Liputan6.com, Jakarta - Harga Bitcoin dan kripto teratas lainnya terpantau alami pergerakan yang beragam pada Selasa (5/3/2024). Mayoritas kripto jajaran teratas terpantau kembali berada di zona hijau.
Berdasarkan data dari Coinmarketcap, kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar, Bitcoin (BTC) masih menguat. Bitcoin naik 9,00 persen dalam 24 jam dan 25,56 persen sepekan.
Advertisement
Saat ini, harga Bitcoin berada di level USD 68.555 atau setara Rp 1 miliar (asumsi kurs Rp 15.761 per dolar AS).
Ethereum (ETH) turut menguat. ETH naik 4,85 persen sehari terakhir dan 14,55 persen sepekan. Dengan begitu, saat ini ETH berada di level Rp 57,3 juta per koin.
Kripto selanjutnya, Binance coin (BNB) masih menguat. Dalam 24 jam terakhir BNB naik 1,56 persen dan 4,79 persen sepekan. Hal itu membuat BNB dibanderol dengan harga Rp 6,64 juta per koin.
Kemudian Cardano (ADA) kembali berada di zona hijau. ADA naik 6,69 persen dalam 24 jam terakhir, tetapi masih menguat 26,65 persen sepekan. Dengan begitu, ADA berada pada level Rp 12.290 per koin.
Adapun Solana (SOL) kembali perkasa. SOL menguat 0,77 persen dalam sehari dan 19,89 persen sepekan. Saat ini, harga SOL berada di level Rp 2,07 juta per koin.
XRP terpantau kembali berada di zona hijau. XRP terbang 3,96 persen dalam 24 jam dan 18,63 persen sepekan. Dengan begitu, XRP kini dibanderol seharga Rp 10.301 per koin.
Koin Meme Dogecoin (DOGE) masih menguat. Dalam satu hari terakhir DOGE naik 19,53 persen dan 102,88 persen sepekan. Ini membuat DOGE diperdagangkan di level Rp 2.867 per token.
Stablecoin Tether (USDT) dan USD coin (USDC), pada hari ini sama-sama menguat 0,01 persen. Hal tersebut membuat harga keduanya masih bertahan di level USD 1,00
Sedangkan Binance USD (BUSD) menguat 0,01 persen dalam 24 jam terakhir, membuat harganya masih berada di level USD 1,00.
Adapun untuk keseluruhan kapitalisasi pasar kripto hari ini berada di level USD 2,51 triliun atau setara Rp 39.590 triliun.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Indodax Harap Pajak Kripto Hanya 0,1%
Sebelumnya, munculnya pengaturan perpajakan kepada industri kripto di Indonesia menandakan sudah matangnya pertumbuhan industri kripto di Indonesia. Hal itu disepakati oleh Indodax, Bappebti dan Aspakrindo.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengungkapkan, pemberlakuan pajak ini memberikan beban finansial yang sangat berat bagi para investor kripto. Total jumlah pajak yang harus disetorkan setiap bulan disebutnya bahkan melebihi pendapatan para pelaku industri.
"Saat ini terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang dikenakan di Indonesia yaitu PPh sebesar 0.10 persen, PPN sebesar 0.11 persen, dan tambahan 0.02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring," ujar Oscar.
"Terlebih lagi, jika bertransaksi menggunakan stablecoin seperti USDT, akan dikenakan penggandaan pajak. Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia," bebernya.
Maka dari itu, menurut Oscar, industri ini membutuhkan sebuah trigger atau pemicu untuk merangsang pertumbuhannya. Salah satu cara yang paling efektif dengan melakukan peninjauan kembali besaran nominal pajak kripto di Indonesia melalui penghapusan besaran PPn dan hanya dikenakan PPh.
"Karena dalam waktu dekat industri kripto dari Bappebti akan dialihkan ke OJK. Artinya kripto akan menjadi bagian dari industri keuangan. Maka dari itu, tidak tepat jika masih dikenakan PPn dan diharapkan pajaknya bisa menjadi 0,1 persen," imbuh dia.
Advertisement
Pajak Kripto Paling Besar
Sementara itu, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, mengatakan jika lebih dari 50 persen pajak fintech dihasilkan oleh pajak kripto.
"Memang adanya pengenaan pajak di industri kripto dapat menambah pendapatan negara kurang lebih Rp 259 miliar. Pajak kripto pun berkontribusi lebih dari 50 persen dalam industri fintech. Regulasi ini lahir untuk mengatur, bukan mengekang ataupun menghambat," ungkapnya.
"Namun ternyata adanya regulasi ini dalam implementasinya berdampak di pasar dan menambah biaya yang harus dibayarkan oleh investor," ia menambahkan.