Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengajak perbankan nasional agar berani menanamkan investasi untuk pembangunan smelter nikel.
Ajakan itu dikeluarkannya guna menjawab pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri yang bilang hilirisasi nikel kebijakan sesat. Bahlil lantas coba makna sesat yang dimaksud, yakni merujuk banyaknya smelter yang ditopang investasi dari China.
Advertisement
"Yang dimaksud oleh Bang Faisal itu adalah kenapa pabriknya investasi-nya lebih banyak orang China. Kasih tahu ke perbankan nasional kita agar segera biayai pengusaha nasional yang melakukan pembangunan smelter," kata Bahlil beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, perbankan juga menghadapi sejumlah kendala agar bisa masuk ke proyek nikel, termasuk keperluan atas modal dan human capital.
"Capital-nya sendiri juga banyak perlu USD based liquidity. Ini kita kan enggak bisa produksi, kalau Amerika tinggal cetak. Kalau kita perlu underlying liquidity juga. Ini kan kita dapatnya dari mana, luar, tentunya eksportir-eksportir kita, dan dana masuk yang melalui investasi. Jadi kendalanya di situ," ungkapnya di Tangerang, Sabtu (2/3/2024).
"Karena pendanaannya tidak semuanya rupiah, sedangkan kita bank-bank nasional kuatnya di pendanaan rupiah," ujar David.
Namun begitu, David menambahkan, keterlibatan sektor perbankan untuk pendanaan di proyek hilirisasi nikel sebenarnya relatif meningkat. Tak hanya di sisi hulu, bank-bank nasional juga turut jadi distributor di sektor hilir.
"Dan sebenarnya banyak bank-bank bahkan bank swasta, termasuk BCA juga masuk. Lumayan besar exposure kita di hilirisasi nikel. Jadi kalau pelaku usaha memang yakin memungkinkan masuk ke sana, bank juga akan follow. Tapi tentu dengan pertimbangkan banyak risiko dan lain-lain, mereka akan melihat itu jadi peluang," imbuhnya.
Bank Tetap Incar Investasi Hilirisasi Meski Harga Nikel Merosot
Sebelumnya diberitakan, Kepala Ekonom BCA, David Sumual melihat sektor perbankan baik BUMN maupun swasta menaruh perhatian besar terhadap proyek hilirisasi yang diinisiasi pemerintah, termasuk nikel.
Investasi bank lantas disebutnya punya potensi besar untuk mengalirkan pembiayaan ke proyek hilirisasi nikel.
"Sejauh ini kalau saya sampaikan exposure-nya kita lumayan meningkat. Bukan hanya bank pemerintah, bank swasta masuk ke situ," kata David Sumual di sela-sela acara BCA Expoversary 2024 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Sabtu (2/3/2024).
Menurut dia, pelemahan harga nikel di pasaran global justru jadi peluang untuk pemasukan investasi lebih kuat bagi Indonesia. Lantaran tambang-tambang di luar banyak tak kuat menahan gejolak harga nikel, yang sehingga satu per satu diantaranya gulung tikar.
"Justru sebaliknya, saya rasa ini peluang untuk Indonesia sendiri. Ada beberapa perusahaan di luar yang keluar statement, kemungkinan kita dari sisi nikel dan turunannya bisa jadi number one market player," paparnya.
"Karena kan sekarang banyak smelter maupun tambang-tambang yang enggak sanggup dengan harga serendah ini. Jadi tewas satu-satu. Jadi kita bisa jadi pemain dominan di situ," ujar David.
David menilai, nikel dan produk turunannya tidak hanya diincar sebagai bahan baku untuk komponen pembuatan baterai kendaraan listrik. Namun juga untuk besi tahan karat atau stainless steel maupun barang-barang yang menjunjung energi baru terbarukan (EBT).
"Jadi kalau misalnya bisa masuk ke Indonesia, downstreaming di nikel ini investasinya bisa lebih kuat lagi. Saya juga mengharapkan buka hanya nikel, tapi yang lain, produk-produk lain termasuk produk agriculture/pertanian bisa didorong juga," tuturnya.
Advertisement
Prospek Ekonomi Cerah, Penyaluran Kredit Bank Tumbuh Positif
Sebelumnya diberitakan, Bank Indonesia (BI) mencatat pembiayaan korporasi pada November 2023 terindikasi tumbuh positif. Hal tersebut tecermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 14,9%.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, pertumbuhan kebutuhan pembiayaan korporasi tersebut terutama didorong oleh peningkatan kebutuhan pada sektor Konstruksi.
“Adapun sumber pembiayaan korporasi terutama berasal dari dana sendiri, diikuti pemanfaatan fasilitas kelonggaran tarik, pinjaman/utang dari perusahaan induk, serta pembiayaan dari perbankan dalam negeri,” jelas dia dalam keterangan tertulis, Selasa (19/12/2023).
Penyaluran kredit baru oleh perbankan pada November 2023 juga terindikasi tumbuh positif dengan SBT sebesar 70,4%. Faktor utama yang memengaruhi penyaluran kredit baru tersebut antara lain permintaan pembiayaan dari nasabah, prospek kondisi moneter dan ekonomi ke depan, serta tingkat persaingan usaha dari bank lain.
Sementara itu, untuk keseluruhan triwulan IV 2023, penawaran penyaluran kredit baru dari perbankan juga diprakirakan tetap tumbuh.
Di sisi rumah tangga, permintaan pembiayaan baru pada November 2023 terindikasi sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, dengan mayoritas pembiayaan berasal dari bank umum.
“Selain perbankan, sumber pembiayaan yang menjadi preferensi rumah tangga antara lain koperasi dan leasing,” kata Erwin.
Berdasarkan penggunannya, mayoritas rumah tangga mengambil kredit multiguna dengan pangsa pasar sebesar 43% dari total permintaan pembiayaan baru. Jenis pembiayaan lain yang diajukan adalah kredit kendaraan bermotor.
Bank Mandiri Ungkap Tantangan Penyaluran Kredit Hijau
Sebelumnya diberitakan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mengungkapkan sejumlah tantangan dalam menyalurkan kredit untuk sektor hijau. Ini mengingat, permintaan terhadap kredit hijau dinilai masih minim
Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Eka Fitria menuturkan, kesadaran pelaku usaha akan kredit hijau masih cukup terbatas. Alhasil, permintaan terhadap pembiayaan hijau itu relatif masih cukup terbatas.
BACA JUGA:Deretan Saham Top Gainers-Losers pada 26 Februari-1 Maret 2024
"Tantangan yang memang saat ini mungkin masih perlu kita telaah adalah di Indonesia masih cukup terbatas awareness dari para pelaku usaha yang memang mengakibatkan adanya demand terhadap pembiayaan hijau itu relatif masih cukup terbatas,” kata Eka dalam konferensi pers, Kamis (7/12/2023).
Ia melanjutkan, hal tersebut akhirnya mengakibatkan penyaluran atas pembiayaan hijau (green financing) yang dihimpun juga memiliki alternatif penyaluran yang tidak seluas di luar negeri misalnya.
"Namun juga ada notion yang menyatakan tentunya apa yang bisa menjadi penyelesaian terhadap lemahnya demand ini. Penyelesaian ini tentu saja bisa melalui peningkatan awareness dan adanya skema insentif yang cukup efektif,” kata dia.
Menurut ia, saat ini sudah banyak skema-skema insentif yang dihasilkan baik oleh regulator, pemerintah maupun para pelaku usaha seperti Bank Mandiri sendiri. Namun, sepertinya masih perlu dilakukan pendalaman terutama yang kaitannya dengan green financing.
Dia bilang, jika berbicara soal berkelanjutan tentunya terdapat beberapa aspek. Misalnya, ada aspek sosial ataupun aspek hijau, di Indonesia mungkin akan lebih didominasi oleh aspek sosialnya dibandingkan dengan aspek hijaunya.
"Hand in hand menurut saya bersama dengan pemerintah, kemudian inisiatif dan proaktif governance dari masing-masing institusi tentunya merupakan hal yang sangat penting untuk dapat bisa memperluas pendalaman terhadap pembiayaan green financing di Indonesia,” pungkasnya.
Advertisement