HEADLINE: Tarik Ulur Wacana Hak Angket Pemilu 2024, Bakal Lolos di DPR Atau Kandas Tengah Jalan?

Peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai wacana hak angket ini justru akan membuka kecurangan-kecurangan pemilu yang dilakukan oleh semua kubu.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 28 Feb 2024, 00:02 WIB
Ilustrasi Sidang Paripurna Hak Angket DPR. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana hak angket atau hak interpelasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 terus bergulir. Wacana ini pertama kali disampaikan calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang didukung calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan. 

Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai, tujuan digulirkannya hak angket ini hanya satu: pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Diketahui, hak angket merupakan hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Hak angket DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

"Hak angket sasarannya pemakzulan Presiden Jokowi, sebab hasil pemilu tidak bisa diubah," kata Dedi kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa, (27/2/2024).

Menurut Dedi, pemenang pemilu yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetap menjadi pemenang. Sebab pengajuan hak angket ini tidak merambah pada wilayah teknis pemilu. 

Hak angket ini akan menyelidiki apakah presiden melanggar undang-undang atau tidak. "Bagaimana presiden mengintervensi pemilu dan penyalahgunaan kewenangan presiden sebagai kepala negara," ujar Dedi.

Misalnya, masalah Presiden Jokowi yang tidak membicarakan penambahan anggaran bansos di masa kampanye yang jelas-jelas melanggar undang-undang. Kemudian, Jokowi yang mengadakan rapat paripurna membahas program makan siang gratis Prabowo-Gibran. "Itu juga tidak ada dalam rancangan kerja presiden, pelanggaran UU sangat besar," lanjutnya.

Menurut Dedi, hak angket ini akan menentukan apakah Presiden Jokowi turun dari jabatannya sebagai presiden dengan terhormat atau tidak.

"Apakah dia lengser dengan pemakzulan atau soft landing secara status kan berbeda. Kalau dia turun karena pemakzulan berarti dia kriminal negara karena melanggar UU. Kalau soft landing, dimakzulkan setelah dia turun itu beda soal. Tapi apapun itu, hak angket tetap perlu, sebagai kepastian hukum," ujar Dedi.

Dedi menilai, hak angket ini akan terealisasi jika pertemuan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Presiden Jokowi tidak mengubah arah politik. 

"Efektif kalau Nasdem bergabung tapi akan sia-sia kalau Nasdem tidak akan bergabung. Tapi kalau membaca statement Nasdem, saya kira akan tetap konsisten di luar pemerintahan," kata dia.

Diketahui, partai politik di DPR yang kontra terhadap kebijakan pemerintah lebih besar ketimbang yang mendukung pemerintah. Mereka yaitu PDIP, PKS, PKB, Nasdem, dan PPP.

"Tapi PPP tidak memiliki pendirian politik, bisa saja PPP tidak ikut hak angket," tandas Dedi.

Infografis Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Hak Angket DPR Bakal Kandas di Tengah Jalan?

Berbeda dengan Dedi, Direktur Eksekutif Ethical Politics, Hasyibulloh Mulyawan justru menilai hak angket ini akan kandas di tengah jalan. Sebab pemerintah pasti akan melakukan tarik menarik untuk mendekati partai di luar pemerintah.

Apalagi menyusul adanya pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, beberapa waktu lalu.

"Pertemuan antara Jokowi dan Surya paloh memberikan sinyalemen adanya upaya membatalkan proses hak angket di DPR," kata Hasyibulloh kepada Liputan6.com

NasDem, kata dia, bisa menjadi salah satu partai penentu bergulir tidaknya hak angket. Sebab menurutnya, pengusul hak angket perlu menggalang lebih dari setengah kursi di parlemen luar koalisi.

"Kalau misalnya antara koalisi 01 dan 03 bisa bergabung bisa memenuhi 50+1 kursi di DPR, tapi kalau salah satu parpol tersebut tidak mau mengajukan hak angket, maka hal itu tidak akan terjadi sebab 50+1 tidak terpenuhi," kata dia.

Kemudian, kata dia, proses hak angket cukup panjang untuk sampai pada keputusan. Di mana harus ada pengajuan terlebih dahulu, kemudian rapat dan jika disetujui maka akan dibahas lagi. "Dengan waktu menuju pelantikan presiden yang baru itu agak sulit terealisasikan," tandasnya.

Hitung-hitungan Kekuatan Politik di Parlemen

Untuk bisa mengajukan Hak Angket maka para anggota legislatif wajib memenuhi sejumlah syarat. Melansir dari UU Nomor 17 Tahun 2014 berikut ini adalah beberapa syaratnya:

  1. Hak angket wajib diusulkan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
  2. Pengusulan hak angket harus disertai dokumen yang memuat setidaknya materi kebijakan dan atau pelaksanaan UU yang diselidiki dan alasan penyelidikan.
  3. Usulan hak angket diterima jika mendapatkan persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
  4. Keputusan hak angket diambil dari persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna tersebut.

Jika melihat kekuatan politik per fraksi di DPR, persentase anggota parlemen dari PDIP dan tiga partai Koalisi Perubahan yaitu Nasdem, PKB dan PKS sudah mencapai lebih dari 50 persen. 

Total gabungan kursi yang dimiliki keempat partai tersebut mencapai 295 kursi. Itu setara dengan 51,3 persen dari total 575 kursi anggota DPR. Dilansir dari situs resmi dpr.go.id, PDIP memiliki 128 kursi anggota DPR, Nasdem 59, PKB 58 dan PKS 50.

Namun, apabila Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan partai koalisi 03 ikut bergabung, maka keempat partai sebelumnya mendapatkan tambahan sebanyak 19 anggota DPR atau 3,3 persen.

Itu lebih besar dari jumlah anggota DPR koalisi pendukung 02 yang meliputi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Total kursi keempatnya mencapai 261 kursi atau 45,3 persen.

Sehingga jika merujuk pada undang-undang, maka partai politik pro-hak angket sudah memenuhi syarat untuk mengajukan hak angket.


Jadi Ajang Ungkap Kecurangan Pemilu di Semua Kubu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mencetak surat suara Capres dan Cawapres pemilu 2024 dan bakal didistribusikan secara bertahap ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan desain tiga pasangan capres-cawapres. (merdeka.com/Imam Buhori)

Peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai wacana hak angket ini justru akan membuka kecurangan-kecurangan pemilu yang dilakukan semua kubu. Sebab, hak angket bukan merupakan hanya ajang untuk menyerang kubu Prabowo-Gibran tetapi kubu tersebut juga mempunyai kesempatan untuk membeberkan dugaan-dugaan kecurangan yang dilakukan kubu lainnya.

"Jadi ada free and fair, atas nama demokrasi itu duduk sama rendah berdiri sama tinggi, proses pemilu itu harus dipertanggungjawabkan," kata Siti di Jakarta.

Selain itu, dia mengatakan bahwa hak angket jangan dimaknai menjadi sebuah proses pemakzulan terhadap presiden. "Memakzulkan itu kan ada syarat-syaratnya," kata dia.

Ia pun menyarankan bahwa dugaan kecurangan pemilu itu juga tetap diproses secara hukum, melalui Bawaslu ataupun ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga penyelesaian yang diambil, melalui jalur politik dan hukum.

"Jadi kita lembagakan supaya melalui pelembagaan tadi itu, ada semacam formalitas, profesionalitas, ada yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak melalui people power, kerusuhan, ngeri itu," katanya.

Sementara Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi mewanti-wanti agar hak angket kecurangan pemilu tidak memicu kerusuhan jika mengabaikan kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang Undang MD3.

"Sekiranya hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, dikhawatirkan akan timbul gelombang keributan yang lebih besar dari kalangan rakyat yang pro terhadap hasil pemilu. Jangan sampai rakyat dikorbankan demi hasrat elite politik yang haus kekuasaan," kata Haidar Alwi.

Merujuk pada hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI), 83,6 persen rakyat puas terhadap penyelenggaran pemilu dan 76,4 persen menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil.

"Artinya, kalangan rakyat yang dapat dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. Meskipun partai-partai pengusul hak angket jumlah kursinya di DPR lebih besar," ungkap dia.

Selain itu, hak angket sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR mengenai ada tidaknya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pemilu, juga dinilai tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan pilpres tanpa menyertakan pileg.

"Bilamana hak angket dilakukan secara parsial, pilpres saja misalnya, maka motifnya patut dipertanyakan. Keduanya sepaket dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya," tutur Haidar.

Terlebih menurutnya, pileg memiliki potensi kecurangan yang lebih besar ketimbang pilpres. Sebab, proses penghitungan suara pileg biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari setelah proses penghitungan suara pilpres.

Hal ini sesuai dengan Pasal 52 Ayat 2 PKPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

"Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara Pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan," jelas R Haidar Alwi.

"Namun pada malam hingga dini hari saat penghitungan suara pileg dilakukan, TPS makin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan. Akibatnya dapat membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu. Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi," imbuh R Haidar Alwi.

Salah satu bentuk kecurangan pileg yang sering terjadi adalah pencurian atau jual beli suara. Baik antar-caleg maupun antar-partai.

Tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara. Sedangkan di sisi lain ada caleg kaya raya atau caleg anak pejabat yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.

"Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan," kata dia.

Oleh karena itu, menurutnya, jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi. Karena dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.


Tak Berniat Makzulkan Presiden Jokowi?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di acara kampanye akbar Ganjar-Mahfud bertajuk Konser Salam Metal di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (3/2/2024). (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Ketua Tim Demokrasi Keadilan (TDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mendukung hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024, bukan untuk pemakzulan Presiden Jokowi.

Menurut dia, penekanan dari hak angket yang akan digulirkan parpol pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud Md adalah mengungkap dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan Pemilu 2024.

Dia menjelaskan, dari sisi hukum, proses pemakzulan presiden terpisah dari hak angket yang akan digulirkan di DPR RI. Hak angket untuk menemukan intervensi kekuasaan/kecurangan TSM.

"Hak angket bukan untuk pemakzulan. Ibu Megawati juga tidak ingin pemerintahan goyah sampai 20 Oktober 2024, dan Ibu Megawati tidak memerintahkan para menteri dari PDI Perjuangan untuk mundur," kata Todung dalam keterangan tertulis, Senin (26/2/2024).

Lebih lanjut, dia menegaskan, komitmen PDIP bukan untuk memakzulkan Presiden Jokowi, tetapi membongkar dan mengoreksi kecurangan Pemilu 2024.

"Proses pemakzulan itu terpisah dengan angket yang jalan sendiri, tetapi jika bahan hasil angket menjadi bahan untuk pemakzulan itu persoalan lain. Sekarang ini hak angket tidak ada hubungannya dengan pemakzulan," kata Todung.

Todung menyampaikan, dugaan kecurangan Pemilu 2024 terjadi sejak masa prapencoblosan hingga setelah pencoblosan.

Pada masa prapencoblosan, intervensi membuat kekuasaan tidak netral. Hal ini bisa dilihat di media massa dan media sosial. Kemudian, politisasi bantuan sosial (bansos) begitu massif, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi seperti pada Pemilu 2024.

Nilai bansos yang dibagikan bukan dalam jumlah kecil yakni Rp496,8 triliun. Mengutip para ahli psikologi politik, Todung menegaskan, ada korelasi antara perilaku pemilih dengan politisasi bansos. Selain itu, dikte patron penguasa seperti bupati, camat, kepala desa, dan pemuka agama juga mempengaruhi sikap pemilih.

"Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Indonesia, apa yang dikatakan patron itu didengar pemilih," ucap Todung.

Sementara calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengatakan, jika hak angket yang digulirkan di DPR RI untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 dapat berujung pada pemakzulan Presiden Jokowi.

Mahfud menjelaskan, peluang itu terbuka tergantung pada temuan penyelidikan DPR RI.

"Bisa saja, bisa saja, kan tergantung nanti rekomendasinya kan, apa saja. Nanti angket tuh menemukan ini, ini, ini, ditindaklanjuti," kata Mahfud, kepada wartawan di Bentara Budaya Jakarta, Senin (26/2/2024).

Dia menyampaikan, hasil hak angket juga bisa menjadi masalah bagi Presiden Jokowi meski akan lengser pada Oktober 2024.

"Kan sama saja dengan dulu Pak Harto dan sebagainya, sesudah berhenti juga jadi masalah kan," ucap Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud menegaskan bahwa hak angket dapat berjalan beriringan dengan proses penetapan maupun sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena memiliki implikasi yang berbeda.

"Hak angket dan gugatan hukum itu berjalan paralel tapi akibatnya berbeda. Hak angket itu apa pun hasilnya, kapan pun diputuskan, itu tidak akan berpengaruh pada hasil pemilu," ujarnya.

Mahfud menjelaskan, hasil pemilu nantinya akan ditetapkan melalui MK apabila ada gugatan atau oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika tidak ada gugatan.

Sementara, hak angket bertujuan untuk menguji pelaksanaan sebuah undang-undang, dalam hal ini berkaitan dengan dugaan kecurangan Pemilu 2024.

"Misalnya begini, itu Undang-Undang APBN tahun 2024 disahkan pada tanggal 16 Oktober, ya, titik. Lalu pada bulan Desember ada perintah tambahan bansos tanpa mengubah undang-undang, itu bisa diangket, uangnya dari mana, ngalihkannya dari mana," jelas Mahfud.

"Ada lagi istilah bansos hibah. Bansos hibah tuh dari siapa? Itu harus dicatat kalau negara yang membagikan. Kalau enggak, wah timbul pertanyaan," sambung dia.

Tak hanya itu, dia pun menekankan bahwa hak angket tidak akan berdampak pada hasil Pilpres 2024 yang akan ditetapkan oleh KPU.

Dia menyebut, hasil Pilpres 2024 bakal ditetapkan ketika hak angket masih berjalan karena MK hanya diberi waktu untuk memutus hasil pemilu pada 5 April 2024.

Sedangkan, proses hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa berjalan berbulan-bulan.

"Dan itu tidak apa-apa, karena itu menyangkut kebijakan anggaran, itu bisa jalan dan punya akibat hukum yang berbeda," imbuh Mahfud.


Hak Angket Tak Akan Berhasil?

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memimpin Rapat Terbatas Rencana Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu, 28 Desember 2022. (Dok Humas Sekretariat Kabinet RI)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak mempermasalahkan soal adanya isu hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 yang coba digulirkan sejumlah pihak.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan, itu bagian dari hak demokrasi.

"Ya itu hak demokrasi. Enggak apa-apa kan," kata Jokowi kepada wartawan di Ecovention Hall, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (20/2/2024).

Sementara Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Habiburokhman, menyebutkan dalam sejarah selama ini pengajuan hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah lolos.

"Ini sudah 10 tahun, setahu saya enggak pernah ada hak angket yang berhasil lolos. Coba deh cari usulan hak angket soal kenaikan BBM, usulan hak angket soal macam-macam," kata Habiburokhman.

Habiburokhman menyebutkan hak angket sempat digulirkan tahun 2009, namun berakhir pada pemilih yang tidak ada di daftar pilih sepanjang memiliki dokumen bisa memilih.

"Harusnya kemarin kalau dianggap banyak masalah, harusnya yang namanya hak angket itu kan waktu proses, sebelum pencoblosan harusnya. Jadi banyak rekomendasi perbaikan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pemilu," ujar Habiburokhman.

Menurut politikus Partai Gerindra itu, hak angket sengaja dimunculkan dari pihak yang kalah dan tidak terima hasil pilpres 2024.

"Makanya yang disampaikan Prof Mahfud yang kalah cari-cari alasan, yang kalah menuduh pemilu curang, tapi tidak memberikan masukan untuk perbaikan," pungkas Habiburokhman.


Infografis Ragam Tanggapan Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024

Infografis Ragam Tanggapan Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya