Liputan6.com, Jakarta Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pengurus partai politik (parpol) dilarang menjabat sebagai jaksa agung.
"(Putusan) itu sudah tepat. Anasir politik harus dijauhkan dari kejaksaan sekaligus untuk menghindari konflik kepentingan antara jaksa agung dengan genealogi kekuasaan," tutur Herdiansyah kepada wartawan, Senin (4/3/2024).
Advertisement
Menurutnya, ada beberapa risiko yang akan dihadapi ketika jaksa agung diisi pengurus parpol. Salah satunya adalah rawan intervensi.
"(Kejaksaan) bisa digunakan (untuk) menggebuk lawan politik kalau genealogi politiknya dari parpol," jelas dia.
Sebab itu, Herdiansyah mendukung putusan MK yang berisikan setidaknya minimal lima tahun telah keluar dari partai apabila seseorang bermaksud menjadi jaksa agung. Terlebih, kejaksaan adalah institusi penegak hukum.
"Karena ini domain hukum, ya, tidak boleh dipimpin orang politik. Mesti ada masa jeda atau cooling down," Herdiansyah menandaskan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengapresiasi hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi UU 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terkait syarat pengurus partai yang harus mundur minimal lima tahun untuk menjadi jaksa agung.
“Kami menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat indenpendensi Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum,” tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana kepada wartawan, Kamis (29/2/2024).
Menurutnya, Kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanudin telah melakukan penegakan hukum yang murni untuk kepentingan hukum, tanpa adanya campur tangan politik.
“Putusan tersebut sekaligus memberikan kesempatan lebih luas bagi insan Adhyaksa untuk dapat berkarier sampai di posisi puncak sebagai Jaksa Agung RI. Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberikan motivasi dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat kedepannya untuk kelentingan penegakan hukum,” kata Ketut.
MK Mengabulkan Sebagian
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian UU 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang diajukan oleh Pemohon Jovi Andrea Bachtiar.
Ketua MK Suhartoyo menyampaikan, pokok permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
"Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," tutur Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Dia menguraikan, Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung”.
Advertisement
Uji Materi dari Awal Januari 2024
Adapun perkara tersebut teregistrasi pada Rabu, 3 Januari 2024 dengan nomor 6/PUU-XXII/2024 dengan substansi yang dimohonkan untuk diuji materil adalah Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan.
Dalam petitumnya, pemohon selaku jaksa atas nama Jovi Andrea Bachtiar meminta agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan atau mengeluarkan putusan Menyatakan bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Jovi dikutip dari dokumen permohonannya.
Menurutnya, pasal tersebut tidak mencantumkan ketentuan agar Jaksa Agung yang dipilih tidak terafiliasi dengan partai politik. Dia meminta pasal itu diisi dengan poin tambahan yang berbunyi “Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah lima tahun keluar dari keanggotaan partai politik baik diberhentikan maupun mengundurkan diri”.