Liputan6.com, Jakarta - Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) menggelar bedah film dan talkshow di Kampus Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu. Dua film yang dibedah adalah "Ahmadiyah’s Dilemma" dan "Puan Hayati: Threads of Faith".
"Ahmadiyah’s Dilemma" bercerita tentang kehidupan rapper Malik Ross yang mengeksplorasi tantangan identitas dan trauma dalam komunitas Ahmadiyah. Film ini banyak mengulik perjuangan yang dihadapi pengikut Ahmadiyah.
Advertisement
Sedangkan film "Puan Hayati: Threads of Faith" mengisahkan Dwi Utami dan Nata Hening yang berkomitmen pada keyakinan Puan Hayati di Jawa Tengah. Melalui narasi mereka, film ini mengungkap tantangan yang dihadapi agama-agama lokal di Indonesia, menyoroti ketahanan dan pencarian pemahaman.
Noor Huda Ismail sutradara Film sekaligus founder KPP menyebut film ini dibuat bagaimana memanusiakan manusia yang lain walaupun secara teologis berbeda keyakinan. Sebab, secara sosiologis manusia sama, meski berbeda keyakinan. Sehingga negara dapat memastikan teman-teman minoritas mendapatkan hak-haknya.
"Film ini bertujuan sebagai awareness campaign atau membangun kesadaran publik agar bisa menerima aliran keyakinan lain yang secara sosiologis bagian dari negara yang harus dilindungi," ucap Noor Huda Ismail, seperti dikutip dari rilis yang diterima wartawan.
Informasi Tidak Cukup Merata
Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menyebut, Indonesia sesungguhnya negara yang besar, karena banyak keberagaman.
Sayangnya informasi tidak cukup merata untuk diketahui, sehingga banyak hal yang tidak perduli soal keberagamaan. Dan, menurut Andy, itulah sebetulnya yang menjadi titik berangkat peristiwa intoleransi, peristiwa kekerasan yang dialami oleh orang yang dianggap berbeda dari kebanyakan.
Dengan adanya dua film ini, menurut Andy, Komnas Perempuan ingin memastikan ada ruang kita untuk bisa hidup berdampingan dengan damai dan tentram.
"Karena hidup berdampingan sangat penting. Karena dari peristiwa intoleransi, pasti ada perempuan yang jadi korbannya, dengan persoalan yang dia harus hadapi, langsung pada dampak peristiwa itu," ujar Andy.
Agar tidak terulang peristiwa kekerasan perempuan dan agama minoritas, Komnas Perempuan sudah berulang kali menyerahkan pemantauan tentang kondisi perempuan dalam berbagai peristiwa intoleransi di Indonesia.
"Kami telah melakukan dialog dengan Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Inilah tiga kementrian yang langsung terlibat, serta menteri koordinator politik hukum dan HAM untuk memastikan agar tidak terulang peristiwa tersebut," ujarnya.
Advertisement