Mengintip Cuan Budidaya Aloe Vera di Gunungkidul, Makin Naik Kelas Berkat BRI

Gunungkidul punya komoditas potensial berupa aloe vera.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 12 Mar 2024, 19:56 WIB
Desa aloe vera tak luput dari peran BRI di dalamnya (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu)

Liputan6.com, Gunungkidul Lepas tengah hari, Sumarni (53) sibuk mengemas minuman nata de aloe vera. Minuman tersebut berbentuk cup kecil dengan beragam rasa. Hari itu, Sumarni dibantu tetangganya Marni sedang mengemas nata de aloe vera rasa nanas.

Minuman tersebut sekilas mirip dengan nata de coco yang terbuat dari fermentasi air kelapa. Bedanya, minuman milik Sumarni terbuat dari daging daun aloe vera atau yang kerap dikenal sebagai lidah buaya

Jika nata de coco punya tekstur kenyal dan padat, nata de aloe vera cenderung lebih renyah dan kenyal ketika dikunyah. Dipadukan dengan sirup aneka rasa yang manis, nata de aloe vera begitu segar dinikmati di siang hari atau saat berbuka puasa. 

Sumarni menyebutkan, menjelang Ramadan dan Idulfitri, permintaan nata de aloe vera meningkat. Ia perlu bekerja ekstra untuk memproduksi olahan aloe vera ini.

“Menjelang puasa dan lebaran, kami pasti harus gerak cepat memenuhi permintaan yang bisa berkali lipat dari biasa” ujar Sumarni, Sabtu (2/3/2024).


Budidaya Aloe Vera Pertama di Gunungkidul

Sumarni (53) dan anaknya Alan Efendhi (35) merintis pertanian aloe vera pertama di Gunungkidul (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu)

Sejak 2014 silam, Sumarni merintis usaha aloe vera di dusunnya Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunungkidul. Usaha ini tak lepas dari peran sang anak, Alan Efendhi (35) yang pertama mencetuskan ide bertani aloe vera. 

Saat itu, Alan yang masih merantau di Jakarta mulai memikirkan untuk membuka usaha yang juga bisa memberdayakan masyarakat di desanya. Alan kemudian mencari komoditas yang bisa menjadi potensi di desanya.

“Kalau tetap nanam hortikultura, kita enggak punya skill-nya. Nanam tanaman musiman juga ketika pas musim panen raya, harganya juga anjlok. Ingin nyari komoditas yang asing tapi prospeknya bagus”  ujar Alan saat ditemui di rumahnya Sabtu (2/3/2024).

Alan sempat mempertimbangkan komoditas seperti buah naga, pepaya kalifornia, dan anggur. Hingga akhirnya, aloe vera dipilih karena dinilai paling menguntungkan. Menurut Alan, ilklim kering yang ada di Gunungkidul sangat cocok ditanami aloe vera.

Sumarni dan Alan menjadi warga Gunungkidul pertama yang serius membudidayakan aloe vera. Pada 2018, Alan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Mountvera Agrotech yang menggandeng para perempuan di Jeruklegi untuk membudidayakan aloe vera. Anggota KWT inilah yang kemudian menjadi plasma aloe vera hingga saat ini.

Daerah Kabupaten Gunungkidul terletak dalam zona iklim tropis, dengan kondisi geografis yang didominasi oleh perbukitan karst. Gunungkidul memiliki iklim yang kering terutama selama musim kemarau. Masa ini ditandai dengan rendahnya curah hujan atau bahkan tidak ada hujan sama sekali dalam beberapa bulan berturut-turut. 

Di musim kemarau, suhu udara menjadi tinggi, kadang mencapai lebih dari 30 derajat Celsius, terutama pada siang hari. Tanah bisa menjadi kering dan retak-retak, menyebabkan tanaman dan vegetasi mengalami stres karena kekurangan air. Aloe vera dinilai tahan terhadap kondisi iklim tersebut.

“Aloe vera ini paling mudah perawatannya. Tidak mengenal musim. Itu kenapa saya milih aloe vera. Bahkan hampir tidak punya hama. Belalang enggak mau. Siput enggak mau. Tidak kena air juga tumbuh. Tidak disiram setahun pun hidup” ujar Alan.

 

 


Potensi cuan dari aloe vera

Produk nata de aloe vera yang diproduksi Sumarni (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu)

Aloe vera terkenal dengan daunnya yang tebal, runcing, dan hijau dengan semburat putih atau kuning. Panjangnya bisa mencapai 30–50 sentimeter. Setiap daun mengandung jaringan berlendir yang menyimpan air sehingga membuatnya menjadi tebal.

Menurut Kementerian Pertanian, di Indonesia aloe vera awalnya ditanam dalam skala kecil di pot atau pekarangan pada tahun 1980-an. Namun, sekitar 1990-an, petani aloe vera mulai menanamnya di lahan khusus. Seiring dengan manfaat yang diperoleh, minuman segar dari lidah buaya semakin berkembang dari waktu ke waktu.

Pada 1992, para petani telah beralih ke sistem monokultur, yang berarti mereka mulai membudidayakan lidah buaya di lokasi yang ditetapkan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih. Pemilihan lokasi yang tepat untuk tanaman ini menjadi penting untuk memastikan tanahnya bebas dari penyakit.

Salah satu sentra terbesar produksi aloe vera di Indonesia ada di Pontianak. Menurut data BPS pada 2020, produksi aloe vera bisa mencapai 16.928 ton dengan nilai provitas 184 ton per hektare. 

Harga aloe vera di sentra produksi pada triwulan II tahun 2021 di tingkat petani bisa mencapai Rp 5500 per kg dan di pasar Rp 6.250. Komoditas ini diterima baik untuk pasar domestik di sejumlah kota besar maupun manca negara seperti wilayah Asia.

Tumbuhan sukulen ini punya prospek bagus dalam bisnis. Ia bisa dimanfaatkan dalam beragam industri seperti kuliner, kosmetik, farmasi, hingga pupuk. Aloe vera bak oase di tengah keringnya Gunungkidul.

“Dengan kekurangan Gunungkidul iklimnya kering, panas kalau musim kemarau, tanahnya tadah hujan. Singkat cerita, terpilihlah si lidah buaya ini, karena pertama mudah dirawat. Terus potensinya luas, karena dia masuk industri farmasi, kosmetik, kuliner” ujar Alan.

Hingga kini Alan fokus memanfaatkan budidaya aloe veranya untuk potensi kuliner dan edukasi. Produk kuliner dengan brand Rasane Vera yang dihasilkan antara lain seperti nata de aloe vera, nata de aloevera, aloevera cube drink, dan aloe liquid. Alan juga menjual aloe vera dan gelnya ke beberapa industri. 

Selain makanan, Alan kini membuka wisata edukasi budidaya aloe vera dan produksi produknya. Di wisata edukasi ini Alan menawarkan program yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang pemanfaatan aloe vera dari hulu ke hilir. 

Konsep "dari hulu ke hilir" mengacu pada pemahaman menyeluruh tentang suatu proses, dari awal sampai akhir. Dalam konteks budidaya aloe vera, "hulu" mengacu pada tahap awal produksi, seperti pemilihan bibit, penanaman, dan perawatan tanaman. Sedangkan "hilir" mengacu pada tahap akhir produksi, termasuk panen, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk akhir.

“Kami di Gunungkidul yang pertama menyuguhkan wisata edukasi hulu hilir. Wisata belajar yang menyuguhkan dari mulai nanam, perawatan sampai mengolah hasil dari budidaya" ujar Alan.

Berbagai manfaat aloe vera ini memungkinkan peluang bisnis yang menjanjikan dengan potensi omset yang menguntungkan. Dalam sebulan, dari sektor kuliner dan edukasi, Alan bisa cuan Rp 45 juta hingga Rp 50 juta tiap bulannya. 

“Seluruhnya menjual mentah, edukasi, produk, kurang lebih Rp 45-50 juta. Tergantung bulan sih, kalau lebaran itu bisa lebih” tambah Alan.

 

 


Berdayakan warga sekitar

Perempuan di dusun Jeruklegi sedang memanen aloe vera (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu)

Bukan cuma Alan, warga Jeruklegi pun turut merasakan kesegaran cuan budidaya aloe vera Jeruklegi. Keuntungan ini terutama dinikmati oleh para ibu yang menanam aloe vera di pekarangan rumahnya. 

KWT yang diketuai sang ibu juga berinovasi dengan memproduksi keripik dan dodol aloe vera. Beberapa anggota KWT juga turut dalam produksi minuman aloe vera. 

Saat ini ada 25 anggota KWT yang memiliki kebun aloe vera di rumah masing-masing. Dusun Jeruklegi kini dijuluki Desa Aloe Vera karena banyaknya warga yang bertanam tumbuhan ini.

“Kebunnya kurang lebih total ada 3000 m persegi. Cuma kalau dikumpulkan seluruh petani-petani kurang lebih 1.5 sampai 2 hektar” ujar Alan.

Keuntungan yang diraup para ibu di Jeruklegi bisa menambah pemasukan keluarga. Cuan inilah yang kemudian mengubah perekonomian warga.

“Sangat terasa (perubahannya) di masyarakat. Minimal itu biaya sekolah anak hingga biaya dapur terpenuhi tanpa harus mengandalkan para suami yang sebagian besar buruh serabutan” ujar Alan. 


Makin naik kelas berkat dukungan BRI

Produk nata de aloe vera yang dapat dukungan produksi dari BRI (foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu)

Perjalanan Alan mengembangkan budidaya aloe vera tak lepas dari dukungan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada 2019, Alan mengikuti program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditawarkan oleh BRI. Permodalan inilah yang dimanfaatkan Alan untuk mengembangkan UMKM aloe vera. 

Pada 2020, UMKM Alan mendapatkan pendampingan berupa pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Produk-produk aloe vera Alan juga kerap masuk ke dalam bazar, expo, dan pameran yang diadakan oleh BRI. Setahun kemudian, BRI menyalurkan Corporate social responsibility (CSR) untuk klaster aloe vera di Jeruklegi. Bantuan CSR ini diberikan dalam bentuk alat bantu kerja.

Alan mengungkapkan, BRI sangat membantu pelaku UMKM sepertinya untuk menata rencana-rencana bisnisnya. Dengan bantuan BRI, Alan bisa punya rencana yang lebih luas untuk klaster aloe vera yang sudah ia bangun. Menurutnya, BRI membantu usahanya untuk naik kelas lebih cepat.

“Jelas terbantu, kita sebagai entrepreneur kan punya planning jangka pendek dan panjang. Kita sudah memetakkan kira-kira tiap tahun ini harus berprogres. Dengan adanya BRI masuk memberikan support berarti kita sudah selangkah lebih maju. Planning kita dipenuhi dan dissupport BRI. Jadi kita tidak harus melalui itu sendiri” ujar Alan.

Ari Wibowo, Kepala Unit BRI Nglipar, Gunungkidul menyebutkan, klaster aloe vera yang ada di Jeruklegi punya potensi besar mengubah perekonomian warga. Ini sebabnya program CSR BRI menyasar klaster tersebut. Ari melihat, visi misi yang dimiliki Alan untuk memberdayakan masyarakat sesuai dengan visi misi dari BRI untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.

“BRI saat ini memang fokus ke ekonomi mikro. Artinya dengan adanya CSR yang diberikan ke klaster-klaster seperti aloe vera, bisa menumbuhkan jiwa masyarakat untuk berwirausaha” ujar Ari yang ditemui di Kantor BRI Unit Nglipar, Gunungkidul.

Sebagai penunjang perekonomian mikro, kecil, dan menengah, BRI membantu UMKM dengan memberi layanan permodalan, pendanaan, transaksi keuangan, hingga program CSR. Ari menyebutkan, selain menyalurkan KUR dan CSR, BRI juga mendukung kemudahan transaksi keuangan UMKM melalui pemberian QRIS. 

BRI juga memiliki program-program pemberdayaan ekonomi yang ditujukan khusus untuk UMKM. Program ini mencakup pelatihan, pendampingan, dan bantuan teknis untuk membantu UMKM meningkatkan keterampilan manajerial, pemasaran, dan produksi, sehingga mereka dapat berkembang dan bersaing di pasar. Dengan begitu, UMKM binaan BRI punya kelas lebih tinggi.

“Dengan adanya ekosistem keuangan BRI di sini, kita bisa mendukung secara ekonomi, secara usaha, dan secara juga terkait dengan teknik pemasaran yang ada” ujar Ari.

Ari juga berharap, kehadiran BRI bisa membantu memberdayakan masyarakat agar bisa meningkatkan perekonomian. Dengan begitu, masyarakat bisa berdiri sendiri dengan berwirausaha. Secara keseluruhan BRI memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung perkembangan UMKM di Indonesia, membantu mereka untuk berkembang, bertahan, dan menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya