Liputan6.com, Jakarta - Di era modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, burnout menjadi momok yang menghantui banyak orang. Tak Generasi muda seperti Gen Z dan wanita pun tak luput dari burn out.
Dilansir dari Forbes, burnout adalah sebuah kondisi mental yang menggambarkan perasaan kelelahan dan terjebak dalam pekerjaan tanpa adanya peluang untuk berkembang.
Advertisement
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat stres global mengalami peningkatan, dan Gen Z serta wanita menjadi kelompok yang paling rentan terkena burnout. Fenomena ini patut diwaspadai karena burnout dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik, serta performa kerja dan kehidupan pribadi.
Sebuah penelitian terbaru dari Future Forum menunjukkan bahwa stres di tempat kerja telah mencapai puncaknya sejak musim semi 2021. Dari 10.243 pekerja kantor penuh waktu, lebih dari 40% mengatakan mereka mengalami burnout.
Angka ini menandai rekor baru sejak Future Forum mulai meneliti burnout karena pekerjaan pada Mei 2021. Pada saat itu, terdapat 38% pekerja melaporkan burnout seperti mengutip CNBC.
Penelitian ini juga menemukan bahwa wanita dan pekerja di bawah 30 tahun lebih berisiko mengalami burnout. Hampir separuh (48%) dari usia 18 hingga 29 tahun mengatakan mereka merasa kelelahan dibandingkan dengan 40% dari rekan mereka yang berusia 30 tahun ke atas.
Wanita (46%) juga melaporkan tingkat burnout yang lebih tinggi daripada pria (37%).
Para ahli sepakat bahwa stres COVID-19 dan ketidakpastian ekonomi yang saling berpotongan telah memperburuk stres dan ketidakterlibatan pada kelompok-kelompok ini.
Mengapa Burnout pada Gen Z Semakin Menjadi-jadi?
Stres di tempat kerja dapat terjadi berdasarkan berbagai hal. Budaya kerja yang tidak pasti dan kompetitif, diiringi ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan, menjadi faktor utama.
Di masa kini, pekerjaan bukan hanya soal status dan penghasilan, tetapi juga legitimasi, tujuan, dan aktualisasi diri. Batasan antara pekerjaan dan waktu luang semakin kabur dengan teknologi modern yang memungkinkan kita selalu terhubung. Hal ini menyebabkan pikiran kita terus terpaku pada pekerjaan, memicu stres yang berkepanjangan.
Generasi Z dan milenial muda yang memasuki dunia kerja di era pandemi global dan krisis ekonomi, mengalami tingkat stres dan burnout yang tinggi. Kekhawatiran akan inflasi, resesi, dan konflik geopolitik, ditambah dengan minimnya kontrol dan stabilitas dalam karir mereka, menjadi faktor utama penyebabnya.
Psikolog Debbie Sorensen menjelaskan bahwa generasi ini dibesarkan dengan tekanan untuk berprestasi tinggi, namun dihadapkan pada situasi kerja yang kacau dengan peluang yang terbatas. Kebijakan kembali ke kantor yang berubah-ubah, PHK massal, dan pembekuan perekrutan memperburuk situasi dan memicu kelelahan kerja.
Ketidakpastian dan minimnya kontrol atas karir mereka membuat Generasi Z dan milenial muda merasakan kecemasan dan kurang puas dalam pekerjaan.
Kondisi burnout, yang ditandai dengan kelelahan dan kebuntuan dalam pekerjaan, tidak hanya berdampak berat pada individu, tetapi juga organisasi.
Menurut studi Asana yang dilansir dari Forbes, karyawan yang mengalami burnout lebih rentan mengalami penurunan moral (36%), kurangnya partisipasi (30%), membuat lebih banyak kesalahan (27%), dan buruk dalam berkomunikasi (25%).
Risiko mereka untuk meninggalkan perusahaan pun meningkat (25%).
Hal ini menunjukkan bahwa burnout dapat menyebabkan hilangnya karyawan yang kompeten, penurunan produktivitas, dan kerusakan moral dalam organisasi.
Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah dan mengatasi burnout di antara karyawannya.
Advertisement
Kesenjangan pada Penderita Burnout Berdasarkan Gender
Penelitian Gallup menunjukkan bahwa perempuan mengalami tingkat kelelahan kerja yang jauh lebih tinggi daripada pria. Kesenjangan ini bahkan meningkat dua kali lipat sejak tahun 2019.
Ketidakadilan gender menjadi salah satu faktor utama penyebabnya. Perempuan memiliki peluang promosi yang lebih kecil, namun lebih sering menjadi kepala keluarga tunggal dan harus mengerjakan pekerjaan yang tidak dibayar. Hal ini memperparah kelelahan kerja yang mereka alami.
"Pekerjaan perempuan umumnya bergaji lebih rendah, dan banyak di antaranya, seperti di bidang kesehatan dan perawatan lansia, menjadi 'sangat stres' setelah pandemi," kata psikolog Debbie Sorensen.
Krisis perawatan anak yang semakin parah juga menjadi faktor lain yang menambah stres dan frustrasi pada perempuan.
Brian Elliott, pemimpin eksekutif Future Forum, menjelaskan bahwa "kekurangan perawatan anak yang terjangkau dan mudah diakses mendorong perempuan, bukan pria, untuk keluar atau mengubah pekerjaan mereka."
Selain itu, dampak pandemi juga terasa lebih berat bagi perempuan. Butuh waktu tiga tahun bagi perempuan untuk pulih dari kehilangan pekerjaan akibat pandemi, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya membutuhkan waktu kurang dari dua tahun.
Sorensen mengatakan, "Kita belum memiliki waktu untuk pulih dari trauma yang kita alami selama beberapa tahun terakhir." Tekanan untuk terus maju dan bekerja tanpa memedulikan kesehatan mental semakin membebani perempuan dan generasi muda.