Solusi Ketahanan Pangan Indonesia Masih Ditolak Dunia

Pemerintah membawa strategi ketahanan pangan melalui kebijakan public stockholding dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-13 (KTM 13) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 26-29 Februari 2024.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 05 Mar 2024, 12:45 WIB
Petani menyiapkan lahan persawahan sebelum ditanami bibit padi di Tangerang Selatan, Jumat (15/10/2020). Lahan pertanian yang terbatas bisa dimanfaatkan dengan menanam tanaman pangan yang berusia pendek dan memiliki nilai ekonomis. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia mendorong program ketahanan pangan agar tidak hanya terjadi di dalam negeri, tapi juga seluruh muka bumi. Sayangnya, program tersebut belum mendapat dukungan sepenuhnya dari beberapa negara dunia.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Djatmiko Bris Witjaksono menceritakan, pemerintah membawa strategi ketahanan pangan melalui kebijakan public stockholding dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-13 (KTM 13) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 26-29 Februari 2024.

"Itu sudah banyak terjadi diskusi dan perkembangan, bahkan Indonesia sebagai koordinator sebagai kelompok G33 sudah menggalang berbagai anggota WTO lainnya yang langsung ataupun tidak langsung memang memiliki kepentingan terhadap perlunya keberadaan instrumen public stockholding untuk menjaga ketahanan pangan," jelasnya dalam sesi konferensi pers virtual, Selasa (5/3/2024).

Namun rupanya usul tersebut belum berhasil. Pasalnya, Djatmiko mengatakan, berbicara soal sektor pertanian itu memang ada beberapa kepentingan dari negara anggota. Tak hanya soal public stockholding, tapi juga terkait domestic support, export restrictions, hingga akses pasar.

"Masing-masing negara punya fokus beda sesuai dengan kondisi masing-masing. Ini memang belum bisa terjembatani hingga pertemuan kemarin," kata Djatmiko.

Kendati begitu, ia menilai situasi saat ini sudah lebih baik dibanding pertemuan-pertemuan KTM WTO sebelumnya. Dengan acuan adanya growing consensus, meskipun belum mencapai konsensus.

"Contoh seperti public stockholding ini tadinya didorong oleh kelompok G33, termasuk Indonesia. Sekarang sudah mendapat dukungan lebih dari 80 anggota WTO," imbuh Djatmiko.

 


Public Stockholding

Petani menanam padi di persawahan di kawasan Tangerang, Kamis (3/12/2020). Kementerian Pertanian menargetkan pada musim tanam pertama 2020-2021 penanaman padi mencapai seluas 8,2 juta hektare menghasilkan 20 juta ton beras. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Djatmiko turut menjelaskan latar belakang usul kebijakan Pemerintah RI terkait public stockholding. Adapun isu ketahanan pangan saat ini dirasa semakin strategis dengan dinamika yang terjadi.

Mulai dari masalah perubahan iklim yang berdampak terhadap posisi supply pangan masing-masing negara. Di sisi lain demand juga bertambah besar lantara populasi masyarakat dunia semakin membesar.

"Belum lagi kalau ada disrupsi, baik dari sisi logistik. Tentu ini jadi salah satu alasan kenapa perlu ada satu solusi yang permanen yang disepakati seluruh negara WTO bahwa ini penting," tegas Djatmiko.

Tidak hanya untuk negara yang memiliki program ini, Indonesia usul ke depan akan membuat berbagai proposal untuk adanya suatu instrumen yang dapat digunakan oleh seluruh negara anggota WTO.

"Supaya lebih fair, balance, bahwa ini tidak hanya untuk negara yang selama ini menerapkan mekanisme public stockholding untuk memastikan adanya ketahanan di sektor pangan," pungkasnya.

Infografis Pergerakan Harga Beras 15-22 Februari 2024 Versi Bapanas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya