Liputan6.com, Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Bandung menyatakan akan mengamati awal bulan Ramadan 1445 Hijriyah di dua tempat yakni di Tower Observatory Hilal BMKG, Cikelet-Garut, Minggu, 10 Maret dan Rooftop Gedung Kantor Stasiun Geofisika Bandung, Senin, 11 Maret 2024.
Menurut Kepala BMKG Stasiun Geofisika Bandung Teguh Rahayu, perkiraan soal umur bulan pada 10 Maret di Tower Observatory Hilal BMKG, Cikelet-Garut yakni 2,06 jam. Sedangkan di Rooftop Gedung Kantor Stasiun Geofisika Bandung terlihat sama yaitu 2,06 jam pada 11 Maret 2024.
"Tinggi hilal teramati di Tower Observatory Hilal BMKG tanggal 10 Maret mencapai 0 derajat 44,07' dan di Rooftop Gedung Kantor Stasiun Geofisika Bandung tanggal 11 Maret yaitu 11 derajat 57,87'," ujar Rahayu dalam keterangannya ditulis, Bandung, Minggu, 10 Maret 2024.
Rahayu menjelaskan untuk waktu terbenam matahari pada 10 Maret di Garut pada 18.03.50 WIB dan Bulan pukul 18.08.40 WIB.
Baca Juga
Advertisement
Sementara pengamatan kondisi yang sama untuk Wilayah Bandung, Matahari pada 11 Maret terbenam pukul 18.04.28 WIB dan Bulan terbenam pukul 18.57.34 WIB.
"Itu hasil hisab yang dilakukan, waktu konjungsi ijtima terjadi pada 10 Maret 2024, pukul 09.00.18 UT atau pukul 16.00.18 WIB tepat pada posisi 350,280 derajat," kata Rahayu.
Secara umum kondisi cuaca pada saat pengamatan Hilal pada tanggal 10 dan 11 Maret 2024 diprakirakan hujan ringan sampai sedang, sehingga hilal berpotensi tidak dapat teramati.
Rahayu mengatakan berdasarkan data Hilal awal Ramadhan 1445 H pada 10 dan 11 Maret 2024 tersebut, dan data rekor Hilal oleh BMKG, keilmuan astronomi, serta data prakiraan cuaca, maka Hilal awal Ramadhan 1445 H berpotensi sangat kecil atau tidak dapat teramati pada tanggal 10 dan 11 Maret 2024.
"Masyarakat luas dapat ikut melihat hilal penentu awal Ramadhan 1445 H hari ini, 10 Maret 2024 pada sore hingga petang, secara langsung online (live streaming) dengan mengakses laman BMKG http://www.bmkg.go.id/hilal," sebut Rahayu.
Berdasarkan hal tersebut, Rahayu menerangkan secara astronomis pelaksanaan rukyatul hilal penentu awal Ramadhan 1445 Hijriyah bagi yang menerapkan rukyat dalam penentuannya adalah setelah matahari terbenam tanggal 10 bagi yang di tempatnya konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam dan tanggal 11 Maret 2024 bagi yang konjungsinya terjadi setelah Matahari terbenam.
Sementara bagi yang menerapkan hisab dalam penentuan awal Ramadhan 1445 Hijriyah, Rahayu menyebutkan perlu diperhitungkan berbagai kriteria hisab saat Matahari terbenam tanggal 10 dan 11 Maret 2024.
"Untuk mengawali Ramadhan 1445 H (2024 M), dimohon umat Islam menunggu hasil keputusan sidang isbat yang akan diumumkan pada 10 Maret 2024 malam," ucap Rahayu.
Simak Video Pilihan Ini:
Pengamatan Hilal di Bosscha
Tim Observatorium Bosscha melaksanakan pengamatan hilal di Observatorium Bosscha, Lembang, pada tanggal 10 Maret 2024 dari pagi hari hingga Bulan terbenam di ufuk Barat.
Menurut Divisi Pelayanan Publik Obeservatorium Bosscha Yatny Yulianty, kegiatan pengamatan bulan sabit oleh Observatorium Bosscha ditujukan untuk meneliti ambang visibilitas (kenampakan) bulan sebagai fungsi dari elongasi terhadap ketebalan sabit bulan, juga dalam rangka rukyatul hilal bulan Ramadan 1445 H.
"Rukyatul hilal dilaksanakan pada 10 Maret 2024 mulai sore hari hingga Bulan terbenam. Sabit bulan yang tampak setelah Matahari terbenam pada tanggal tersebut dikenal sebagai hilal," jelas Yatni dicuplik dari laman Bosscha, Bandung, Minggu, 10 Maret 2024.
Yatni menjelaskan pengamatan dilakukan dengan menggunakan sebuah teleskop refraktor berdiameter 106 mm yang dilengkapi detektor kamera berbasis CMOS (Complementary Metal-Oxide Semiconductor).
Citra yang ditangkap oleh kamera kemudian diproses menggunakan perangkat pengolahan citra untuk meningkatkan kualitas tampilan sabit bulan.
"Perangkat lunak ini dikembangkan secara mandiri oleh peneliti di Observatorium Bosscha," kata Yatni.
Data hilal Ramadan 1445 H yang didapatkan dari hasil perhitungan peneliti Observatorium Bosscha, menunjukkan bahwa di Indonesia, elongasi Bulan dan Matahari dalam geosentrik merentang antara 2,2 derajat-2,8 derajat.
Sedangkan dalam toposentrik merentang antara 1,6 derajat-2,1 derajat dan ketinggian Bulan merentang antara -1,0 derajat hingga 0,5 derajat.
Advertisement
Penentuan Awal Bulan Ramadan
Di Indonesia, pihak yang berwenang menentukan awal bulan Hijriah penting, seperti Ramadhan, adalah pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama Republik Indonesia dalam proses sidang isbat pada tanggal 10 Maret 2024.
Tugas Observatorium Bosscha adalah menyampaikan hasil perhitungan, pengamatan, dan penelitian tentang hilal kepada unit pemerintah yang berwenang jika diperlukan sebagai masukan untuk sidang isbat.
"Masyarakat dapat mengakses data dan hasil pengamatan hilal di website Observatorium Bosscha https://bosscha.itb.ac.id," terang Yatni.
Sebagai institusi pendidikan dan penelitian di bidang astronomi, Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung melaksanakan pengamatan bulan sabit muda pada hampir setiap bulan.
Setiap tahunnya, Observatorium Bosscha menjadi salah satu rujukan untuk penetapan awal bulan Hijriah, termasuk Ramadhan, bagi Kementerian Agama Republik Indonesia dan masyarakat umum.
Kali ini, Observatorium Bosscha akan menyelenggarakan rangkaian pengamatan bulan sabit yang merupakan penanda beralihnya bulan Sya’ban ke bulan Ramadan 1445 Hijriyah.
Perlunya Sidang Isbat Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah
Mencuplik laman Kementerian Agama, sidang isbat (penetapan) awal Ramadan, Syawwal, dan Zulhijjah rutin dilaksanakan.
Hal ini sudah berlangsung sejak dekade 1950-an, sebagian sumber menyebut tahun 1962. Hasil sidang isbat diumumkan oleh Menteri Agama dan itu menjadi momen yang ditunggu masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, MUI menerbitkan Keputusan Fatwa No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Fatwa itu salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib, menjelaskan sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.
"Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan," jelas Adib.
Sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah.
Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan. Sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan.
"Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan berlebaran," kata Adib.
Dalam prosesnya, Adib menerangkan sidang isbat menjadi forum musyawarah para ulama, pakar astronomi, ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam, termasuk instansi terkait dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Sidang ini dihadiri juga Duta Besar Negara Sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren.
"Hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum. Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat," tukas Adib.
Sidang Isbat penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, kata Adib, bukan hanya dilakukan Indonesia saja.
Negara-negara Arab juga melakukan isbat setelah mendapatkan laporan rukyat dari lembaga resmi pemerintah atau perseorangan yang sudah terverifikasi dan dinyatakan sah oleh Majlis Hakim Tingginya. Bedanya, Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah dengan seluruh peserta sidang isbat.
"Inilah yang menjadi nilai lebih bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat," tegas Adib.
Adib menegaskan bahwa peran pemerintah dalam proses sidang isbat adalah fasilitator ormas Islam dan para pihak untuk bermusyawarah.
Hasil sidang isbat kemudian diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri Agama agar mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani masyarakat.
"Sidang isbat mengingatkan kita semua akan pentingnya menyatukan langkah dalam menjalankan ibadah dan memperkuat hubungan bersama dengan Allah, dengan tetap mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati atas beragam keputusan yang ada," ungkap Adib.
Advertisement