Hari Raya Galungan Dirayakan 28 Februari 2024, Ini Makna dan Sejarahnya

Pada 2024, Hari Raya Galungan diperingati sebanyak dua kali.

oleh Novia Harlina diperbarui 28 Feb 2024, 07:00 WIB
Ilustrasi hari raya Galungan. (Photo Copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Raya Galungan, sebuah perayaan penting dalam tradisi agama Hindu di Indonesia, adalah momen yang dinantikan dengan penuh antusiasme dan kegembiraan setiap tahunnya.

Pada 2024, Hari Raya Galungan diperingati sebanyak dua kali. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 7 Tahun 2023 tentang Libur Nasional, Cuti Bersama, dan Dispensasi Hari Raya Suci Hindu di Bali Tahun 2024, Hari Raya Galungan diperingati dua kali pada Rabu, 28 Februari 2024 dan Rabu, 25 September 2024.

Dikutip dari situs resmi Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Hari Raya Galungan datangnya setiap 6 bulan sekali kalender Bali, seperti diketahui penanggalan atau kalender Bali setiap bulannya berjumlah 35 hari, sehingga Galungan datangnya setiap 210 hari sekali tepatnya pada hari Rabu (Budha) Kliwon Wuku Dungulan.

Pada saat perayaan Galungan cukup meriah, karena ciri khasnya setiap warga yang merayakan akan memasang penjor di sebelah kanan pintu masuk masing-masing pekarangan rumah, kantor ataupun perusahaan.

Sejarah Hari Raya Galungan menjadi hal menarik untuk diketahui oleh umat, karena berhubungan juga dengan penamaan beberapa tempat di Bali termasuk sejarah dan latar belakang Pura Tirta Empul di Tampak Siring.

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bertarung atau menang, Galungan juga berasal dari Dungulan yang berarti menang.

Di kalender Bali wuku kesebelas bernama Dungulan sedangkan di Jawa bernama wuku Galungan, namanya memang berbeda, tetapi memiliki arti sama yaitu kemenangan.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan tersebut pertama kali dirayakan di Bali pada hari purnama Kapat tepat Budha Kliwon Dungulan, tanggal 15, tahun saka 804 atau 882 Masehi.

 

 

Makna Hari Raya Galungan

1. Kemenangan Dharma atas Adharma

Galungan memperingati kemenangan Dharma (kebenaran, keadilan, dan ketertiban) atas Adharma (ketidakbenaran, ketidakadilan, dan kekacauan). Ini mencerminkan perjuangan antara kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan manusia.

2. Hormat kepada Leluhur

Hari Raya Galungan juga adalah waktu untuk menghormati leluhur dan roh leluhur yang telah meninggalkan dunia ini. Pemujaan kepada leluhur dilakukan dengan memasang "penjor" (tiang hiasan) di depan rumah-rumah dan memberikan persembahan kepada mereka.

3. Harmoni dengan Alam Semesta

Perayaan Galungan juga menandai kesadaran akan hubungan yang harmonis antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Ini mencerminkan konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan Hindu, yang menekankan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

 


Sejarah Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan memiliki akar dalam mitologi Hindu dan legenda Bali. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah legenda mengenai kemenangan Dharma atas Adharma yang diwakili oleh Dewa Indra melawan raja setan, Mayadenawa.

Menurut legenda tersebut, Mayadenawa adalah seorang raja yang sombong dan berkuasa. Dia menolak untuk memuja Dewa dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Dalam perlawanan untuk memastikan Dharma tetap ada, Dewa Indra turun ke bumi dan berperang melawan Mayadenawa.

Setelah kemenangan Dewa Indra, Galungan diperingati untuk memperingati kemenangan Dharma atas Adharma dan sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang dipulihkan.

Perayaan dimulai dengan upacara di pura (tempat ibadah Hindu), diikuti dengan persembahan makanan kepada leluhur, dan dihiasi dengan penjor yang merupakan simbol dari Gunung Agung, gunung suci bagi umat Hindu Bali.

Dengan menyatukan nilai-nilai agama, budaya, dan sejarah, Hari Raya Galungan tidak hanya menjadi momen keagamaan, tetapi juga sebuah perayaan kebersamaan dan solidaritas di antara umat Hindu Bali serta menjadi daya tarik budaya yang unik bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya