Liputan6.com, Jakarta - Dalam definisinya, cyberbullying adalah perundungan menggunakan teknologi digital, menurut UNICEF, dikutip dari situs webnya, Minggu (3/3/2024). Tindakan ini dapat terjadi di media sosial, ruang pesan online, platform gim, dan panggilan telepon. Ini adalah perilaku berulang yang bermaksud menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan orang-orang yang jadi sasaran.
Seiring perkembangan teknologi, perundungan siber tidak hanya jadi momok bagi orang dewasa, tapi juga anak-anak. Psikolog anak dan keluarga, Astrid Wen, mengatakan bahwa selama praktik, ia telah mendapati satu atau dua kasus cyberbullying. "Yang secara signifikan meningkat sebenarnya kasus kekerasan secara general, seperti bullying dan KDRT," katanya melalui pesan pada Tim Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 2 Maret 2024.
Advertisement
"Namun, jumlah kasus yang datang ke klinik tidak bisa dijadikan analogi tentang apa yang terjadi di dunia maya," Astrid menyambung. "Di Indonesia, kebanyakan perempuan dan anak yang mengalami cyberbullying berupa komentar menyakitkan di media sosial memilih tidak menghiraukannya."
Mengamini itu, co-founder Ibupedia, Atalya Anggraini, berpendapat bahwa kondisi cyberbullying di kalangan anak-anak saat ini sangat mengkhawatirkan. "Dengan perkembangan teknologi dan penetrasi internet yang semakin luas, anak-anak jadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk pelecehan dan intimidasi secara online," katanya melalui email, Sabtu.
Ia melanjutkan, "Statistik menunjukkan bahwa jumlah kasus cyberbullying terus meningkat dari tahun ke tahun, dan dampaknya bisa sangat merusak kesejahteraan mental dan emosional anak-anak."
Fenomena Perundungan Siber
Sebagai media komunitas yang fokus pada dunia parenting dan kehidupan keluarga, Ibupedia acap kali menemukan berbagai fenomena terkait perundungan siber pada anak. "Salah satu contohnya adalah penggunaan media sosial untuk mempublikasikan foto atau video pribadi anak-anak tanpa izin mereka, yang kemudian dapat dimanipulasi atau dieksploitasi orang lain untuk tujuan merendahkan atau mempermalukan mereka," sebut Atalya.
"Selain itu, kami juga melihat ada peningkatan fenomena di mana anak mengirim pesan atau komentar di dunia maya secara anonim yang memungkinkan mereka melakukan perundungan secara anonim, sehingga sulit dilacak orangtua. Hal ini menciptakan lingkungan di mana anak-anak mungkin merasa lebih berani melakukan tindakan perundungan tanpa takut konsekuensinya."
"Adanya fenomena baru seperti ini menegaskan pentingnya kesadaran orangtua tentang ancaman perundungan siber dan kita perlu berusaha bersama untuk melindungi anak-anak dari bahaya ini," tegasnya.
Soal mencegah anak jadi korban perundungan siber, Astrid mengatakan, edukasinya bukan hanya tentang cyberbullying, tapi mulai dari dasar, yakni mengenalkan interaksi, serta relasi yang aman dan saling menghargai sesama. Lalu, saat menjelaskan cyberbullying, kenalkan juga macam-macam kekerasan lain dan carikan persamaan, serta perbedaannya.
"Sadari bahwa anak harus paham lebih dulu mengenai kekerasan dan ia dapat kapan saja cerita pada orangtua mengenai dunianya," ia menambahkan. "Awasi juga penggunaan gawai pada anak. Jika ada tanda-tanda cyberbullying, sadari dan ajarkan pada anak untuk dapat mengidentifikasi tanda-tanda cyberbullying dan unsur kekerasan."
Advertisement
Jangan sampai Anak Jadi Korban dan Perlaku Perundungan Online
Sementara itu, Atalya menggarisbawahi pentingnya mengajarkan keamanan siber pada anak. "Orangtua bisa mengajari anak-anak tentang pentingnya menjaga privasi mereka di dunia maya," sebut dia. "Kita bisa memberi pemahaman tentang risiko yang mungkin terjadi jika membagikan informasi pribadi, foto, atau video di internet."
Tidak kalah penting, anak-anak juga bisa dilatih mengambil sikap saat mendapati diri jadi korban perundungan siber. "Berikan anak-anak kemampuan untuk tahu apa yang harus dilakukan jika mengalami perundungan siber. Kita bisa mendorong mereka segera memberi tahu situasi tersebut pada orangtua atau guru, dan ajarkan juga untuk tidak merespons atau membalas tindakan perundungan dengan cara yang sama," ucapnya.
Di sisi lain, Astrid menjelaskan, anak berisiko jadi pelaku perundungan siber jika kurang mendapat dukungan yang hangat dari orangtua atau walinya. Kemudian, pernah jadi korban bully sebelumnya dan tidak memproses luka dari kejadian tersebut, menutupi kekurangan diri, serta memiliki masalah bersosialisasi.
Menekan risiko anak jadi perundung, ia menyarankan untuk merangkul anak dan menjalin komunikasi yang lebih terbuka. "Lalu, cari tahu bagaimana biasanya bentuk komunikasi yang hangat pada keluarga secure secara umum, dan coba aplikasikan pada keluarga kita," imbuhnya.
"Batasi penggunaan gawai dan tentukan bersama aturan sebelum pemakaian gawai," ia melanjutkan. "Tingkatkan rasa percaya diri anak dengan melibatkan dia pada kegiatan-kegiatan yang ia sukai, namun non-gadget. Terakhir, ganti waktu pemakaian gadget dengan kegiatan non-gadget."
Putus Rantai Cyberbullying
Mendapatk gambaran psikologis anak setelah tindakan perundungan siber, Astrid menyebut, jadi salah satu dampak paling mendesak untuk diidentifikasi. "Apakah ada trauma dan bagaimana bentuk trauma," sebutnya. "Lalu, penting juga mendapat gambaran support system-nya, resources apa yang anak miliki agar pemulihannya mampu berjalan baik atau tidak."
Memutus rantai perundungan siber, Astrid menggarisbawahi pentingnya memperkuat diri dari dalam. "Kepercayaan diri, rasa berharga dalam diri, mampu berkomunikasi secara asertif, kesadaran berlaku, dan berteman di dunia maya. Hal-hal ini akan mampu memengaruhi besaran risiko terkena cyberbullying," kata dia.
"Kemudian, secara sistem, rumah, sekolah, bahkan pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak, serta tidak jemu-jemu membicarakan dan mengedukasi mengenai kesadaran berlaku di dunia maya, termasuk mendiskusikan cyberbullying. Lalu, menciptakan budaya yang lebih mendukung tingkah laku positif daripada terlalu sering membicarakan yang negatif," bebernya.
Ia menambahkan, menguatkan budaya keanekaragaman dan saling menghargai perbedaan juga akan membantu toleransi perbedaan jadi lebih baik. Terakhir, pahami bahwa ada konsekuensi yang jelas pada macam-macam tindakan cyberbullying.
Atalya menyambung, berani melapor pun jadi salah satu cara memutus rantai perundungnan siber. "Kadang kita suka menganggap sepele cyberbullying," ucap dia. "Sikap ini yang bisa membuat cyberbullying tidak kunjung hilang. Jika menemukan kasus perundungan online, apalagi yang melibatkan anak, sebaiknya segera laporkan pada pihak yang berwenang, seperti sekolah atau mengirimkan report ke platform media sosial jika itu terjadi di media sosial."
"Intervensi yang cepat dan tepat bisa membantu menghentikan perundungan siber, serta bisa membuat korban merasa terlindungi dan didukung," ia menambahkan.
Sebagai bentuk dukungan berkelanjutan dalam upaya menyudahi perundungan siber, Atalya menyebut, Ibupedia terus menyebarkan informasi melalui platform daring mereka dalam bentuk infografis maupun video. "Selain itu, kami juga secara rutin bekerja sama dengan psikolog anak untuk melakukan edukasi melalui Instagram Live atau Kulwap," ucapnya.
"Aktivitas online ini sangat efektif untuk komunitas kami karena kita bisa berdiskusi langsung secara terbuka untuk membangun kesadaran dan pemahaman tentang perundungan siber. Dengan berperan aktif melalui cara-cara tersebut, Ibupedia berkomitmen menekan kasus perundungan siber dan menciptakan dunia online yang lebih aman dan positif untuk semua orang," tandasnya.
Advertisement