Liputan6.com, Gaza - Butuh waktu 10 tahun dan tiga kali Fertilisasi in Vitro (IVF) agar Rania Abu Anza bisa hamil. Namun, hanya dalam beberapa detik saja dia kehilangan anak kembarnya yang berusia lima bulan. Masing-masing seorang laki-laki dan perempuan.
Serangan Israel menghantam rumah keluarga besarnya di Kota Rafah, Gaza Selatan, pada Sabtu (2/3/2024) malam. Demikian seperti dilansir AP, Senin (4/3).
Advertisement
Pada hari nahas tersebut, Rania bangun sekitar pukul 22.00 waktu setempat untuk menyusui bayi laki-lakinya, Naeim. Setelahnya dia kembali tidur dengan posisi kedua bayinya di kanan dan kirinya. Adapun sang suami tidur di samping mereka.
Ledakan terjadi satu setengah jam kemudian. Rumah itu runtuh.
"Saya berteriak memanggil anak-anak dan suami saya," kata Rania pada Minggu (3/3), sambil terisak meratapi kematian dua buah hatinya.
"Mereka semua tewas."
Serangan udara Israel secara teratur menghantam rumah-rumah keluarga yang ramai sejak dimulainya perang di Gaza, bahkan Rafah, yang Israel nyatakan sebagai zona aman pada Oktober 2023 kini menjadi target serangan darat berikutnya yang menghancurkan.
Serangan sering terjadi tanpa peringatan, biasanya pada tengah malam.
Mayoritas Korban Perang Adalah Anak-anak dan Perempuan
Militer Israel pada Minggu tidak mengomentari serangan yang menewaskan bayi kembar Rania, namun mereka mengulang klaim bahwa mereka mengikuti hukum internasional dan mengambil tindakan pencegahan yang layak untuk mengurangi kerugian sipil.
Menurut Direktur Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar Marwan al-Hams dari 14 orang yang terbunuh di rumah Rania, enam di antaranya adalah anak-anak dan empat lainnya adalah perempuan. Selain suami dan anak, Rania juga kehilangan saudara perempuannya, keponakannya, dan sepupunya yang sedang hamil.
Farouq Abu Anza, kerabat Rania lainnya, menuturkan sekitar 35 orang tinggal di rumah tersebut, beberapa di antaranya mengungsi dari daerah lain. Dia memastikan mereka semua adalah warga sipil, kebanyakan anak-anak, dan tidak ada militan di antara mereka.
Rania dan suaminya, Wissam, keduanya berusia 29 tahun, menghabiskan satu dekade mencoba untuk hamil. Dua putaran IVF gagal, tetapi setelah kali ketiga, dia mengetahui bahwa dia hamil awal tahun lalu. Si kembar lahir pada 13 Oktober.
Suaminya, ujar Rania, adalah seorang buruh harian. Dia sangat bangga akan memiliki anak, sehingga bersikeras menamai putrinya dengan namanya sendiri.
Kurang dari sepekan sebelum kelahiran bayi kembar Rania, tepatnya pada 7 Oktober, Hamas menyerbu Israel selatan dan menewaskan sekitar 1.200 orang. Israel kemudian meresponsnya dengan salah satu serangan militer paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah.
Perhitungan otoritas kesehatan Jalur Gaza menyebutkan bahwa perang Hamas Vs Israel telah menewaskan lebih dari 30.000 orang. Sekitar 80 persen dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza telah meninggalkan rumah mereka dan seperempatnya menghadapi kelaparan.
Otoritas kesehatan Jalur Gaza bulan lalu mengungkapkan bahwa lebih dari 12.300 anak-anak dan remaja Palestina tewas dalam perang atau sekitar 43 persen dari total korban jiwa.
Israel mengklaim telah membunuh lebih dari 10.000 pasukan Hamas, namun sejauh ini mereka tidak memberikan bukti.
Advertisement
Lelah dengan Perang
Dalam pernyataannya pada Minggu, Direktur Regional UNICEF Adele Khodr menyatakan, "Rasa tidak berdaya dan putus asa di antara orang tua dan dokter ketika menyadari bantuan yang menyelamatkan jiwa, yang hanya berjarak beberapa kilometer, berada di luar jangkauan, pastilah tidak tertahankan. Namun, yang lebih buruk lagi adalah tangisan kesedihan bayi-bayi yang perlahan lenyap dengan disaksikan dunia."
Rafah, sejauh ini memang masih terhindar dari kehancuran besar seperti di Gaza Utara dan Kota Khan Younis di Gaza Selatan, di mana tank-tank dan pasukan darat Israel telah menyerbu masuk.
Namun, Israel mengonfirmasi bahwa Rafah akan menjadi target berikutnya. Sekitar 1,5 juta orang yang mengungsi di sana akan direlokasi tanpa disebutkan ke mana mereka harus pergi.
"Kami tidak punya hak," ujar Rania. "Saya kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya tidak ingin tinggal di sini. Saya ingin keluar dari negara ini. Saya lelah dengan perang."