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Dakwah Mush’ab bin Umair ke Pemimpin Kabilah

Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Dikisahkan, Mush’ab bin Umair yang merupakan pemuda cerdas diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai duta Islam berangkat untuk berdakwah ke perkampungan Bani Abdul Asyhal, sebuah kabilah besar di kota Madinah. 

Ia berangkat bersama As’ad bin Zurarah, seorang Muslim yang masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan Sa’ad bin Mu’adz, tokoh pembesar dari kabilah Bani Asyhal.

Menurut para pakar sejarah, Sa’ad bin Mu’adz masih terhitung putra bibi dari ayah As’ad bin Zurarah. Ketika itu, Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair adalah dua pembesar dari kabilah Bani Asyhal yang sama-sama memeluk agama leluhur mereka dan tinggal di Yatsrib.

Merasa tidak enak karena masih memiliki hubungan saudara dengan As’ad bin Zurarah, maka Sa’ad bin Mu’adz mempersilakan Usaid bin Hudhair untuk menemui Mush’ab bin ‘Umair dan As’ad bin Zurarah terlebih dahulu. 

Usaid bin Hudhair pun segera bergegas menemui kedua duta Islam kita ini dengan membawa tombak yang siap dihunuskan kepada keduanya. As’ad bin Zurarah pun datang dengan segenap sumpah serapahnya seraya berkata.

“Apakah kalian datang ke sini dari jauh hanya untuk membodohi orang-orang lemah kami? Menyingkirlah dari sini kalau kalian masih sayang nyawa kalian!” 

Dengan penuh ketenangan, Mush’ab bin ‘Umair menjawab, “Maukah engkau duduk untuk mendengarkan ajaran yang kami serukan, sekiranya engkau rela dengan ajaran kami niscaya engkau dapat menerimanya dan sekiranya engkau benci dengan ajaran kami niscaya engkau dapat meninggalkannya.”

Usaid bin Hudhair seraya mengikat tombaknya menjawab, “Baiklah, aku akan duduk di sini mendengarkan penjelasan kalian.”

Maka, shahabat Mush’ab pun menjelaskan ajaran Islam dengan lemah lembut serta memperdengarkan suara indah lantunan ayat suci Al-Qur’an. Senyum yang berseri-seri pun tergurat dalam wajah Usaid bin Hudhair. Kemudian, Usaid bin Hudhair mengatakan.

“Sungguh indah ajaran kalian, lantas bagaimana cara kalian masuk ke dalam agama yang indah ini?” Mush’ab bin ‘Umair menjawab, “Mandilah, bersihkan badan dan pakaianmu kemudian bacalah dua kalimat syahadat serta dirikanlah shalat.”

Maka, Usaid bin Hudhair pun melakukan apa yang diperintahkan dan menjalankan dua rakaat shalat. Kemudian, Usaid bin Hudhair mengatakan “Sungguh di kota ini ada seorang tokoh (Sa’ad bin Mu’adz) yang seandainya ia beriman maka berimanlah seluruh kaum dan pengikutnya dan aku akan memanggilnya sekarang agar bertemu dengan kalian berdua.”


Sa’ad bin Mu’adz Masuk Islam

Ilustrasi - Perumahan Bani Hasyim dalam peristiwa pengasingan Nabi dan kabilahnya oleh suku Quraisy. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Usaid bin Hudhair pun berlalu dengan membawa tombak kesayangannya untuk menemui kaumnya. Melihat wajah Usaid bin Hudhair yang berseri-seri, kaumnya serta Sa’ad bin Mua’dz merasa kebingungan. Memuncaklah amarah Sa’ad bin Mu’adz, ia merasa bahwa ajaran yang dibawa Mush’ab bin ‘Umair membawa segenap sihir untuk menundukkan hati kaumnya. Sa’ad bin Mu’adz pun bergegas seraya membawa tombaknya,

“Sungguh aku lebih tangguh untuk membunuh keduanya daripada Usaid bin Hudhair”. Sa’ad bin Mu’adz pun menghampiri Mush’ab bin ‘Umair dan As’ad bin Zurarah dengan segenap kemurkaan,

“Keparat kau As’ad bin Zurarah seandainya kita tidak memiliki hubungan kekerabatan niscaya sejak dahulu sudah kutusukkan tombak ini ke kepalamu. Apakah kamu ingin mengepung kabilah kami dengan ajaran yang kami benci?”

Dengan penuh ketenangan, Mush’ab bin ‘Umair mengatakan, “Maukah engkau duduk untuk mendengarkan ajaran yang kami serukan? Sekiranya engkau rela dengan ajaran kami niscaya engkau dapat menerimanya dan sekiranya engkau benci dengan ajaran kami niscaya kami akan menyembunyikan ajaran kami darimu?”

Sa’ad bin Mu’adz seraya mengikat tombaknya menjawab, “Baiklah, aku akan duduk di sini mendengarkan penjelasan kalian.”

Maka, Mush’ab pun menjelaskan ajaran Islam dengan lemah lembut serta memperdengarkan suara indah lantunan ayat suci Al-Qur’an. Senyum yang berseri-seri pun tergurat dalam wajah Sa’ad bin Mu’adz.

Kemudian, Sa’ad bin Mu’adz mengatakan, “Sungguh indah ajaran kalian, lantas bagaimana cara kalian masuk ke dalam agama yang indah ini?” Mush’ab bin ‘Umair menjawab,“Mandilah, bersihkan badan dan pakaianmu kemudian bacalah dua kalimat syahadat serta dirikanlah shalat.”


Seluruh Keluarga Kabilah Bani Asyhal Masuk Islam

Ilustrasi - Ka'bah zaman Makkah kuno. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun melakukan apa yang diperintahkan dan menjalankan dua rakaat shalat. Kemudian, Sa’ad bin Mu’adz pun bergegas mendatangi kaumnya seraya membawa tombak kesayangannya. 

Melihat wajah Sa’ad bin Mu’adz yang berseri-seri, kaumnya semakin merasa kebingungan karena dua tokoh panutan mereka berubah sebegitu cepatnya terhadap ajaran yang diserukan shahabat Mush’ab bin ‘Umair.

Tak perlu menunggu terlalu lama, Sa’ad bin Mu’adz mengumpulkan seluruh keluarga kabilah Bani Asyhal. Ia berkata, “Wahai kaum Bani Asyhal, bagaimana kedudukanku di mata kalian?”

Segenap keluarga kabilah Bani Asyhal menjawab, “Sungguh engkau wahai Sa’ad bin Mu’adz adalah pemimpin kami, panutan kami, dan engkau adalah tokoh yang paling baik pendapatnya serta paling agung derajatnya diantara kami.”

Dengan wajah sangat bangga, Sa’ad bin Mu’adz mengatakan, “Mulai sekarang haram bagiku berhubungan dengan kalian sampai kalian seluruhnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Maka semenjak itu, berbondong-bondong keluarga kabilah Bani Asyhal seluruhnya masuk agama Islam dengan damai tanpa ada sedikit pun darah yang menetas karenanya dan semenjak itu agama Islam semakin banyak dipeluk oleh mayoritas penduduk kota Madinah. 

Dari kisah ini kita mengenal Islam yang damai, yang tidak disyiarkan lewat pedang dan pertumpahan darah, telah dimulai dengan contoh masuk Islamnya penduduk kota Madinah

Kemudian, penduduk Madinah yang telah memeluk Islam dikenal sebagai Anshar (penolong). Setelah hijrah, Nabi Muhammad mempersaudarakan Mush'ab dengan Sa'ad bin Abi Waqqash, atau pendapat lain mengatakan dengan Abu Ayyub al-Anshari, dan dikatakan dengan Dzakwan bin Abdu Qais.

Sumber: Kitab Rijaul Haular Rasul dan NU Online

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya