10 Hari Setelah Pencoblosan, Narasi Kecurangan Pemilu Masih Menggema di Medsos

Sepuluh hari sejak proses pemungutan suara atau pencoblosan masih banyak netizen menyuarakan narasi kecurangan dengan berbagai temuan di lapangan yang kembali diunggah masih mewarnai trending di media sosial.

oleh Tim News diperbarui 24 Feb 2024, 15:10 WIB
Drone Emprit melihat sebagian besar netizen di berbagai platform masih intens mempersoalkan kecurangan pemilu 2024, Sabtu (24/2/2024). (Merdeka.com/Bachtiarudin Alam)

Liputan6.com, Jakarta Sepuluh hari sejak proses pemungutan suara atau pencoblosan masih banyak netizen menyuarakan narasi kecurangan dengan berbagai temuan di lapangan yang kembali diunggah masih mewarnai trending di media sosial.

Demikian hasil pengamatan Drone Emprit yang melihat sebagian besar netizen di berbagai platform masih intens mempersoalkan kecurangan pemilu 2024.

"Kesimpulan, sejak pencoblosan sejak Februari sampai sekarang tren tentang kecurangan pemilu masih tinggi. Ini memperlihatkan perhatian publik dan isu kecurangan warnai pemilu," kata Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, saat diskusi yang diadakan Jaga Pemilu di Jakarta, Sabtu (24/2/2024).

Ismail lantas membagi dua kategori narasi perbincangan di media sosial pada periode waktu sebelum dan setelah pemungutan suara. Pertama, sebelum pencoblosan banyak dipengaruhi Film Dirty Vote, pelanggaran etika Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian banyak netizen yang menilai soal cawe-cawe Presiden Jokowi, seperti pembagian bantuan sosial (bansos) sampai keputusan menaikkan gaji aparat TNI-Polri di tengah masa pemilu yang mengundang kecurigaan.

"Ada persepsi masyarakat terkait integritas pemilu, ada keraguan masyarakat. Ada pemberitaan kecurangan, ketidakpuasan pemilu. Ini tunjukkan ketidakpercayaan publik," ujar Ismail.

Sementara itu, saat dan setelah pencoblosan, lanjut Ismail, netizen ramai membahas terkait proses dan hasil pemilu dengan sorotan adanya kecurangan terstruktur, masif, dan sistematis (TMS).

"Kemudian kecurangan saat dan pasca, ini dibahas di medsos, adanya dugaan kecurangan dari sistem Sirekap. Ini jadi masukan KPU, Bawaslu, untuk audit forensik agar tunjukkan teks seperti diduga," kata Ismail.

"Dan adanya dugaan surat suara tercoblos, dan lain-lain. Ini ada dugaan penting klarifikasi lebih jelas terutama audit forensik," tambahnya.

Sedangkan penjelasan KPU dan Bawaslu terkait pertanyaan dugaan kecurangan pemilu, lanjut Ismail, banyak tidak diterima oleh netizen. Mereka pun ramai-ramai menagih sikap transparansi dan akuntabilitas dari pihak penyelenggara pemilu.

"Lebih tinggi. Ada tuntutan si rekap diaudit. Ada dampak sosial, demo," kata Ismail.


Tiga Parpol Pengusung Anies-Muhaimin Dukung Hak Angket

Koalisi Perubahan berkumpul untuk membahas mengenai hak angket dugaan kecurangan pemilu 2024. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tiga partai politik (parpol) dari Koalisi Perubahan yakni NasDem, PKS, dan PKB menyatakan siap mendukung hak angket dugaan kecurangan pemilu 2024.

Ketiga partai pengusung Anies-Muhaimin itu menunggu langkah konkret PDI Perjuangan untuk ikut menggulirkan hak angket dugaan kecurangan pilpres 2024 ke DPR RI.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai NasDem, Hermawi Taslim, menyebut PDIP sebagai parpol penguasa parlemen mempunyai peran paling sentral untuk memulai hak angket.

"Hak angket itu kan tidak bisa 1 fraksi, minimal 2 fraksi, 25 orang. Begitu mereka mulai, kita pasti ikut," kata Hermawi usai rapat tiga sekjen parpol Koalisi Perubahan di NasDem Tower, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/2/2024) malam.

Kendati menunggu langkah dan sikap PDIP, Hermawi menyebut tiga parpol Koalisi Perubahan tak duduk diam. Mereka fokus mengumpulkan bukti beserta saksi dugaan kecurangan pemilu 2024.

"Tapi kami tidak mau membuang waktu, maka kami rapat sekarang. Jadi nanti kalau mulai proses di DPR, kami sudah suplai data, sudah suplai bukti-bukti, saksi-saksi juga," ujar Hermawi.

Oleh karena itu, Hermawi meyakinkan bahwa Koalisi Perubahan siap bekerja sama dengan PDIP dalam menggulirkan hak angket di Senayan.

"Kita inginkan kebenaran. Kami bersekutu dengan siapa pun di republik ini yang punya itikad baik untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bangsa Indonesia," ucap Hermawi.


Surya Paloh Bakal Temui Megawati, Tindaklanjuti Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu

Megawati, Surya Paloh, dan Puan Maharani. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh, berencana bakal menemui Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.

Meski tidak membeberkan jadwal pertemuan secara rinci, Paloh bakal menyesuaikan dengan kesiapan Megawati.

"Saya pikir mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi. Mudah-mudahan. Barangkali apakah Mbak Mega sudah barangkali mempunyai waktu, pikiran, kondisi yang tepat, itu terserah Mbak Mega aja," kata Paloh di Wisma Nusantara, Jakarta Pusat, Jumat (23/2/2024).

Surya Paloh mengatakan pertemuan bersama Megawati tidak menutup kemungkinan bakal turut membahas tindak lanjut wacana hak angket DPR RI untuk mengusut kecurangan pemilu 2024.

Sebab, kata dia, wacana hak angket kecurangan pemilu 2024 ini pertama kali diusulkan oleh calon presiden (capres) nomor urut tiga, Ganjar Pranowo. PDIP, kata dia, sebagai parpol pengusung Ganjar tidak bisa sendiri untuk maju ke parlemen memperjuangkan hak angket.

"Jangankan Mas Ganjar yang calon presiden, kamu sebagai reporter, sebagai jurnalis menggagas itu hak konstitusional yang ada di negeri kita ini. The idea itu yang paling penting bagi kita," kata dia.

"Kemudian itu masuk enggak dalam common sense kita, saya pikir hak hak konstutisional itu jalan yang mau kita tempuh. Sayang sekali kalau itu diabaikan. Sayang 1.000 kali sayang," sambungnya.


Yusril Sebut Hak Angket Bukan untuk Sengketa Pemilu, Seharusnya ke MK

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra memberikan keterangan pers seusai menggelar pertemuan membahas koalisi besar di Kertanegara, Jakarta, Kamis (6/4/2023). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan untuk mengatasi ketidakpuasaan pemilu 2024, maka bukan dengan menggunakan hak angket, melainkan dibawa ke Mahkamah Kostitusi (MK).

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (22/2/2024).

Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran itu menerangkan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan, salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Dia pun mengungkapkan, UUD 1945 jelas telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Hal ini dimaksudkan agar perselisihan segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," jelasnya.

"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.

Putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum. Sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada chaos yang harus dihindari.

"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," tandas Yusril.

Selain itu, pernyataan pendapat itu harus diputus MK. Kalau MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, tergantung MPR mau apa tidak.

"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," tutup Yusril.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

Infografis 6 Quick Count Lembaga Survei dan Real Count KPU di Pilpres 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya