Deteksi Dini TBC Mirip COVID-19, Ini 7 Langkah yang Dilakukan Kemenkes untuk Percepat Temuan Kasus

Perubahan pendekatan membuat temuan kasus TBC di Indonesia meningkat pada 2022.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 25 Feb 2024, 15:00 WIB
Ilustrasi Temuan kasus tuberkulosis pada 2022 mencapai 724 ribu. Angka ini jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelum COVID-19. Memang apa stratetegi Kemenkes dalam temukan kasus? (Sumber: Illumina Inc)

Liputan6.com, Jakarta Deteksi tuberkulosis atau TBC mirip dengan deteksi COVID-19. Jika tidak dites, dideteksi, dan dilaporkan maka angkanya terlihat rendah sehingga terjadi under reporting. Kondisi itu mengakibatkan pengidap TBC berkeliaran dan berpotensi menularkan karena tidak diobati.

Dengan cara deteksi dini yang lebih masif, pada 2022 kasus TBC di Indoensia ditemukan hingga 724 ribu.

“Sebelum pandemi, penemuan kasus TBC hanya mencapai 40-45% dari estimasi kasus TBC jadi masih banyak kasus yang belum ditemukan atau juga belum dilaporkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Ri, dr. Imran Pambudi di Jakarta mengutip keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.

Jika lebih banyak pasien TBC yang terdeteksi maka selain potensi pengidap dapat disembuhkan juga daya tular dapat ditekan.

Saat ini, Kemenkes tengah meningkatkan deteksi dini dan perluasan layanan TBC berkualitas. Sehingga pengidap TBC yang ditemukan lebih cepat diobati sehingga peluang kesembuhan meningkat.

Berikut tujuh hal yang dilakukan Kemenkes dalam melakukan deteksi dini kasus TBC:

Pertama, pelibatan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), baik pemerintah maupun swasta secara umum di 34 provinsi, khususnya di 19 provinsi prioritas pendekatan public-private mix (PPM).

“Kegiatan pelibatan menyasar kepada rumah sakit (RS), klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) dalam program TBC,” papar Imran.

Kegiatannya mencakup advokasi dan in-house training menyediakan jejaring akses pemeriksaan laboratorium, yakn Tes Cepat Molekuler/TCM dan mikroskopis, dan logistik seperti obat melalui OAT (Obat Anti Tuberkulosis) program dan Bahan Habis Pakai (BHP), termasuk katrid, pot dahak dan lainnya, kepada fasyankes.

“Kemudian, pemberian umpan balik, On the Job Training (OJT), dan monev secara berkala,” kata Imran.


Kedua: Libatkan RS Swasta Besar

Kedua, pelibatan jaringan rumah sakit swasta besar dalam program TBC yang melibatkan enam jaringan RS swasta terbesar di Indonesia, yaitu MPKU PP Muhammadiyah, Hermina, Siloam, Pertamina Bina Medika IHC, Primaya, dan Mitra Keluarga. Total bekerja sama dengan 256 rumah sakit.“

Tentunya, jaringan rumah sakit swasta ini memiliki indikator capaian mencakup target peningkatan penemuan kasus TBC, akses diagnosis sesuai standar dengan TCM, akses obat/OAT program untuk pasien TBC, keberhasilan pengobatan, dan peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan dalam layanan TBC,” terang Imran.

Kemudian, aktif dalam kegiatan intensifikasi skrining TB di rumah sakit, pengiriman umpan balik per triwulan, serta kegiatan monitoring dan evaluasi per semester untuk memantau capaian. Supervisi, OJT, dan bimbingan teknis juga dilakukan kepada jaringan rumah sakit swasta.

Ketiga, pelibatan jaringan rumah sakit dan klinik milik TNI dan POLRI. Jaringan ini meliputi 122 RS TNI dan 57 RS POLRI, serta 619 klinik TNI dan 598 klinik POLRI.

“Kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan peran fasyankes TNI-POLRI dalam skrining TBC. Pengiriman umpan balik per triwulan dan kegiatan monev untuk memantau kontribusi capaian fasyankes TNI dan POLRI,” lanjut Imran.

 


Keempat: Inovasi Pembiayaan Program TBC

Keempat, inovasi pembiayaan program TBC di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Inovasi berupa pemberian insentif non-kapitasi pada layanan TB bagi FKTP yang terlibat meliputi fase diagnosis, pengobatan tahap awal, dan pengobatan tahap lanjutan.

“Inovasi ini diawali dengan uji coba di 6 kota dengan estimasi beban kasus TBC yang besar, yaitu Kota Medan, Kota Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Semarang, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Periode uji coba dilakukan mulai Juli 2023 sampai Juni 2024 nanti,” katanya.

Kelima, pendekatan dalam bentuk Coaching TBC. Dalam hal ini, kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk tenaga kesehatan dalam program TBC di fasyankes.

“Ini bertujuan mewujudkan layanan TBC yang berkualitas dan terstandar di fasilitas layanan kesehatan. Tahun 2023 sudah dilakukan di 28 kabupaten/kota, tahun 2024 diekspansi di 80 kabupaten/kota,” imbuh Direktur P2PM Imran.

 


Keenam: SKP Petugas yang Layani TBC

Keenam, pemberian Satuan Kredit Profesi (SKP) kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam layanan TBC di fasyankes. Ini bekerja sama dengan organisasi profesi dokter, perawat, tenaga farmasi, dan tenaga laboratorium.

Ketujuh adalah berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan lintas program Kemenkes dan lintas lembaga untuk meningkatkan kualitas pelayanan TB di fasyankes.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya