Liputan6.com, Jakarta - Pertahanan Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan situasi di kawasan Indo-Pasifik. Kompetisi negara besar, sengketa teritorial di Laut China Selatan (LCS) dan perkembangan teknologi militer di negara-negara Indo-Pasifik menjadi tantangan strategis utama di kawasan ini.
Indonesia merupakan penjaga akses ke Samudera Pasifik dan Hindia yang memiliki tiga jalur pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia atau ALKI) yang melintang di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar. Seiring dengan peningkatan aktivitas militer laut dan udara di kawasan dan eskalasi konflik di negara-negara mitra kerja sama Indonesia, besar kemungkinan Indonesia akan ikut terdampak.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi segala potensi tantangan dan ancaman yang dapat menyebabkan instabilitas bagi Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara yang merupakan konsentrik kebijakan luar negeri utama. Pemerintah Indonesia perlu mensinergikan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negerinya agar mampu memberikan respons tepat terhadap perkembangan situasi di kawasan.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, riset dan pengembangan (research and development atau R&D), transformasi pertahanan dan penguatan SDM menjadi faktor esensial untuk meningkatkan kapasitas pertahanan Indonesia ditengah pesatnya perkembangan teknologi militer di tingkat global. Pemerintah Indonesia juga memerlukan dukungan dari komunitas epistemik untuk mendapatkan analisis yang akurat dan komprehensif terhadap kondisi kawasan Indo-Pasifik yang terus berubah.
Akan tetapi, jumlah think tank berkualitas di Indonesia masih sedikit apabila dibandingkan dengan negara kekuatan menengah lainnya, khususnya yang berfokus pada isu kebijakan luar negeri dan pertahanan. Indonesia tercatat memiliki 37 think tank (jauh di bawah Vietnam dengan 180 think tank) dan diantaranya hanya satu yang diakui dalam daftar 100 think tank terbaik dunia yaitu CSIS menurut data Universitas Pennsylvania 2020.
Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), yang bernaung di bawah Yayasan Rupa Madani Nusantara (Rupantara), didirikan sebagai wadah pemikir-pemikir di bidang pertahanan internasional untuk memberi masukan kebijakan yang tepat guna bagi pemerintah Indonesia. ISI berkonsentrasi pada lima fokus kajian yakni kebijakan luar negeri dan diplomasi, kebijakan pertahanan dan kajian stratejik, peperangan modern dan teknologi militer, ekonomi pertahanan serta kontra-terorisme dan kontra-insurgensi.
Peluncuran ISI dilaksanakan pada Rabu (8/3/2024) di Perpustakaan Nasional RI. Pada kesempatan tersebut, Muhammad Hadianto, pendiri dan penasihat Utama ISI, menjelaskan ISI diharapkan dapat menjadi leading sector dalam kajian yang menyangkut isu-isu keamanan dan geostrategi di Indo-Pasifik.
"Kami meyakini Indonesia akan menjadi kekuatan yang disegani ditengah perubahan dinamika keamanan global. ISI memiliki misi untuk memperkuat diskursus publik terkait geostrategi dan geopolitik di Indonesia melalui kolaborasi sipil dan militer," ujar Muhammad Hadianto.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto pun memberikan sambutan untuk peluncuran ISI.
"Sinergitas antara pemerintah dan ISI dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan Indonesia di kawasan Indo-Pasifik maupun di level global. Saat ini Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang diterima untuk ‘open for accession discussion’ dengan OECD. Untuk itu, kolaborasi yang erat dengan think tank seperti ISIsebagai knowledge partner diharapkan bisa berdampak positif pada upaya peningkatan kualitas kebijakan Indonesia," kata Airlangga Hartarto.
Sementara itu Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Agus Harimurti Yudhoyono menyampaikan apresiasi kepada ISI. Agus berharap bahwa ISI dapat menjadi kawah candradimuka para ahli sipil untuk kajian pertahanan dan kebijakan luar negeri sehingga Indonesia dapat memastikan keberlangsungan transformasi pertahanan.
Agus juga mendukung ISI untuk mewadahi kolaborasi sipil-militer karena belum banyak yang mengkaji kaitan dinamika Indo-Pasifik dan ekosistem industri pertahanan.
Terakhir, Kementerian Pertahanan menyambut baik kehadiran ISI dan menyatakan siap menerima saran kebijakan, khususnya untuk kepentingan nasional Indonesia yang bersentuhan dengan isu geostrategis di Indo-Pasifik. ISI juga diharapkan dapat berkontribusi untuk melahirkan kebijakan berkualitas pada isu-isu prioritas, seperti penguatan tata kelola akuisisi teknologi pertahanan dan kemandirian pertahanan yang selektif.