Cuaca Dingin Ekstrem di Mongolia, 2 Juta Hewan Mati

Musim dingin kali ini dilaporkan lebih parah dari biasanya, dengan suhu yang lebih rendah dan hujan salju lebat.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 28 Feb 2024, 19:18 WIB
Musim dingin kali ini lebih parah dari biasanya di Mongolia, dengan suhu lebih rendah dari biasanya dan hujan salju yang sangat lebat. (Foto: AFP/Byambasuren Byamba-ochir)

Liputan6.com, Ulaanbaatar - Lebih dari dua juta hewan di Mongolia mati pada musim dingin ini, ketika negara tersebut mengalami cuaca dingin dan salju yang ekstrem.

Negara yang terkurung daratan ini tidak asing dengan cuaca buruk dari bulan Desember hingga Maret ketika suhu turun hingga minus 50 derajat Celcius di beberapa daerah.

Namun, musim dingin kali ini dilaporkan lebih parah dari biasanya, dengan suhu yang lebih rendah dan hujan salju lebat.

"Hingga Senin (26/2/2024), 2,1 juta ekor ternak mati karena kelaparan dan kelelahan," kata Gantulga Batsaikhan dari Kementerian Pertanian negara tersebut, seperti dilansir CNA, Rabu (28/4/2024).

Menurut data, hingga akhir tahun 2023, Mongolia memiliki 64,7 juta hewan serupa, termasuk domba, kambing, kuda, dan sapi.

Cuaca ekstrem ini dikenal sebagai dzud dan biasanya mengakibatkan kematian sejumlah besar ternak.

PBB mengatakan perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas dzud.

Mongolia telah mengalami enam dzud dalam satu dekade terakhir, termasuk musim dingin tahun 2022 hingga 2023 ketika 4,4 juta ekor ternak mati.

Dzud tahun ini diperburuk oleh kekeringan musim panas yang menghalangi hewan untuk menimbun cukup lemak untuk bertahan hidup di musim dingin ekstrem.


Berharap Cuaca Lebih Hangat

Ilustrasi badai salju. Photo: Unsplash/Maksym Sirman

PBB melaporkan bahwa 70 persen wilayah Mongolia mengalami kondisi dzud atau hampir dzud.

"Musim dingin dimulai dengan salju lebat namun tiba-tiba suhu udara naik, dan salju mencair," kata penggembala, Tuvshinbayar Byambaa kepada AFP.

"Kemudian suhu turun lagi, mengubah salju yang mencair menjadi es."

Es tersebut menyulitkan ternak untuk menerobos ke rumput di bawahnya sehingga menghalangi mereka untuk merumput dan memaksa banyak penggembala meminjam uang untuk membeli pakan.

"Perubahan cuaca sangat mendadak akhir-akhir ini," kata Tuvshinbayar.

Tuvshinbayar dan rekan-rekan penggembalanya hanya bisa berdoa agar cuaca lebih hangat.

"Menjadi penggembala menjadi sangat sulit – kami mengalami kekeringan dan banjir di musim panas dan dzud di musim dingin," katanya kepada AFP.

"Saya akan mulai kehilangan hewan-hewan saya jika salju tidak mencair dalam beberapa bulan mendatang," tambahnya.

"Semua penggembala berdoa agar cuaca lebih hangat agar es ini mencair, sehingga hewan kami dapat (memiliki) rumput."


Dzud Paling Mematikan

Beberapa negara bagian di AS alami malam natal terdingin setelah beberapa dekade. (unsplash.com/Wolfgang Hasselmann)

Dzud paling mematikan yang pernah tercatat terjadi pada musim dingin tahun 2010 hingga 2011, ketika lebih dari 10 juta hewan mati – hampir seperempat dari total ternak di negara tersebut pada saat itu.

Hujan salju tahun ini – yang terberat sejak tahun 1975 – telah menambah kesengsaraan para penggembala, membuat mereka terjebak di daerah yang lebih dingin dan membuat mereka tidak mampu membeli makanan dan jerami untuk hewan mereka dari kota-kota terdekat.

Mongolia adalah salah satu negara dengan populasi paling sedikit di dunia dan sekitar sepertiga dari populasinya yang berjumlah 3,3 juta orang adalah orang nomaden.

Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya