Liputan6.com, Jakarta Entah keyakinan apa yang ada di pikiran Abraham Samad bahwa dirinya memang ditakdirkan memimpin lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Bayangkan saja, dua kali gagal dalam seleksi calon pimpinan KPK tak membuatnya mundur dan mengubur mimpi bergabung di lembaga itu.
Lahir pada 27 November 1966 di Makassar, Sulawesi Selatan, Abraham Samad sudah ditinggal ayahnya, Andi Samad saat menginjak usia sembilan tahun. Sebagai anak yatim, ia dididik ibunya untuk hidup mandiri, tidak minder, dan kuat.
Advertisement
Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional, Makassar pada tahun 1980, Abraham semakin tumbuh menjadi sosok pemberani, kritis, dan peduli sesama teman sekolahnya.
Wataknya yang tidak mengenal kompromi terhadap segala yang dianggap menyimpang kian terbentuk ketika memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik Cendrawasih, Makassar, tahun 1983. Bahkan, karena ingin membela kawan kerap membuat Abraham terlibat perkelahian dengan siswa lain.
Lulus SMA pada usia 17 tahun, ia langsung melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia menggondol gelar sarjana hukum pada usia 26 tahun. Keseriusannya mendalami ilmu hukum dia perlihatkan dengan meneruskan pendidikan magister dan doktor hukum dari kampus yang sama.
Sejak kuliah di fakultas hukum, batin Abraham penuh konflik akan masa depannya. Ibunya berharap setelah lulus sarjana hukum dia menjadi pegawai negeri atau birokrat. Tapi jiwa Abraham yang kuat akan pendirian memutuskan menjadi advokat. Menurut dia, banyak persoalan hukum yang belum berjalan semestinya dan banyak terjadi ketidakadilan terhadap kaum lemah.
Pada usia 30 tahun, dia memulai karier menjadi advokat. Ia mencoba menerapkan ilmu di bangku kuliah untuk menangani berbagai kasus. Dia tumbuh menjadi advokat yang vokal setelah juga memutuskan menjadi aktivis antikorupsi.
Abraham kemudian menggagas mendirikan Anti Corruption Committee (ACC) di Sulawesi Selatan di mana dia menjadi koordinator. LSM ini bergerak dalam kegiatan pemberantasan korupsi, seperti melakukan kegiatan pembongkaran kasus-kasus korupsi di Sulawesi Selatan serta mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang baik serta sistem pelayanan publik yang maksimal.
Salah satu kasus korupsi yang pernah dia bongkar yakni kasus yang melibatkan Wali Kota Makassar. Akibat langkahnya itu, rumah dan tempat usaha milik istrinya dirusak sekelompok orang. Sejak itu pula dia dikenal sebagai tokoh antikorupsi dari luar Jawa.
Tak sampai di situ, Abraham kemudian berusaha menapak lebih jauh dengan mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Usaha pertama dilakukan pada tahun 2007 di mana saat itu dia tidak lolos dalam seleksi dan Antasari Azhar kemudian terpilih sebagai Ketua KPK.
Usaha kedua dilakukan tahun 2010 ketika mendaftar sebagai calon pimpinan pengganti Antasari. Lagi-lagi dia tersingkir. Dalam dua kali upaya itu, namanya tidak lolos sebagai calon yang akan diuji oleh Komisi III DPR.
Tak hanya gagal memimpin KPK, Abraham juga pernah merasakan kepahitan saat mendaftar sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial di mana dia lagi-lagi gagal.
Tak mau menyerah, pada 2011 dia kembali mendaftarkan diri sebagai capim KPK. Hasilnya, meskipun hanya menduduki peringkat kelima hasil uji Panitia Seleksi (Pansel), dia bukan hanya lolos, tapi langsung didapuk sebagai Ketua KPK menggantikan Busyro Muqoddas.
Pada umur 45 tahun, Abraham terpilih menjadi Ketua KPK dengan perolehan suara terbanyak. Ketua KPK termuda ini meraih 43 suara dari total 56 suara dalam proses pemungutan suara di Komisi Hukum DPR RI pada 3 Desember 2011. Bersama jajaran pimpinan KPK lainnya, Abraham dilantik di Istana Negara oleh Presiden SBY pada 16 Desember 2011.
Sepanjang menjabat sebagai Ketua KPK, suami dari Indriana serta ayah dari Nasya Thahira dan Syed Yasin Rantisi ini telah membongkar sejumlah kasus kakap, seperti kasus korupsi Wisma Atlet, kasus Hambalang, gratifikasi impor daging sapi, gratifikasi SKK Migas dan kasus pengaturan Pilkada Kabupaten Lebak.
Kariernya di KPK terhenti setelah pada 17 Februari 2015, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) menetapkan Abraham sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen dan Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara Abraham dari posisi Ketua KPK. Abraham pun kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri.
Muncul dugaan bahwa penetapan Abraham sebagai tersangka adalah buah dari langkah KPK yang menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi, di mana yang bersangkutan merupakan calon Kapolri yang diajukan Presiden Jokowi ke DPR.
Belakangan, Jaksa Agung HM Prasetyo memutuskan untuk mengesampingkan (deponering) perkara yang melibatkan Abraham. Jaksa Agung beralasan, jika proses hukum kasus ini diteruskan akan sangat berpengaruh terhadap semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lantas, apakah setelah tak lagi di KPK langkah Abraham melawan korupsi di Tanah Air ikut terhenti?
Berikut petikan wawancara Ratu Annisaa Suryasumirat dengan Abraham Samad dalam program Bincang Liputan6:
Suka Berantem Demi Membela Teman
Sejak kapan jiwa antikorupsi Abang mulai tumbuh dan apa yang menjadi momentumnya?
Begini, saya ini dari kuliah juga jadi aktivis ya, pernah jadi ketua senat dan lain sebagainya. Pada saat saya jadi aktivis di zaman kemahasiswaan itu kan masih rezim Orde Baru, masih rezim yang sangat represif, yang kebebasan semua dibungkam. Jadi kita terbiasa menghadapi tekanan, tantangan.
Karena terbiasa menghadapi tantangan, tekanan, sehingga perasaan kita, jiwa kita, itu adalah jiwa-jiwa untuk selalu melawan tekanan, kezaliman, melawan kezaliman. Melawan keotoritarian pada saat itu. Jadi itu terbentuk di masa kuliah sebenarnya karena ada situasi.
Semua orang tahu pada saat itu betapa represifnya rezim Orde Baru. Jadi dunia kampus, dunia kemahasiswaan, dunia aktivis itu betul-betul mendapatkan ruang yang luar biasa menghadapi rezim itu.
Jadi momentumnya ketika kuliah ya?
Iya, ketika itu beda dengan sekarang. Kalau sekarang mungkin orang sudah mengalami situasi yang berubah ya, semua serba enak. Kita ceritalah setelah reformasi itu kan sudah nggak ada penindasan, tidak ada pengekangan, pembungkaman. Walaupun sekarang terjadi lagi, orang sekarang dibungkam lagi, dilarang bicara. Kadang-kadang orang dikriminalisasi.
Tapi pernah kita merasakan kebebasan, ketika 1998, 1999 ya, waktu baru selesai reformasi. Jadi itu bedanya sebenarnya, situasi kondisi itulah yang menyebabkan mungkin generasi saya, generasi Baby Boomers mungkin ya. Itu memang kalau dilihat bukan cuma saya yang tipikalnya begitu-begitu, karena pernah mengalami kondisi yang berat dan selalu harus melawan.
Lantas, apakah benar Abang siap pasang badan secara fisik demi membela teman waktu sekolah dulu?
Jadi begini, dulu saya kan di Makassar, bandel-bandel juga nih kita, tapi bandel-bandel dalam artian positif. Bandel-bandelnya suka berantem kan. Jadi selain memang saya suka berantem gitu, suka bela teman, sebenarnya kalau saya hitung-hitung ya, berantem itu bukan karena persoalan saya.
Karena orang lain?
Iya persoalan orang lain. Maka saya pikir sekarang, goblok juga dulu saya ini ya, berantem kok bukan persoalan saya, tapi sudahlah. Itu solidaritas ya, rasa membela teman-teman. Itu yang pertama.
Kemudian yang kedua, dulu ada tradisi di Makassar. Tapi sekali lagi ini jangan dicontoh ya, tidak selamanya tradisi itu betul. Tapi dulu ada semacam tradisi di Makassar, anak laki-laki itu nggak boleh pulang ke rumahnya terus nangis, lapor sama orangtuanya bahwa aku digebukin. Pasti orangtuanya bilang, kamu kembali lagi gebukin dia.
Jadi nggak boleh dulu laki-laki di Makassar tuh, nggak boleh manja gitu. Jadi mungkin itu ya, ada kultur begitu. Sebenarnya itu yang melatarbelakangi.
Kemudian yang ketiga, waktu SMA saya ini olahraganya tinju. Kalau Anda lihat di jidat saya sudah pernah dijahit nih, pecah ya. Hidung saya, apa semua, jadi terbiasalah dengan begitu. Saya itu berhenti olahraga tinju ketika saya masuk kuliah di Unhas.
Zaman saya itu, kita itu ada penilaian di tiga semester. Kalau di tiga semester itu kita tidak capai IPK-nya 3,6 atau berapa ya lupa. Kalau kita nggak sampai itu bisa drop out. Sehingga pada saat itu saya tinggalkanlah olahraga tinju karena saya harus konsentrasi supaya bisa lolos dari tiga semester itu.
Yang jelas sekarang jadi pemberani gara-gara berantem itu?
Ya mungkin begitu. Lebih kepada, saya nnggak sebut sebagai pemberani, lebih sportivitas, membela kebenaran. Jadi kita berantem dulu itu karena di kepala kita sedang membela kebenaran. Sebenarnya itu intinya.
Di kepala saya dulu, ketika saya berantem membela teman saya yang dianiaya, saya selalu mempersepsikan saya sedang membela kebenaran. Jadi itu intinya sebenarnya. Itu persepsi di kepala saya pada saat itu.
Ketika saya membantu teman saya, selalu saya melihat posisi teman saya ini dalam posisi yang tidak berdaya, gitu ya. Jadi saya harus membantunya. Sampai sekarang pun mungkin ada sebagian kecil, namanya dunia anak-anak di SD itu biasa kayak hukum rimba, siapa yang paling kuat itu yang menguasai.
Kalau sekarang istilahnya di-bully. Di zaman SMA itu banyak teman-teman yang lemah, itu sering di-bully. Nah itu saya ambil alih posisi itu. Maksudnya saya lawan itu orang yang bully. Sebenarnya gitu. Tapi sekali lagi, nggak boleh dicontoh ya.
Advertisement
Dua Kali Gagal Sebelum Memimpin KPK
Lulus sebagai sarjana hukum, Abang memutuskan jadi advokat, kenapa tidak jadi hakim atau jaksa?
Jadi begini, saya itu kan tertarik melihat advokat, kenapa? Penegak hukum itu bisa advokat ya, pengacara, bisa hakim, bisa jaksa, bisa polisi. Tapi saya lihat ketiganya ini, hakim, jaksa, polisi ini kan bagian dari pemerintah, itu yang saya tangkap dulu ya.
Jadi kalau kita jadi hakim, jadi jaksa, jadi polisi, itu kan kita masuk ke dalam sistem ya. Kita tidak bisa independen. Maka saya memilih pada saat itu untuk jadi advokat. Sebenarnya itu intinya, sederhana kan?
Jadi saya pikir mungkin dengan jadi advokat saya bisa lebih banyak berbuat untuk orang banyak, membela orang banyak. Itu di benak saya sih sebenarnya pada saat itu. Dan saya melihat banyak ketidakadilan pada waktu saya zaman kuliah kan? Keliling-keliling biasa ke daerah-daerah kan, zaman saya mahasiswa kemana-mana.
Kan pada saat itu rezim sangat represif, banyak melakukan penindasan. Rakyat yang ditindas oleh penguasa, oleh aparat. Saya kan melihat dengan mata kepala sendiri. Sehingga mulailah pada saat itu saya berpikir bagaimana saya membantu orang ini? Sebenarnya sederhana saja.
Abang dua kali gagal dalam seleksi pimpinan KPK, namun tidak membuat Abang mundur, apa yang membuat Abang yakin bakal bisa lolos jadi pimpinan KPK?
Saya itu kan selain advokat juga aktivis antikorupsi di Sulsel ya, di Makassar. Saya juga termasuk salah seorang ketika Undang-Undang KPK pertama mau dibuat ya, yang diundang dari Makassar untuk memberikan masukan-masukan, rumusan-rumusan pertamanya, draft-draft akademiknya.
Maka pada saat itu saya melihat mungkin saya membayangkan ya, waktu undang-undang itu disahkan, inilah tempat yang paling tepat buat saya. Karena saya lihat ini ada sebuah lembaga yang dibentuk sifatnya independen, tidak berada atau tidak di bawah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dia independen, dan dia adalah lembaga penegakan hukum.
Saya pikir luar biasa nih, bayangan saya ini luar biasa. Dia bukan jaksa, dia bukan polisi, tapi dia penegak hukum. Maka saya bilang inilah tempat bagi saya yang tepat. Itu di pikiran saya. Makanya saya kejar terus tuh.
Pertama, saya nggak lolos, kedua, akhirnya bisa. Sebenarnya itu intinya, karena saya sudah lihat ini tempat yang paling tepat nih buat saya dan buat orang-orang yang ingin mengabdikan dirinya untuk pemberantasan korupsi.
Di masa kepemimpinan Abang, kasus mana nih yang dinilai paling berat dan pelik sekali untuk ditangani KPK?
Sebenarnya nggak ada yang berat, nggak ada yang pelik, nggak ada yang ringan. Semua kasus itu kita anggap sama saja ya. Walaupun memang kalau dalam KPK itu ada istilah grand corruption, yang harus ditangani KPK. Jadi di roadmap kita itu dulu waktu di zaman saya, bahwa yang ditangani KPK itu adalah yang disebut grand corruption.
Apa itu grand coruption yang dimaksud? Itu ada dua indikatornya. Jadi bukan saja korup, itu kan kalau terjemahannya grand corruption itu korupsi besar. Apa indikatornya sehingga kasus korupsi itu dianggap besar? Itu ada dua.
Pertama, nilai yang dikorupsi atau nilai kerugian negaranya dan pelakunya. Jadi mungkin bisa saja ada peristiwa korupsi atau ada tindak pidana korupsi yang mungkin kerugian negaranya kecil atau yang suapnya diterima orang itu kecil, tapi karena orang itu penegak hukum, maka itu akan ditangani KPK. Karena itu juga masuk kategori.
Jadi misalnya begini, saya kasih contoh. Seorang hakim ditangkap atau seorang jaksa ditangkap karena dia cuma menerima suap, misalnya tiga ratus juta. Bahkan ada hakim pernah ditangkap seratus juta, orang bilang, itu kan bukan grand corruption. Seratus juta itu kecil.
Tapi Anda lihat, siapa yang melakukan itu? Hakim. Bayangkan, orang ini, dia bisa menentukan tentang keadilan. Jadi kalau dia menyalahgunakan jabatannya untuk menentukan keadilan, ini berbahaya sekali. Maka itu harus ditangani KPK. Sebenarnya itu.
Coba Anda bayangkan, seorang hakim, itu yang bisa menentukan sebuah peristiwa adil apa nggak di tangannya, di palunya kan dia akan menentukan kebenaran seseorang?
Kalau hakim ini menyalahgunakan kekuasannya dengan terima suap, kan bisa saja orang yang seharusnya benar dia salahkan, orang yang salah bisa dibenarkan. Orang ini berbahaya banget kan? Ini kalau ada penjahat nih, penjahat paling sadis. Maka itu harus ditangani KPK.
Poin-poin itu yang menjadi perhatian KPK di masa Abang?
Jadi kita menganggap itu yang harus memang menjadi fokus perhatian KPK. Jadi menurut saya begini, KPK itu harus lebih fokus karena kan dia nggak mungkin memberantas korupsi semua, kan dia terbatas. Pegawainya berapa sih, dia nggak ada di semua provinsi. Makanya itu dia punya roadmap itu harus jelas kasus-kasus apa saja yang dia harus tangani, yang dia harus fokus ya.
Makanya dulu waktu zaman saya, roadmap kita itu fokus terhadap kejahatan korupsi yang sifatnya grand corruption. Itu fokus kita dulu. Karena kalau misalnya begini, semua kita mau tangani yang kecil-kecil, nanti yang besar lewat. Padahal kalau yang kecil itu bisa ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, karena kan mereka ada sampai di level kabupaten. Kalau KPK kan nggak ada di sana. Jadi kita susah menjangkau ya.
Pembusukan terhadap KPK Dilakukan dari Dalam
KPK tak kunjung memiliki ketua yang baru setelah ketua sebelumnya menjadi tersangka kasus pemerasan, bagaimana Abang melihatnya?
Ini adalah sejarah paling buruk dalam sejarah perjalanan KPK. Kenapa ini sejarah paling buruk? Bayangkan, seorang Ketua KPK terjerat korupsi. Pemerasan itu kan bagian dari korupsi, salah satu kejahatan korupsi.
Bukan cuma ketuanya. Kita pernah lihat ada Lili kan, komisioner lain. Itu juga sebenarnya kalau dilakukan penyelidikan lebih intensif dia kena pidana, karena kan dia menerima gratifikasi nonton balap di Mandalika. Tapi kan kemudian cuma diperiksa di etik dan kemudian dia mundur dan selesai.
Padahal sebenarnya nggak begitu. Harusnya dia diminta juga pertanggungjawaban pidananya, dipidanakan seperti Firli. Tapi kan nggak, dibiarkan begitu saja. Belum lagi kalau Anda melihat kejadian kemarin itu ada beberapa pegawai KPK yang disinyalir melakukan pemerasan di Rutan KPK. Ada pula pelecehan seks terhadap keluarga tahanan, macam-macam.
Ini nggak pernah terjadi yang begini-begini. Ini kan luar biasa. Ada sebuah lembaga yang dipercaya masyarakat, tapi di dalamnya bobrok, kan aneh. Sehingga orang bisa nggak percaya. Kenapa ini terjadi? Pegawainya jadi berantakan semua. Kalaupun dulu ada, paling satu, dua, tiga keluar. Lempar keluar, singkirkan, penjarakan supaya yang lain nggak ikut-ikutan.
Kalau dibandingkan antara KPK di masa kepemimpinan Abang dengan sekarang, apa yang paling berbeda?
Ah ini menarik. Pertama, menurut saya ini ada sebuah desain ya. Ada sebuah desain yang luar biasa, desain atau skenario untuk melemahkan KPK. Pertama, ada dua yang dilakukan. Merevisi Undang-Undang KPK yang lama dengan undang-undang baru KPK tahun 2019, dan hasil revisi itu saya sudah baca pasal per pasal, itu semua tidak ada satu pun alasan yang saya bisa menyatakan bahwa undang-undang baru itu menguatkan.
Justru setelah saya membaca pasal per pasal, yang ada undang-undang yang baru itu hasil revisi undang-undang lama, itu melemahkan KPK. Pertama kita bicara pasal. Jadi memang undang-undangnya dibuat sedemikian rupa sehingga KPK itu menjadi lemah, lemah dalam pemberantasan korupsi dan lemah dari segi infrastruktur kelembagaan.
Kemudian setelah undang-undangnya direcokin, maka yang kedua dilakukan yang namanya infiltrasi pimpinan KPK ke dalam lembaga KPK. Dimasukkanlah orang-orang yang moralnya bobrok untuk memimpin KPK. Agar supaya apa? Agar supaya KPK-nya berantakan. Dia keropos dari dalam.
Karena kalau kita ingin menghancurkan KPK itu dengan serangan dari luar, itu kan akan kelihatan. Orang bisa berbondong-bondong, rakyat Indonesia akan datang membela KPK. Tapi kalau pembusukannya itu dari dalam, itu kan nggak kelihatan. Maka itu yang dilakukan.
Pertama revisi, kemudian dimasukkanlah orang-orang yang bobrok, pimpinan-pimpinan yang tidak bermoral. Nah itu yang terjadi sekarang ini. Makanya kasus Firli ada, kasus Lili ada. Itu menurut saya akal sehat kita tidak bisa menerima ada seorang pimpinan KPK melakukan korupsi, padahal ini lembaga antikorupsi yang dipimpin.
Bisa nggak kita terima akal sehat gitu? Kan Nggak bisa kan? Kalau misalnya orang lain korupsi mungkin kita masih pikir-pikir oh iya ya, mungkin ya. Tapi kalau seorang pimpinan lembaga antikorupsi yang juga melakukan korupsi, tidak masuk di akal sehat kita. Kayak dunia runtuh nih, kan gitu. Itu yang terjadi di KPK sekarang sebenarnya.
Ironis ya?
Nah, bahasa itu yang paling tepat, ironis. Kira-kira seperti itu. Sehingga itulah yang menyebabkan KPK hancur seperti sekarang. Padahal sebenarnya kalau kita mau lihat, kekuatan KPK selama ini adalah dipercaya oleh rakyat. Trust, itu kekuatan terbesar yang dimiliki KPK selama ini.
Jadi ketika kekuatannya itu hilang, masyarakat sudah nggak percaya, maka KPK menjadi lemah, dia menjadi tidak berdaya dan itu yang terjadi sekarang.
Titik baliknya itu adalah pada saat undang-undang mulai direcoki?
Ya direvisi, salah satu contohnya misalnya. Ini contoh saja, belum kalau saya bahas pasal per pasal, nggak cukup waktu kita. Tapi yang sederhana saja. Di dalam undang-undang baru, itu meletakkan kelembagaan KPK itu bukan lagi sebagai lembaga yang independen. Tapi di situ jelas-jelas di dalam undang-undang baru disebutkan bahwa lembaga KPK itu adalah lembaga yang berada di bawah rumpun eksekutif.
Jelas kan bahwa dia bagian dari eksekutif. Dulu di undang-undang lama disebutkan bahwa lembaga KPK adalah lembaga independen, bebas dari pengaruh eksekutif, legislatif, yudikatif. Tapi di undang-undang baru itu jelas-jelas dinyatakan bahwa dia bagian dari rumpun eksekutif. Oleh karena dia bagian dari rumpun eksekutif, maka pegawainya harus ASN, pegawai negeri sipil.
Maka kemarin kan seluruh pegawai KPK itu dilakukan asesmen ulang untuk jadi pegawai negeri sipil. Dalam asesmen ulang itulah yang dilakukan Firli dan kawan-kawan itu melakukan tes yang namanya TWK, Tes Wawasan Kebangsaan yang dibuat-buat. TWK ini tes yang dibuat-buat, yang direkayasa untuk menyingkirkan 57 orang pegawai KPK, Novel dan kawan-kawan, yang selama ini orang yang bagus integritasnya, orang yang menjaga KPK dan orang yang melawan Firli.
Dan benar kan terjadi bahwa mereka nggak lulus, disingkirkan semua nih. Karena apa? Karena Firli melihat kalau orang-orang ini masih ada di dalam, ini nggak bisa nih dia otak-atik KPK. Dan betul kan, dia berhasil kan ketika 57 orang ini, kan KPK dibuat rontok? Jadi fakta ini yang aku ceritakan bukan fitnah.
Jadi rontoklah itu KPK setelah anak-anak itu keluar semua. Dan yang terjadi sekarang terbukti, terkonfirmasi, nggak bisa dibantah. Kalau ada orang mau bantah sama saya, silakan kita adu argumen.
Jadi kalau mau menanam tanaman yang baru, bibitnya harus bagus ya?
Bibitnya yang harus bagus. Jadi ini ibaratnya bibit yang ditanam ini bibit yang bukan bibit unggul, bibit yang rusak. Jadi dia menghasilkan tanaman yang rusak pula, itulah ibaratnya KPK sekarang. Jadi pimpinan yang ditanam di dalam adalah pimpinan-pimpinan yang bermasalah.
Sekali lagi yang saya ungkapkan bukan fitnah, karena ini terkonfirmasi ketika Firli dilakukan asesmen oleh pansel, itu kan sebenarnya KPK sudah mengirim tentang beberapa pelanggaran etik yang dilakukan Firli ketika menjabat sebagai deputi kan?
Sudah dikirim ke Pansel KPK, sudah dikirim ke DPR. Ini jangan pilih Firli dan kawan-kawan karena punya masalah secara etik. Tapi kan tetap diloloskan, jadi ini kan terbukti bukan fitnah.
Advertisement
Penyebab Koruptor Tak Pernah Jera
Meski sudah ada KPK korupsi sepertinya tidak berkurang, apa yang sebenarnya menjadi masalah dalam pemberatasan korupsi di Indonesia?
Ini menarik. Jadi, sebenarnya ada tiga hal ketika kita ingin melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan berhasil, ada tiga hal yang harus kita lakukan, dan ini dilakukan oleh China yang berhasil melakukan pemberantasan korupsi, apa itu? Ada tiga hal.
Pertama, hukuman yang berat. Kemudian yang kedua, melakukan pemiskinan. Dan yang ketiga, sanksi sosial. Pemiskinan, bagaimana caranya melakukan pemiskinan terhadap koruptor? Yaitu lewat undang-undang perampasan aset. Tapi kan sampai hari ini undang-undang perampasan aset kita tidak pernah disahkan.
Kemudian yang ketiga, harus ada sanksi sosial yang diberikan kepada koruptor dan mantan koruptor. Kenapa saya katakan mantan koruptor? Karena begini, ini paling parah di Indonesia. Tidak pernah memberikan sanksi sosial kepada mantan koruptor. Contoh apa?
Lihat ya, kalau Anda lihat koruptor yang keluar dari penjara, misalnya Anda lihat kayak gubernur apa tuh kemarin, Sulawesi Tenggara atau gubernur saya pun Sulawesi Selatan. Ketika dia keluar dari penjara dengan kasus korupsi, disambut kayak pahlawan baru datang dari medan peperangan, ini disambut ramai gitu. Itu banyak ya.
Mungkin Anda lihat, bahkan ada yang setelah keluar masih bisa menempati jabatan yang prestisius. Misalnya di PPP ada jadi ketua dewan pembina apa dan lain. Kemudian disambut oleh masyarakat, itu kan berarti kita tidak memberikan sanksi sosial.
Bahkan ada juga mantan koruptor yang keluar tiba-tiba jumpa pers kayak pahlawan gitu loh. Dan media ikut-ikutan juga datang ke rumahnya syuting, nah ini kritikan saya terhadap media. Ikut-ikutan ambil gambarnya dan menyebarluaskan jumpa persnya, itu kan membesarkan dia. Harusnya kan media jangan datang syuting dia, itu memberi sanksi sosial.
Karena kalau Anda datang syuting, itu Anda tidak memberikan sanksi sosial, tapi Anda memberikan panggung. Jadi sanksi sosial itu bahasa kasarnya jangan lagi memberikan dia tempat, supaya ada efek jera. Kalau kita memberikan dia tempat, kita memberikan panggung dia, itu kita tidak memberikan dia efek jera. Karena efek jera ini adalah salah satu hukuman yang paling efektif terhadap mantan koruptor.
Bayangkan ya kalau di China. Aku mau cerita, kalau di China, mantan koruptor yang baru keluar, itu kadang-kadang masyarakat juga sama dengan di Indonesia, tidak memberikan sanksi sosial. Harusnya kan sanksi sosial itu kita harus kucilkan dia, jangan lagi diberikan tempat.
Di China pun seperti begitu. Tapi pemerintahnya hebat, pemerintahnya lihat begini, loh kok ini mantan koruptor kadang-kadang dianggap pahlawan, gitu kan. Maka pemerintahnya apa dia lakukan supaya memberikan sanksi sosial? Dia buat undang-undang pembatasan tentang narapidana koruptor, apa yang ada dalam undang-undangnya?
Dia memberikan jeda waktu, jadi mantan koruptor yang akan kembali ke jabatan publik dalam undang-undangnya di situ kembali ke jabatan publik, tidak boleh dipilih di dalam jabatan publik maupun jabatan kayak DPR dalam rentang waktu 30 tahun. Bayangkan, jadi kalau Anda keluar umur 40 tahun, 30 tahun, 70 tahun, Anda sudah nggak bisa apa-apa.
Itu sama saja dengan seumur hidup ya?
Sebenarnya dia mau tulis itu dalam undang-undangnya, kalau menurut saya dia sudah mau tulis itu, tapi tidak bisa lagi. Tapi kalau ditulis begitu kan nanti dianggap melanggar HAM, ya kan? Jadi dia tetap supaya tidak dianggap melanggar HAM itu undang-undang dikasih rentang waktu 30 tahun. Tapi itu kan Anda sudah nggak bisa berbuat apa-apa. Itu yang paling pas.
Itulah cara pemerintah China memberikan sanksi sosial. Kenapa pemerintahnya itu mengambil alih sanksi sosial yang harus diberikan rakyat? Karena dia melihat, wah rakyat saya ini permisif. Seperti juga rakyat Indonesia permisif, makanya pemerintahnya, oh kalau rakyat saya permisif, saya yang ambil alih, dibuatlah undang-undang begitu.
Maka sebenarnya saya imbau masyarakat Indonesia harus memberikan sanksi sosial bagi mantan koruptor. Kalau nggak bisa, pemerintah Indonesia yang ambil alih. Bagaimana caranya mengambil alih? Buat undang-undang begitu. Sebutkan bahwa mantan koruptor itu tidak bisa lagi dipilih ke jabatan-jabatan publik, kalau nggak mau tulis 30 tahun, 25 tahunlah, korting 5 tahun, kan gitu ya kalau nggak mau terlalu keras.
Kemudian pemiskinan. Bagaimana pemiskinan? Di Indonesia juga nggak jalan pemiskinannya karena tidak ada undang-undang perampasan aset. Kan lewat undang-undang perampasan asetlah kita bisa melakukan pemiskinan. Tapi ingat, pemiskinan tidak hanya satu jalan bahwa hanya lewat undang-undang perampasan aset, masih ada jalan lain.
Apa jalan lain? Kita bisa menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Jadi ketika seseorang koruptor dikenakan pasal tipikor, itu kita bisa kenakan juga Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang agar supaya kita bisa menyita asetnya, kita bisa memiskinkan dia.
Artinya sistem hukum kita belum memberikan efek jera?
Sistem hukum itu tidak berdiri sendiri, ada yang disebut criminal justice system. Apa itu criminal justice system? Jadi misalnya begini, kalau pengadilan memberikan hukuman berat, lembaga-lembaga lain yang ada dalam kaitan criminal justice system, misalnya lembaga pemasyarakatan, itu harus juga menunjang vonis hakim.
Misalnya begini, kalau hakim memberikan hukuman berat, jangan lembaga pemasyarakatannya itu memberikan remisi. Karena kalau hakimnya sudah memberikan hukuman berat, KPK-nya sudah menuntut berat dan dihukuman berat, tapi lembaga pemasyarakatan memberikan remisi setiap tahun macam-macam.
Ada remisi hari raya, remisi 17 Agustus, kan kalau 20 tahun bisa dia dikorting terus kalau lewat remisi, bisa menjadi 5 tahun, akhirnya apa? Dia cuma menjalani hukuman 5 atau 6 tahun. Apa itu memberikan efek jera? Kan nggak. Itulah yang celakanya di Indonesia.
Jadi hakim, KPK-nya sudah bagus memberikan hukuman, tiba-tiba Kementerian Hukum dan HAM obral itu remisi, orang dikasih berapa kali remisi ya jelas dong dia bisa hukumannya biar 20 tahun menjadi 5 tahun karena ada remisi. Itulah yang menurut saya pemerintah ini tidak punya political will untuk memberikan hukuman berat.
Teror? Itu Biasa
Sejak menjadi aktivis antikorupsi di Makassar hingga jadi Ketua KPK, kabarnya keluarga Abang sudah sering mendapatkan teror, apakah itu benar?
Jadi sebenarnya begini, teror itu kalau kita dulu di KPK ya, itu ada istilahnya anak-anak di KPK tuh. Teror itu kayak sarapan pagi.
Sudah biasa ya?
Ya, kenapa dibilang sarapan pagi? Karena setiap hari, setiap saat, kalau orang mau sarapan itu kan tiap hari. Karena saking seringnya, jadi teror itu menjadi imun, orang menjadi tidak takut. Jadi semua orang di KPK, teror itu dia jadi tidak takut karena setiap hari. Jadi imun kan?
Beda kalau misalnya teror itu mungkin sekali-sekali, mungkin orang ketakutan kan? Tapi kalau tiap hari dilakukan, orang juga menjadi tidak takut, jadi imun, itulah yang terjadi di KPK. Jadi anak-anak di KPK tuh sudah nggak takut teror karena setiap hari, bahkan setiap saat kan, jadi imun.
Yang menarik bagi saya, keluarga saya, sejak dulu sebelum saya jadi Ketua KPK, saya itu waktu menjadi aktivis, jadi lawyer, itu sudah diteror masih di Makassar. Tapi ada yang menarik yang saya mau cerita.
Tahun 2016, saya kan sudah nggak menjabat lagi di KPK, karena kan 2015 itu kan kita udah selesai, jadi tahun 2016 ini ada peristiwa. Ini saya harus sampaikan supaya ini sebagai gambaran yang serius bagi Indonesia. Tahun 2016 saya sudah nggak di KPK, pada saat itu anak saya, saya kan tinggal di Jakarta Timur ya, di daerah-daerah Pulomas itu.
Anak saya sekolahnya itu di Rawamangun, dekat dari rumah. Pada suatu hari, saya pergi berangkat dari Jakarta menuju ke kampung halaman saya ke Makassar. Saya berangkat ke Makassar kalau nggak salah itu hari, jadi mobil saya yang biasa mengantar saya itu dipakai supir saya untuk menjemput anak saya yang sekolah tidak jauh dari rumah saya, di sekitar Rawamangun, Al Azhar Rawamangun.
Supir saya dipakai menjemput anak saya, anak saya pada saat itu masih SD dan SMP. Tahu nggak, ketika supir saya menjemput anak saya di sekolah, pada saat keluar dari sekolah, tiba-tiba langsung disamperin, didatangi oleh pengendara motor. Dua orang, memakai helm, membawa benda tajam, tumpul, kayak semacam palu-palu gitu ya, dan memukul kaca mobil saya.
Dan anak-anak ketika itu ada di dalam mobil?
Anak-anak ada di dalam mobil saya, tapi saya nggak ada karena saya ada di Makassar. Supir saya. Tapi karena di sekolah di situ, di Rawamangun, di Al Azhar Rawamangun, itu kan banyak orang tuh, ada satpam. Satpamnya di situ langsung berteriak kan, buru, jadi orang ini yang berkendara motor itu lari karena dikejar kan, dia kabur.
Kejadian itu, bayangkan, saya sudah nggak jadi Ketua KPK, nggak ikut di KPK lagi, 2016 loh ini. Saya kan berhenti 2015. Tahu nggak, kejadian itu saya laporkan sama Kepala Bagian Pengamanan KPK. Jadi saya menelepon dari Makassar, eh itu kok anak saya ada yang teror.
Terus orang KPK bilang, Pak Abraham, apakah kejadian ini akan kita laporkan secara resmi ke kepolisian? Saya bilang sama Kepala Pengamanan KPK, silakan kalau mau dilaporkan. Kalaupun tidak ya nggak apa-apa, yang penting kamu tahu. Karena apa?
Saya khawatir, jangan-jangan nanti, kenapa saya bilang silakan saja? Jangan-jangan setelah dilaporkan di polisi, ternyata juga pelakunya nggak didapat, kan percuma juga. Dan itulah yang terjadi. Jadi teror ini, kita ini sudah nggak di KPK masih saja diteror, kan gitu.
Jadi, saya mau memberi gambaran suka duka ya. Kita orang-orang yang berada di garis depan pemberantasan korupsi, bukan saja orang di KPK. Para aktivis antikorupsi juga kan begitu. Menghadapi serangan teror kan, bukan saja orang KPK, tapi aktivis antikorupsi juga begitu.
Bagaimana tanggapan dari keluarga dengan semua teror yang diterima?
Mungkin lagi-lagi karena keseringan juga, jadi akhirnya biasa-biasa saja. Ya akhirnya kita selalu yang kita perkuat itu adalah doa. Kita minta perlindungan kepada yang di atas agar supaya kita selalu dilindungi. Karena kenapa? Itu satu-satunya jalan yang kita bisa lakukan.
Berharap terhadap aparat keamanan itu sulit. Kenapa sulit? Itu sudah terbukti. Teman-teman di KPK, Novel yang disiram air keras, itu kan nggak didapat pelakunya. Jadi satu-satunya cara yang saya hadapi dan keluarga saya dan mungkin semua teman-teman yang di KPK, hanyalah selalu berdoa untuk meminta perlindungan dari yang di atas agar kita selalu dilindungi.
Karena berharap terhadap keamanan, berharap terhadap aparat untuk melindungi kita tuh hampir dikatakan jangan terlalu berharap banyak, karena kalau kita berharap banyak pada mereka, pasti kita putus asa. Jadi kita berharap saja sama yang di atas perlindungan itu datang. Hanya itu yang bisa kita lakukan.
Advertisement