Liputan6.com, Jakarta Sore itu pertengahan 2022, gawai milik Ropina Tarigan berbunyi nyaring. Dari layar menunjukkan nama salah satu rekan sejawatnya sesama bidan di wilayah Jakarta Barat. Dengan suara optimistis dia mengiyakan berbagai obrolan yang hanya berlangsung beberapa menit.
Ropina diinformasikan jika akan ada seorang anak yang akan dititipkan di rumahnya. Informasi sementara kondisi anak itu memprihatinkan. Selain terinfeksi HIV diperkirakan calon anak asuhnya mengalami komplikasi sejumlah penyakit.
Advertisement
Setelah pemberkasan bersama keluarga selesai, anak asuhnya datang. Benar saja, keadaannya sangat memprihatikan. Tampak kurus, berat badannya hanya 32 kilogram. Padahal saat itu sang anak sudah berusia 17 tahun.
Badannya juga terlihat lemas. Untuk beraktivitas sehari-hari saja seperti tak ada tenaga. Sebab gerakan tangannya saat merespons sangat lambat. Bahkan sekujur tubuhnya juga dipenuhi bisul dengan ukuran berdiameter 3 centimeter.
"Waduh kalau lihat saat itu kondisinya sangat memprihatikan," kata Ropina kepada Liputan6.com.
Selain itu sang anak juga sempat mengkonsumsi obat anti-depresan. Saat itu, yang dipikirkan Ropina yakni bagaimana nutrisi anak tersebut segera terpenuhi dan mulai minum obat secara rutin. Sebab dia ingin anak asuhnya bisa kembali ke bangku sekolah.
"Setelah empat bulan ke sini sudah mulai sehat, saya bilang stop anti-depresan. Perkembangan tubuhnya juga sudah membaik, sekarang sudah hampir 60 kilogram dan membuat dia percaya diri, saya bahagia banget," ucapnya.
Rupa-rupa kondisi memprihatinkan menjadi makanan Ropina sekeluarga saat menerima anak asuh di rumahnya. Selain kurus karena kurang nutrisi, biasanya mereka datang dengan kondisi diare akut hingga terinfeksi TBC.
Tumbuh kembang anak balita yang ada kepada Ropina juga tak jauh berbeda. Saat datang usianya sekitar 2 tahun dan langsung diberikan penangan beberapa penyakit penyerta. Ropina memperkirakan hal tersebut karena si balita tinggal di lingkungan yang kurang bersih.
Ada pula yang datang dengan sejumlah gangguan fisik. Misalnya belum bisa berbicara dengan fasih meskipun sudah masuk bangku Sekolah Dasar (SD). Kondisi tersebut diperkirakan karena menjadi pelampiasan kekerasan sang ibu ketika ditinggalkan suaminya karena ketahuan terinfeksi HIV.
"Sampai sekarang pun terganggu pertumbuhan fisiknya, sekarang umurnya jalan 8 tahun. Di sekolah dia enggak bisa mengikuti pelajaran, jujur saja jadi terbelakang dianya, dan ibunya sudah meninggal sekarang," ucapnya.
Anak HIV/AIDS Adalah Korban dari Orangtua
Rumah Ropina berlokasi di gang sempit di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Sejak 2015 rumahnya menyediakan asrama untuk para anak pengidap HIV/AIDS. Saat ini 10 anak berusia 3 sampai 19 tahun tinggal di sana.
Sementara ada 140 anak lainnya yang dirawat Ropina masih tinggal dengan sanak keluarga yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Asrama di rumah Raopina sudah terbuka untuk anak ODHA sejak 2015. Dia berkeinginan dapat mengurangi stigma negatif masyarakat terhadap mereka.
Sebab tak semua orang yang terdiagnosis HIV/AIDS akibat perbuatannya sendiri. Untuk anak-anak mayoritas tertular dari orangtuanya. Sehingga dapat diartikan bahwa mereka adalah korban. Selain itu banyak di antara mereka merupakan yatim piatu.
"Jadi anak-anak yang ada di sini yang harus harus makan obat dan kedua dia harus sekolah. Saya enggak mau mereka ada di sini, luntang-lantung enggak ada kegiatan gitu. Saya enggak mau. Jadi itulah yang ditandatangani pada saat mereka masuk ke sini," papar dia.
Awal rasa keprihatinan Ropina muncul ketika ditugaskan sebagai bidan di Puskesmas Tambora, Jakarta Barat.
Dia bertugas melayani pasien ketergantungan narkoba suntik. Saat itu dia sering melihat bahwa banyak pengguna narkoba yang juga menularkan. Misalnya dari keluarganya mulai dari istri dan anak.
Kemudian beberapa stigma negatif seringkali diterima oleh anak-anak ODHA. Dari lingkungan rumah, tenaga medis, hingga sekolahan. Bahkan beberapa dari mereka memilih untuk putus sekolah.
"Itulah yang membuat saya tergerak setelah ketahuan status mereka. Mereka sekolah pun begitu ketahuan status mereka, mereka dikeluarkan dari sekolah itu tahun 2007. Tapi jauh ya sekarang ini banyak sekali perubahan. Jadi teman-teman, saya orang medis pun istilahnya merangkul," ujar Ropina.
Advertisement
Sercecah Harapan dari Anak HIV/AIDS
Sebagai salah satu anak asuh Ropina, sebut saja Ridwan mengaku sangat bersyukur. Dia tak pernah terbayangkan dapat kembali ke bangku sekolah hingga dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Bertemu dengan teman dan banyak orang menjadikan semangat tersendiri buat Ridwan.
Hal-hal positif dari lingkungan sekitar menjadi pemacu untuk tetap semangat menjalani takdir yang dia terima sebagai ODHA. Bahkan dapat membahagiakan keluarganya kelak menjadi harapannya saat ini.
"Kalau dipikir tidak ketemu Ibu Vina itu, aku mungkin dirawat seharian atau setiap hari atau beberapa minggu, di rumah sakit. Atau aku mungkin udah enggak ada gitu, tapi kan itu juga jalannya Tuhan, mengasih tahu, menunjukkan jalan untuk di sini," kata Ridwan kepada Liputan6.com.
Dia pun sudah kembali untuk bermimpi. Beda dengan Ridwan tiga tahun yang lalu. Untuk bertemu dengan teman dan lingkungannya saja malu dan merasa minder. Sebab saat itu keadaannya sangat memprihatikan. Hari-harinya hanya berdiam diri di rumah dan minum ARV pun tidak teratur.
Gejala awal yang dialami Ridwan muncul beberapa bulan setelah sang ibu meninggal dunia. Badan terasa lemas, dada sesak, hingga berat badan yang turun drastis. Saat dilakukan pengecekan di RS Ridwan yang saat itu berusia 14 tahun didiagnosis dua penyakit sekaligus.
Yakni TBC paru dan HIV. Pasca pengobatan TBC kondisi tubuhnya tidak stabil. Dia merasa tak ada penyemangat untuk menjalani hidup. Obat ARV pun seringkali terlupakan. Nutrisi yang dibutuhkan untuk tubuhnya juga tidak terpenuhi dengan baik.
Saat itu dia sering di rumah sendirian karena sang ayah harus bekerja dari pagi hingga malam. Kondisinya yang semakin memburuk akhirnya dipertemukannya dia dengan seorang bidan yang menghubungkannya dengan Ropina.
"Dan setelah lama tinggal di rumah Ibu Vina, aku semakin banyak naiknya berat badan, gizi juga terpenuhi. Bisa sekolah, ketemu banyak orang, dan banyak hal positif yang aku terima," jelas dia.