Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Pertanian Prof. Dr Bustanul Arifin mengatakan produktivitas padi Indonesia masih rendah karena masih bergantung luas panen ketimbang inovasi.
"Produktivitasnya itu rendah sekali," Pengamat Ekonomi Pertanian Prof. Dr Bustanul Arifin saat menjadi pembicara dalam acara Agromaritim Outlook 2024 di Bogor, Selasa (27/2/2024).
Advertisement
Secara rinci, berdasarkan data BPS produktivitas padi pada 2018 sebesar 5,20 ton per hektar. Kemudian pada 2019 turun menjadi 5,11 ton per hektar.
Selanjutnya, di tahun 2020 angkanya naik tipis hanya mencapai 5,13 ton. Namun pada 2021 produktivitas padi mencapai 5,23 ton per hektar. Kemudian pada 2022 produktivitas padi di tanah air hanya mencapai 5,24 ton. Naik tipis di tahun 2023 sebesar 5,26 ton per hektar.
"Jadi sudah jungkir balik, teman-teman di pemerintahan juga sudah berusaha keras meningkatkan produktivitas, tapi hasilnya belum banyak," ucap Wakil Kepala Dewan Pakar Himpunan Alumni IPB ini.
Arifin menyampaikan produktivitas tanaman padi Indonesia masih rendah karena masih minimnya pemanfaatan riset, inovasi, dan adopsi teknologi.
"Karena lebih banyak mengandalkan luas panen makanya begitu luas panen terganggu karena El Nino, produktivitasnya juga tidak akan naik," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah harus segera membuat strategi perubahan untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk. Manajemen inovasi serta sinergi research dan development menjadi sangat penting.
Bustanul menyampaikan bahwa guna meningkatkan produktivitas lahan pemerintah harus memberikan insentif kepada para petani untuk melakukan perubahan teknologi. Selain itu, peningkatan akses pertanian seperti pupuk, benih, mengembangkan smart farming, pertanian presisi, dan digitalisasi rantai nilai.
"Inovasi kita rendah. Secara teori IPB sudah mengembangkan smart farming, tapi belum diadopsi. Jadi ini PR (pekerjaan rumah) bagi kita untuk mem-push teman-teman di pemerintahan untuk bisa mengadopsi ini," kata dia. (Achmad Sudarno)
Harga Pangan Masih Mahal Meski Ada Insentif, Bos Bapanas Sentil Pemda
Sebelumnya, kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, harga pangan dipengaruhi faktor pasokan dan permintaan (supply and demand). Dia meminta ada keterlibatan pemerintah daerah dalam mengendalikan harga pangan di pasaran.
Beberapa bahan pangan masih terbilang mahal bagi kantong masyarakat. Misalnya, Beras Premium Rp 16.370 per kg, Beras Medium Rp 14.300 per kg, Bawang putih bonggol Rp 39.000 per kg, Bawang merah Rp 34.330 per kg.
Lalu, cabai merah keriting Rp 68.570 per kg, daging ayam ras Rp 36.840 per kg, telur ayam ras Rp 29.900 per kg, gula konsumsi Rp 17.640 per kg, hingga minyak goreng kemasan sederhana Rp 17.580 per liter.
"Bahwa ini masalah ini sebenarnya masalah supply and demand. Kalau satu daerah itu angkanya tinggi produksi-nya, satu daerah rendah, ya berarti tinggal kerja sama antar daerah, enggak sesulit yang dibayangkan," ujar Arief di Hotel The Margo, Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).
Dia mengatakan, beberapa bahan pangan bahkan bisa ditanam secara mandiri atau dengan skala-skala yang tak terlalu besar. Contohnya, menanam cabai di kantong-kantong kecil seperti polibag.
"Cabai juga bisa ditanam pakai polibag atau apa, maksudnya, harusnya ini bisa diatasi tidak hanya dari Pemerintah Pusat tapi dari seluruh pemerintah daerah," ujar dia.
Guna mengendalikan harga pangan di pasaran, Arief bilang pemerintah pusat sering menggelar rapat secara rutin terkait Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Salah satu perintahnya adalah melakukan mobilisasi stok bahan pangan dari daerah surplus ke daerah yang kekurangan.
Advertisement
Ada Insentif
Melalui pengendalian stok itu, diharapkan harga jual di tingkat konsumen akhir pun bisa stabil dan bahkan turun.
"Tugas setiap pemda, pimpinan daerah itu kalau ngikutin rapat mingguan dengan Menteri Dalam Negeri mengenai Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) itu tugas pemimpin-pemimpin di daerah untuk memobilisasi, memitigasi, mindahin stok," urainya.
Untuk menggenjot hal tersebut, Arief menegaskan pemerintah juga telah mengalokasikan insentif berupa bantuan dana untuk mobilisasi bahan pangan tadi. Angkanya tak main-main, ada daerah yang mendapat alokasi hingga Rp 11 miliar.
"Ada insentif fiskal dari Menteri Keuangan yang bisa dipakai, beberapa daerah itu dapat Rp 11 miliar, Rp 10 miliar itu uangnya dipakai buat mobilisasi stok," tegas dia.
Peluang Harga Beras Turun
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan saat ini harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sudah mulai turun. Menurutnya, hal ini bisa mempengaruhi harga beras di pasaran.
Arief mencatat, harga rata-rata nasional GKP sudah menyentuh Rp 7.100 per kilogram. Angka ini dinilai mengalami penurunan dari sebelumnya yang pernah mencapai Rp 8.600 per kilogram.
"Harga gabah sendiri sudah terkoreksi mulai dari Rp 8.600, Rp 8.000, rata-rata nasional hari ini Rp 7.100 (per kilogram). Biasanya kalau harga beras itu apa kata harga gabah," ucap Arief di Hotel The Margo, Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).
Advertisement