Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menilai kembali penerapan pajak kripto di Indonesia.
Dikutip dari laman Bitcoin.com, Kamis (7/3/2024) seruan Bappebti untuk evaluasi ini muncul karena pendapatan dari aktivitas mata uang kripto terus melebihi pendapatan dari bisnis financial technology (fintech).
Advertisement
Indonesia diperkirakan telah mengumpulkan hampir USD 2,5 juta (Rp 39,13 miliar) dari aktivitas terkait cryptocurrency. Jumlah ini jauh melampaui USD 2,03 juta yang dikumpulkan dari bisnis fintech.
Kemudian, sepanjang 2023, Indonesia mengumpulkan USD 41,2 juta dari transaksi kripto dan hampir USD 28 juta dari bisnis fintech.
Sejak Mei 2022, Indonesia telah mengenakan pajak pertambahan nilai sebesar 0,11 persen pada setiap transaksi mata uang kripto yang dilakukan pada platform terdaftar, selain pajak penghasilan atas transaksi aset kripto.
Kepala Biro Pengembangan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya, menekankan pentingnya mengevaluasi pajak-pajak ini.
“Karena kripto akan menjadi sektor keuangan, kami berharap ada komitmen dari Dirjen Pajak untuk mengevaluasi pajak ini. Evaluasinya karena ini sudah ada lebih dari setahun. Tentu biasanya pajak dievaluasi setiap tahun,” kata Senjaya.
Menurut Senjaya, para pemangku kepentingan di industri cryptocurrency harus diberi waktu yang cukup untuk menjadi dewasa sebelum dikenakan pajak.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Indodax Harap Pajak Kripto Hanya 0,1%
Sebelumnya, munculnya pengaturan perpajakan kepada industri kripto di Indonesia menandakan sudah matangnya pertumbuhan industri kripto di Indonesia. Hal itu disepakati oleh Indodax, Bappebti dan Aspakrindo.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengungkapkan, pemberlakuan pajak ini memberikan beban finansial yang sangat berat bagi para investor kripto. Total jumlah pajak yang harus disetorkan setiap bulan disebutnya bahkan melebihi pendapatan para pelaku industri.
"Saat ini terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang dikenakan di Indonesia yaitu PPh sebesar 0.10 persen, PPN sebesar 0.11 persen, dan tambahan 0.02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring," ujar Oscar.
"Terlebih lagi, jika bertransaksi menggunakan stablecoin seperti USDT, akan dikenakan penggandaan pajak. Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia," bebernya.
Maka dari itu, menurut Oscar, industri ini membutuhkan sebuah trigger atau pemicu untuk merangsang pertumbuhannya. Salah satu cara yang paling efektif dengan melakukan peninjauan kembali besaran nominal pajak kripto di Indonesia melalui penghapusan besaran PPn dan hanya dikenakan PPh.
"Karena dalam waktu dekat industri kripto dari Bappebti akan dialihkan ke OJK. Artinya kripto akan menjadi bagian dari industri keuangan. Maka dari itu, tidak tepat jika masih dikenakan PPn dan diharapkan pajaknya bisa menjadi 0,1 persen," imbuh dia.
Advertisement
Regulasi Lahir untuk Mengatur
Sementara itu, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, mengatakan jika lebih dari 50 persen pajak fintech dihasilkan oleh pajak kripto.
"Memang adanya pengenaan pajak di industri kripto dapat menambah pendapatan negara kurang lebih Rp 259 miliar. Pajak kripto pun berkontribusi lebih dari 50 persen dalam industri fintech. Regulasi ini lahir untuk mengatur, bukan mengekang ataupun menghambat," ungkapnya.
"Namun ternyata adanya regulasi ini dalam implementasinya berdampak di pasar dan menambah biaya yang harus dibayarkan oleh investor," ia menambahkan.