Liputan6.com, Jakarta - Fenomena alam El Nino bakal terus berlanjut pada tahun ini, menyebabkan tingkat produksi pertanian menurun. Alhasil, pasokan sejumlah komoditas semisal beras dan hasil pertanian lain di pasaran terganggu, membuat harga pangan melambung.
Namun, El Nino bukan hanya terjadi kali ini saja. Sejarah mencatat, sebelum musim 2023-2024, dalam 30 tahun terakhir terdapat dua peristiwa El Nino ekstrem.
Advertisement
Pertama pada 1997-1998, dan kedua pada 2015-2016. Keduanya menyebabkan perubahan suhu udara dan lautan global, pola angin, dan curah hujan di atmosfer, serta permukaan laut.
Nama El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang artinya anak laki-laki. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang natal.
Melansir situs resmi Badan Penerbangan dan Antartika Amerika Serikat (NASA), Senin (4/3/2024), beberapa deskripsi ilmiah pertama tentang El Nino muncul selama pertukaran pendapat antara Lima Geographical Society dan International Geographic Congress pada tahun 1890an.
Namun, akar El Nino sudah ada sejak lama sebelum peradaban modern terbentuk. Tanda-tanda kimiawi dari lautan yang lebih hangat dan peningkatan curah hujan telah terdeteksi pada sampel karang dan indikator paleoklimatologi lainnya sejak Zaman Es terakhir. Pola perubahan air dan angin ini telah berlangsung selama puluhan ribu tahun.
Ilmuwan bumi, sejarawan, dan arkeolog berteori bahwa El Nino berperan dalam kehancuran atau gangguan beberapa peradaban kuno di Amerika Selatan, termasuk Moche dan Inca.
Adapun sejarah El Nino pertama yang tercatat dimulai pada periode 1500-an, ketika pelayar Eropa mencapai dunia baru dan bertemu dengan budaya asli Amerika.
Abad ke-16
Penelitian sejarah menunjukkan, penaklukan Spanyol atas suku Inca dan Peru mungkin disebabkan oleh kondisi El Nino.
Ketika Francisco Pizarro pertama kali berlayar dari Panama menyusuri pantai barat Amerika Selatan pada tahun 1524, kemajuannya melambat dan akhirnya terhenti oleh angin selatan dan tenggara yang terus-menerus, mengikuti pola arus pantai yang mengalir ke utara.
Ahli Geografi Cesar Caviedes melalui buku El Nino in History yang ditulisnya mengungkapkan, Pizarro baru berhasil mencapai pesisir lebih jauh mengikuti angin timur laut yang menguntungkan pada 1524-1526.
Ketika Pizarro kembali pada 1531-1532, kapal-kapalnya bergegas menyusuri pantai, kembali terdesak oleh angin timur laut yang kuat seperti yang terjadi pada tahun-tahun El Nino.
Begitu pasukan Spanyol bergerak ke pedalaman, mereka menemukan gurun yang subur, sungai yang meluap, dan curah hujan di wilayah Peru dan Ekuador yang biasanya gersang.
Udara lembab dan tanah lembab memungkinkan para penjajah untuk melanjutkan perjalanan panjang mereka dan menghindari pemukiman Inca dalam perjalanan untuk membangun pijakan di negara tersebut.
Advertisement
Abad ke-18
Antara 1789 dan 1792, menurut catatan sejarah dan ilmiah, musim hujan di Asia Selatan gagal berkali-kali. Terdapat bukti bahwa beberapa pola iklim lainnya, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh atau bertepatan dengan pola monsun Asia dan El Nino. Itu mempengaruhi jalur badai dan angin barat di dekat Eropa.
Menurut beberapa peneliti, kombinasi anomali iklim dan cuaca yang tidak biasa menyebabkan kegagalan panen di Eropa dan memicu beberapa kerusuhan yang meledak pada Revolusi Perancis di 1789.
Abad ke-19
Dalam buku Late Victorian Holocausts, sejarawan Mike Davis menyatakan, setidaknya tiga kelaparan besar di akhir abad ke-19 terkait dengan El Nino. Cuaca ekstrem dan runtuhnya sirkulasi monsun menyebabkan kekeringan hebat dan beberapa kali banjir pada 1876-1878, 1896-1897, dan 1899-1900.
Antara 30 hingga 60 juta orang tewas di India, China, Brasil, dan negara-negara lain. Ratusan juta orang menderita kelaparan dan perselisihan sosial dan politik. Meskipun kolonialisme Eropa dan penyebaran kapitalisme laissez faire memainkan peran penting dalam bencana ini, jangkauan global (telekoneksi) El Nino dan La Nino diduga besar memicu kekeringan besar, kegagalan panen, dan wabah malaria.
Abad ke-20
Pada tahun 1920-an, seorang ahli statistik dan fisikawan dari Inggris mulai mengumpulkan gambaran besar tentang pencipta cuaca global ini. Seperti dirangkum Gilbert Walker yang bekerja sebagai Direktur Observatorium di India dan mempelajari monsun.
Dia menjuluki pola cuaca atmosfer yang berganti-ganti kala itu sebagai Osilasi Selatan, yang menyatakan bahwa suhu tertinggi di kawasan tropis Pasifik bertepatan dengan suhu terendah di Samudra Hindia, dan sebaliknya.
Butuh waktu empat dekade sebelum Jacob Bjerkne, seorang ilmuwan kelahiran Norwegia menemukan hubungan terakhir antara pola hangat dan dingin yang bergantian di perairan Pasifik dan sirkulasi atmosfer yang digambarkan oleh pejalan. Seluruh pola tersebut kemudian dikenal sebagai ENSO, atau El Nino Southern Oscillation, dan mencakup fenomena serupa yang dikenal sebagai La Nina.
Setidaknya, sebanyak 26 El Niño tercatat pada abad ke-20, dan masing-masing membawa dampak tersendiri dan menimbulkan imbas buruk pada perekonomian. El Nino pada 1957-1958 misalnya, menyebabkan kerusakan serius pada hutan rumput laut di California.
Peristiwa lain yang terjadi pada tahun 1965-1966 menghancurkan pasar guano (pupuk) di Peru dan juga mendorong penggunaan kedelai untuk pakan ternak (sebagai pengganti tepung ikan). Pada 1972-1973, populasi ikan teri anjlok, menyebabkan kematian jutaan burung laut dan menimbulkan dampak yang mengganggu stabilitas perekonomian dan pemerintahan Peru.
Pada 1982-1983, fenomena El Nino pertama yang terekam dalam studi real time signifikan mencatat, burung laut di Pula Natal yang terletak di barat daya Indonesia meninggalkan anak-anaknya dan terbang melintasi Pasifik untuk mencari makan. Di belahan dunia lain, hampir 25 persen dari populasi anjing laut dan singa laut di Peru meninggal kelaparan.
Adapun ilmuwan atmosfer Goerge Philander dalam karya ilmiahnya pada 1999 menuliskan, untuk bertanya mengapa El Nino terjadi seperti menanyakan kenapa bel berbunyi atau pendulum berayun. Setelah hampir 100 tahun melakukan investigasi, para ilmuwan pun belum yakin apa yang membuat bel berbunyi, mereka hanya tahu bahwa itu berbunyi.
Advertisement