Pengusaha Prediksi Produksi Sawit Turun pada 2024, Ini Penyebabnya

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengatakan, proyeksi tersebut dipengaruhi oleh konsumsi dalam negeri yang terus meningkat

oleh Tira Santia diperbarui 27 Feb 2024, 17:44 WIB
Konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan produksi dan produktivitas industri sawit relatif stagnan dan cenderung turun pada 2024.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengatakan, proyeksi tersebut dipengaruhi oleh konsumsi dalam negeri yang terus meningkat (pangan, biodiesel, oleochemical), volume ekspor cenderung menurun, dan realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sangat rendah, serta dihadapkan dengan sejumlah tantangan.

Adapun tantangan yang dihadapi industri sawit 2024, di antaranya, pertama, masih adanya kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk dalam negeri, kampanye negatifnya berupa adanya buku-buku pendidikan yang negatif terhadap sawit, dan juga di media sosial banyak informasi yang bernuansa negatif. Sementara kampanye negatif luar negeri, yakni diskriminasi sawit melalui EU Deforestasi.

"Kampanye negatif masih terus berlanjut, sawit merambah hutan, luar negeri EU juga terus berubah. Ini kita terus hadapai kita bersama Pemerintah kita tidak sendiri untuk menghadapi kampanye-kampanye ini," kata Eddy dalam konferensi pers Syukuran Ulang Tahun GAPKI ke-43 tahun, di Jakarta, Selasa (27/2/2024).

Tantangan kedua, yaitu tidak jelasnya kepastian hukum dan kepastian berusaha. Seperti banyaknya peraturan dan instansi yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Gapki mencatat lebih dari 31 Kementerian dan Lembaga yang mengatur dan terkait dengan industri kelapa sawit, sehingga menyebabkan tumpang tindih peraturan. Kemudian, kebijakan di dalam negeri yang mudah berubah.

"Lebih dari 31 Kementerian Lembaga yang membingungkan kita. Kepastian hukum ini menjadi tantangan kita," ujarnya.

Di sisi lain, tantangan global yang mempengaruhi industri kelapa sawit pada 2024, di antaranya pertumbuhan ekonomi global masih dilanda ketidakpastian, karena dinamika negara-negara maju yang berdampak ke global.

"Amerika masih dilanda inflasi di atas target, China juga bergulat dengan perlambatan ekonomi, Eropa ekonominya melemah, ini akan menjadi tantangan di 2024," pungkasnya.


GAPKI Prediksi Ekspor Kelapa Sawit Turun Lebih dari 4% pada 2024, Harga Bisa Naik?

Ketua Umum GAPKI Eddy Martono dalam 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook dengan tema “Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty”. (Tira/Liputan6.com)

Sebelumnya diberitakan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan ekspor kelapa sawit akan mengalami penurunan lebih dari 4 persen pada 2024. Penurunan ekspor ini karena pertumbuhan produksi tidak tinggi. 

Ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono bahkan memprediksi peningkatan produksi paling tinggi tidak lebih dari 5 persen.

"Jika mandatori B35 diperpanjang maka kebutuhan domestik Indonesia bisa mencapai 25 juta ton. Dengan demikian, Maka ekspor kelapa sawit di tahun 2024 akan berkurang 4,13 persen atau hanya sekitar 29 juta ton," kata Eddy dalam Pakistan Edible Oil Conference yang diselenggarakan di Karachi, Pakistan, di kutip Selasa (16/1/2024).

Ketua bidang luar negeri GAPKI, Fadhil Hasan, dalam paparannya mengenai industri kelapa sawit Indonesia menyatakan, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleochemichal. Sehingga trend penurunan ekspor sebetulnya sudah terjadi sejak 2020 dengan tujuan ekspor utama yakni China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat.

Penyebab lainnya adalah produksi, Fadhil menyampaikan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2005.

“Periode 2005-2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10 persen, lalu 2010-2015 turun 7,4 persen, kemudian periode 2015-2020 turun 3,2 persen dan seterusnya stagnan," ungkap Fadhil.

 


Indonesia Tetap Mendominasi

Ketua Umum GAPKI Eddy Martono dalam 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook dengan tema “Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty”. (Tira/Liputan6.com)

Adapun Global Research analyst, Thomas Mielke, menjelaskan penurunan produksi kelapa sawit memberikan pengaruh signifikan di pasar global di tengah semakin meningkatnya konsumsi dunia.

Menurutnya, Industri kelapa sawit Indonesia tetap akan mendominasi pasar minyak nabati global yang menguasai 32 persen produksi minyak nabati dan 53 persen ekspor di pasar global di tahun 2024.

“Peningkatan produksi kelapa sawit dalam setahun hanya sekitar 1,7 juta ton atau bahkan kurang. Jumlah ini jauh lebih rendah dari biasanya yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2020 yakni 2,9 juta ton," kata Thomas.

Thomas menilai penurunan produksi utamanya dikarena turunnya produksi sawit Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar. Begitu pula adanya El Nino atau gelombang panas ekstrem di berbagai belahan dunia di akhir tahun 2023 tidak memberikan pengaruh lebih signifikan dibandingkan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia.


Harga Bisa Naik

Ketua Umum GAPKI Eddy Martono dalam 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook dengan tema “Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty”. (Tira/Liputan6.com)

Hal senada diungkapkan analyst Glenauk economic, Julian Conway Mcgill. Menurut Mcgill, produksi yang rendah, program mandatori biodiesel dan juga ketidaktersediaan lahan akibat kebijakan moratorium pemberian izin kelapa sawit oleh pemerintah Indonesia memberikan dampak lebih besar terhadap produksi kelapa sawit secara total ketimbang isu El Nino.

Terkait dengan harga, Director Godrej Internasional ltd, Dorab mistri menyebutkan selain faktor pasokan kelapa sawit Indonesia di pasar yang menurun, kebijakan bioenergi atau biodiesel dan sustainable Aviation fuel (SAF) di berbagai negara juga turut menjadi faktor yang akan mempengaruhi harga pasar di tahun 2024.

Pasalnya hingga kini belum terlihat adanya potensi peningkatan produksi minyak nabati lain dengan kuantitas total yang setara.

Demikian dalam konferensi yang diselenggarakan untuk keenam kalinya tersebut, eskalasi geopolitik global tak kalah menjadi faktor yang mempengaruhi ketidakpastian harga minya nabati global pada 2024.

Selain belum selesainya eskalasi di laut hitam, dampak dari memanasnya laut merah tentu saja harus diantisipasi dengan sangat cermat dampaknya terhadap supply dan juga ketersediaan akses logistik.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya