Liputan6.com, Bandung - Hutan begitu berkontribusi pada kelangsungan hidup. Peranannya sangat krusial semisal menyangkut siklus iklim, pengontrol banjir, pemeliharaan kualitas udara, pemurnian air, hingga perlindungan dari badai.
Oleh karenanya, upaya perlindungan hutan dipandang jadi keharusan. Langkah konkret yang perlu dilakukan antara lain menyangkut pengelolaan regulasi dan ekosistem hutan.
Advertisement
Hal tersebut disampaikan Dr Elham Sumarga, dari Kelompok Keahlian (KK) Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, dalam suatu sesi kuliah Population, Activities, Resources, and Environments (PARE) Spring School 2024, bertempat di Gedung KOICA, Kampus ITB Jatinangor, pertengahan Februari 2024 lalu.
Tahun ini, ITB jadi tuan rumah PARE Spring School yang menggelar berbagai sesi kuliah dan diskusi dengan bahasan sustainabilitas lingkungan.
Dalam sesi kuliah soal pengelolaan hutan berkelanjutan itu, Elham menyampaikan, hutan juga menyimpan nilai karbon yang cukup tinggi dan memiliki nilai keanekaragaman hayati.
Hutan, lanjut Elham, ikut berperan dalam menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki cadangan karbon terbesar di dunia.
“Indonesia memiliki cadangan karbon terbesar di dunia, yang berkisar 75-80% dari total stok karbon dunia. Penyimpanan karbon ini dapat ditemui di hutan, gambut, bakau, padang lamun, hingga tanah. Akumulasi bahan organik sangat tinggi, terutama pada hutan bakau dan lahan gambut yang tertutup air. Kondisi tersebut memicu bahan organik dan sampah terurai lebih lambat,” katanya dicuplik pada laman ITB, Rabu, 13 Maret 2024.
Pemeliharaan stok karbon dapat menurunkan pelepasan emisi karbon ke atmosfer, mengurangi risiko bencana, dan mencegah perubahan iklim.
Pengelolaan Hutan
Terkait pengelolaan hutan berkelanjutan, kata Elham, yang bisa dilakukan adalah tebang pilih berdasarkan jenis pohon dan diameter batangnya, tebang tanam, rehabilitasi area pasca pertambangan, pencegahan kebakaran, mengalokasikan kawasan untuk konservasi keanekaragaman hayati.
"Corporate Social Responsibility (CSR) dan pembagian manfaat dengan masyarakat setempat, serta sertifikasi hutan,” katanya.
Pengelolaan hutan berkelanjutan itu dapat dibagi berdasarkan manajemennya, bukan berdasarkan jenisnya. Pembagian itu meliputi hutan produksi alami, hutan produksi buatan, hutan konservasi, dan hutan lindung.
“Kalau di hutan konservasi dan hutan lindung, tentu aspek lingkungannya harus lebih diperhatikan daripada hutan produksi. Di hutan konservasi, seperti konservasi koleksi plasma nutfah dan taman nasional, harus ada pengontrolan terhadap spesies invasif. Pada hutan lindung, contohnya di Gunung Geulis, perlu melibatkan masyarakat lokal terhadap pengelolaannya," jelasnya.
Elham menegaskan, keberlanjutan itu muskil dicapai tanpa adanya kolaborasi antar berbagai stakeholders.
"Salah satunya dengan menggiatkan agroforestry sehingga masyarakat bisa ikut menanam di wilayah hutan lindung dan memetik keuntungan,” tandasnya.
Advertisement
Hutan yang Hilang
Mengutip pemberitaan sebelumnya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Muhammad Iqbal Damanik menyebut, berdasarkan riset Greenpeace sejak 2015 hingga 2019, 4,4 juta hektare hutan di Indonesia sudah hangus dilahap api. Dalam kurun tersebut, Indonesia kehilangan hutan setara delapan kali Pulau Bali.
Dari total luas yang hangus, kata Iqbal, sekitar 1,3 juta hektare atau 30 persen kebakaran terjadi di kawasan-kawasan konsesi perusahaan sawit serta perusahaan bubur kertas.
Iqbal menyampaikan, pola waktu kebakaran hutan di sejumlah provinsi sebetulnya terpetakan. Di daerah Riau, misalnya, kebakaran kerap terjadi pada rentang awal kemarau, Januari hingga Maret. Selanjutnya, kembali berlangsung pada Mei hingga September.
Di titik lain, kebakaran hutan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan biasanya pada kurun Juni hingga Oktober, sementara Jambi dari Juni hingga September.
"Artinya apa? Artinya, pemerintah sebenarnya sudah tahu kapan akan kebakaran," katanya pada acara Fundemi Konservasi II, di Kedai Kopi 08, Juanda, Bandung, April 2021 lalu.
Dengan pemahaman pola waktu demikian, pemerintah seharusnya bisa lebih mengupayakan mitigasi dan pencegahan, maupun penanganan.
Iqbal menjelaskan, luasnya kebakaran hutan yang terjadi dipicu potensi kekeringan karena perubahan iklim dan persoalan kawasan gambut yang juga mengering sebagai dampak dari perkebunan industri.
"Semakin kering lahan gambut semakin mudah terbakar," katanya.
Deforestasi di Jabar
Merujuk opendata.jabar, tercatat seluas 907.683,68 hektare lahan kritis di Jawa Barat per 2022 lalu. Diduga, luasan lahan kritis tersebut semakin bertambah tiap tahun, seiring dengan intervensi berbagai kegiatan, salah satunya rencana-rencana kegiatan infrastruktur serta pembangunan properti, tambang, dan maraknya izin usaha wisata alam di Jawa Barat.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudi Iwang, kepada tim Regional Liputan6.com mengatakan, dari tahun ke tahun wilayah Provinsi Jawa Barat mengalami deforestasi serta degradasi kawasan hutan yang signifikan.
Bentang alam berubah akibat alih fungsi lahan yang berlebihan, baik daerah perdesaan, rural hingga daerah urban.
Khusus di Bandung Raya, lahan yang berstatus sangat kritis di Kabupaten Bandung tercatat seluas 46.678,84 hektare, Kabupaten Bandung Barat seluas 53.018,62 hektare, Kota Cimahi seluas 616,03 hektare dan Kota Bandung 837,42 hektare.
Memasuki 2024 ini, luasan lahan kritis itu diduga kian bertambah, di antaranya terjadi penyusutan tutupan lahan (Tuplah) di Bandung Raya.
"Kebijakan pemerintah pun paling dominan juga memberikan kontribusi kuat terhadap masalah tersebut," kata Iwang.
Advertisement