Liputan6.com, Moskow - Seorang mahasiswa di kampus Rusia dijatuhi hukuman 10 hari penjara di Moskow setelah mengganti nama jaringan wi-finya dengan slogan pro-Kyiv.
Laporan BBC yang dikutip Minggu (10/3/2024) menyebut mahasiswa The Moscow State University itu memberi judul jaringan tersebut "Slava Ukraini!" yang berarti "Kemuliaan bagi Ukraina!".
Advertisement
Pengadilan Moskow memutuskan dia bersalah karena menampilkan “simbol organisasi ekstremis” pada Kamis (7/3).
Sejak dimulainya perang Rusia di Ukraina, ribuan orang telah dijatuhi hukuman penjara atau denda karena mengkritik invasi atau mendukung Ukraina.
Mahasiswa tersebut ditangkap pada Rabu (6/3) pagi di Moskow, setelah seorang petugas polisi melaporkan nama jaringan tersebut kepada pihak berwenang.
Menurut dokumen pengadilan, petugas memeriksa kamarnya di dalam akomodasi mahasiswa universitas, dan menemukan komputer pribadi dan router wi-fi.
Pengadilan mengatakan dia menggunakan jaringan tersebut untuk "mempromosikan slogan 'Slava Ukraini!' ke jumlah pengguna yang tidak terbatas dalam jangkauan wi-fi." Router tersebut kini telah disita.
"Slava Ukraini" telah menjadi seruan para pendukung Ukraina, dan sering terdengar diteriakkan selama protes terhadap invasi besar-besaran Rusia, yang diluncurkan pada 24 Februari 2022.
Mahasiswa tersebut dinyatakan bersalah atas "demonstrasi publik atas simbolisme Nazi... atau simbol organisasi ekstremis". Presiden Rusia Vladimir Putin telah berulang kali membuat klaim tak berdasar tentang “rezim neo-Nazi” di Ukraina, dan menggunakannya untuk membenarkan invasinya.
Pelajar tersebut merupakan orang terakhir dalam daftar panjang orang-orang biasa Rusia yang dihukum karena komentar atau tindakan mereka mengenai perang. Bulan lalu, ratusan orang ditahan karena sekadar meletakkan bunga untuk mengenang pemimpin oposisi Alexei Navalny, yang meninggal secara mencurigakan di penjara Lingkaran Arktik.
Konflik tersebut bahkan tidak boleh disebut sebagai "perang" di Rusia - konflik tersebut harus disebut sebagai "operasi militer khusus".
21.000 Orang Jadi Sasaran UU Represif Rusia
Menurut Amnesty International, tahun lalu lebih dari 21.000 orang menjadi sasaran “undang-undang represif” Rusia yang digunakan untuk “menindak aktivis anti-perang”.
Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan “pengadilan yang sangat tidak adil” digunakan untuk “menjatuhkan hukuman penjara dan denda yang besar untuk membungkam kritik dalam menanggapi perbedaan pendapat sekecil apa pun.”
Advertisement
Rusia Ingatkan Konflik Ukraina Bisa Meluas Jadi Perang Eropa Skala Penuh
Sebelumnya, seorang perwira senior militer Rusia beri peringatan bahwa konflik di Ukraina dapat meningkat menjadi perang skala penuh di Eropa apabila negara Barat ikut campur terlalu jauh.
Ia juga menekankan adanya potensi peningkatan pasukan Moskow "secara signifikan" dalam konflik baru itu, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (8/3/2024).
Kepala Akademi Staf Umum Militer Angkatan Darat Rusia Kolonel Jenderal Vladimir Zarudnitsky menyampaikan komentar tersebut dalam sebuah artikel berjudul "Pemikiran Militer" -- sebuah publikasi dari kementerian pertahanan, demikian laporan dari kantor berita negara RIA pada Kamis (7/3).
"Kemungkinan eskalasi konflik di Ukraina tidak dapat diabaikan. Ditambah rencana kehadiran 'pasukan proxy' yang digunakan untuk melawan militer Rusia. Ini dapat memicu perang skala besar di Eropa," katanya.
Pasukan proxy adalah kelompok bersenjata dari negara-negara lain (Eropa) dalam melawan Rusia di Ukraina.
“Sumber utama ancaman militer negara kita adalah kebijakan anti-Rusia,” ujar Zarudnitsky.
“Kemungkinan negara kita bisa terlibat dalam konflik militer yang mampu meningkat secara signifikan,” katanya.
Perang Rusia Vs Ukraina Picu Krisis
Perang di Ukraina sudah memicu krisis dalam hubungan Rusia dengan Barat sejak Krisis Rudal Kuba 1962.
Putin juga sudah memberi peringatan bahwa Barat bisa memantik perang nuklir jika mereka memutuskan untuk mengirim pasukan bertempur di Ukraina.
Putin berdalih, tujuan pengiriman puluhan ribu tentara ke Ukraina pada Februari 2022 untuk melindungi keamanan negaranya dari Kyiv yang semakin bermusuhan dan didukung oleh AS.
Ukraina menyatakan bahwa mereka sedang mempertahankan diri dari upaya penaklukan dengan gaya kekaisaran yang dirancang Rusia untuk menghapus identitas nasionalnya.
Advertisement