Liputan6.com, Port-au-Prince - Pihak berwenang Haiti telah memerintahkan jam malam menyusul ledakan kekerasan yang melibatkan anggota geng bersenjata menyerbu dua penjara terbesar dan membebaskan ribuan narapidana selama akhir pekan.
Keadaan darurat selama 72 jam dimulai pada Minggu (3/3/2024) malam. Pemerintah mengatakan pihaknya akan berusaha melacak para narapidana yang melarikan diri, termasuk dari lembaga pemasyarakatan di mana sebagian besar berada dalam tahanan pra-sidang, dan beberapa di antaranya dituduh melakukan pembunuhan, penculikan, dan kejahatan lainnya.
Advertisement
"Polisi diperintahkan untuk menggunakan segala cara hukum yang mereka miliki untuk menegakkan jam malam dan menangkap semua pelanggar," kata pernyataan Menteri Keuangan Patrick Boivert, penjabat perdana menteri, seperti dilansir AP, Selasa (5/3).
Geng-geng diperkirakan sudah menguasai hingga 80 persen ibu kota Port-au-Prince. Mereka semakin mengoordinasikan tindakan mereka dan memilih target yang sebelumnya tidak terpikirkan seperti Bank Sentral.
Perdana Menteri Ariel Henry melakukan perjalanan ke luar negeri pekan lalu untuk mencoba mendapatkan dukungan bagi pasukan keamanan yang didukung PBB untuk membantu menstabilkan Haiti dalam konfliknya dengan kelompok kejahatan yang semakin kuat.
Menurut PBB, Kepolisian Nasional Haiti hanya memiliki sekitar 9.000 petugas untuk memberikan keamanan bagi lebih dari 11 juta orang. Mereka sering kali kewalahan dan kalah dari segi persenjataan.
Akhir pekan yang mematikan kemarin menandai titik terendah baru dalam spiral kekerasan di Haiti. Setidaknya sembilan orang telah tewas sejak Kamis (29/2) – empat di antaranya adalah petugas polisi – ketika geng meningkatkan serangan terkoordinasi terhadap lembaga-lembaga negara di Port-au-Prince, termasuk bandara internasional dan stadion sepak bola nasional.
Namun, serangan terhadap Lembaga Pemasyarakatan Nasional pada Sabtu (2/3) malam mengejutkan warga Haiti yang terbiasa hidup di bawah ancaman kekerasan. Hampir semua dari sekitar 4.000 narapidana melarikan diri.
Permintaan Kolombia
Di antara narapidana yang memilih untuk tetap di penjara adalah 18 mantan tentara Kolombia yang dituduh bekerja sebagai tentara bayaran dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise pada Juli 2021.
"Tolong, tolong bantu kami," kata pria bernama, Francisco Uribe, dalam pesan yang dibagikan secara luas di media sosial. "Mereka membantai orang tanpa pandang bulu di dalam sel."
Kementerian Luar Negeri Kolombia telah meminta Haiti untuk memberikan perlindungan khusus bagi para pria tersebut.
Penjara kedua di Port-au-Prince yang menampung sekitar 1.400 narapidana juga diserbu.
Baku tembak dilaporkan terjadi di beberapa lingkungan di ibu kota. Layanan internet bagi banyak penduduk terputus karena jaringan seluler terkemuka di Haiti mengatakan sambungan kabel serat optik terputus saat terjadi kerusuhan.
Setelah geng-geng melepaskan tembakan di bandara internasional Haiti pekan lalu, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) mengatakan pihaknya menghentikan semua perjalanan resmi ke negara tersebut. Pada Minggu malam, mereka mendesak semua warga AS untuk keluar dari Haiti secepat mungkin.
Pemerintahan Joe Biden, yang menolak mengerahkan pasukan ke Haiti, namun menawarkan uang dan dukungan logistik mengatakan pihaknya memantau situasi keamanan yang memburuk dengan cepat dengan sangat prihatin.
Advertisement
Menolak Mundur
Lonjakan serangan terjadi setelah perdana menteri pergi ke Kenya untuk melanjutkan gagasan mengenai pengiriman misi keamanan yang didukung PBB ke negaranya.
Henry mengambil alih jabatan perdana menteri setelah pembunuhan Moise dan telah menunda rencana untuk mengadakan pemilu parlemen dan presiden. Penundaan pemilu belum pernah terjadi selama hampir satu dekade.
Jimmy Cherizier, mantan perwira polisi elite yang dikenal sebagai Barbecue yang sekarang menjalankan federasi geng, mengaku bertanggung jawab atas meningkatnya serangan. Dia mengatakan tujuannya adalah menangkap kepala polisi dan menteri pemerintahan Haiti serta mencegah kembalinya Henry.
Perdana menteri, yang merupakan seorang ahli bedah saraf, mengabaikan seruan agar dia mengundurkan diri dan tidak berkomentar ketika ditanya apakah dia merasa aman untuk pulang.