Soal Penanganan Kasus Pelecehan Seksual di Universitas Pancasila, Komnas Perempuan Beri 4 Pernyataan

Terkait proses penanganan kasus pelecehan seksual di Universitas Pancasila, Komnas Perempuan mengemukakan empat pernyataan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 28 Feb 2024, 16:13 WIB
Sejumlah mahasiswa Universitas Pancasila melakukan aksi protes akibat kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rektornya. (Foto: Liputan6.com/Ady Anugrahadi).

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila (UP) mendapat perhatian berbagai pihak.

Pelecehan seksual diduga dilakukan oleh oknum rektor berinisial ETH terhadap dua pegawai. Akibat tindakannya, ETH kini dinonaktifkan.

Salah satu pihak yang memberi perhatian pada kasus ini adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Komisi yang dikenal sebagai Komnas Perempuan saat ini tengah mendalami laporan kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila (UP) sesuai dengan mandat pemantauan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Laporan telah diterima Komnas Perempuan pada 12 Januari 2024. Hal ini disampaikan oleh Komnas Perempuan di Jakarta (26/02) dalam merespons permintaan informasi media massa terkait dengan kasus tersebut.

Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian perempuan pelapor/korban untuk bersuara dan melaporkan kasusnya kepada kepolisian agar ditangani melalui sistem peradilan pidana.

Terkait proses penanganan kasus, Komnas Perempuan mengemukakan empat pernyataan.

Pertama, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian mengacu pada UU TPKS, termasuk dalam memastikan pendekatan penanganan terpadu antara proses hukum dan pemulihan korban.

Kedua, Universitas Pancasila melakukan langkah-langkah sebagaimana dimandatkan oleh Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Juga mengacu pada Permenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Intinya mewajibkan perguruan tinggi sebagai pemberi kerja melakukan penanganan dan pemenuhan hak korban atas pelindungan dan pemulihannya.

Ketiga, mendorong media massa menyajikan pemberitaan yang mengedepankan pelindungan terhadap korban.

Keempat, mengajak masyarakat untuk turut mendukung upaya pelapor/korban kekerasan seksual dalam memproses kasusnya dan untuk pemulihan.


Relasi Kuasa yang Timpang dan Berlapis

Penting diingat bahwa relasi kuasa yang timpang dan kerap berlapis adalah salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual, sekaligus membuat korban enggan bahkan takut untuk melapor.

Apalagi, jika pelaku memiliki posisi yang dapat memengaruhi keberlangsungan penghidupan korban dan keluarganya.

Dalam kasus yang diadukan, pelapor berada pada posisi relasi kuasa berlapis, yakni:

  • Pertama, sebagai perempuan yang dikonstruksikan sebagai subordinat yang berhadapan dengan laki-laki.
  • Kedua, karyawan atau bawahan sebagai penerima kerja dari atasannya.
  • Ketiga, ketimpangan dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan antara perempuan korban dengan terduga pelaku.

Kekerasan Seksual Kerap Terjadi dalam Kondisi Sunyi

Selain itu, kekerasan seksual kerap terjadi dalam kondisi sunyi, tanpa saksi. Akibatnya, keterangan korban pun kerap disangkal dan diragukan kebenarannya.

“Korban karenanya membutuhkan waktu dan dukungan untuk dapat bersuara dan melaporkan kasusnya. Bahkan ada korban yang dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, termasuk nama baik perguruan tinggi,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers, Rabu (28/2/2024).  

Belum lagi, kondisi korban terkait trauma akibat kekerasan yang dialaminya. Karenanya, korban umumnya membutuhkan penguatan terlebih dahulu untuk kemudian berani bicara dan melapor.


Pihak Kampus Perlu Ikut Lakukan Penanganan

Mengingat peristiwa ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi, maka pihak kampus memiliki kewajiban untuk memeriksa secara seksama pelaporan yang ada. Dan melakukan penanganan sesuai dengan Permendikbud No. 30 tahun 2021, termasuk mendukung pemulihannya.

Peristiwa yang diadukan dapat dikategorikan pula sebagai kekerasan seksual di tempat kerja. Sesuai Keputusan Menaker No. 88 Tahun 2023, tempat kerja berkewajiban memiliki mekanisme untuk upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja agar tempat kerja menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi semua.

Dalam penanganan kasus, tempat kerja juga perlu menjamin agar pelapor/korban tidak menderita kerugian akibat laporannya itu, seperti penurunan jabatan, penundaan promosi jabatan dan kenaikan upah, ketidaknyamanan dalam hubungan kerja, dan lain-lain.

INFOGRAFIS: 6 Tips Lindungi Diri dari Pelecehan Seksual (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya