1 Dari 10 Anak Menyandang Disabilitas, Angkanya Terus Meningkat Akibat Konflik dan Bencana

Dalam setiap krisis, anak-anak dan orang dewasa penyandang disabilitas termasuk yang paling banyak terkena dampaknya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Mar 2024, 08:00 WIB
Kenzi Al Madhoun, seorang anak Palestina berusia empat tahun yang menjdi korban serangan Israel. Ia dirawat di RS Al Aqsa yang berlokasi di Jalur Gaza. (Ap Photo/Abdel Kareem Hana).

Liputan6.com, Jakarta - Satu dari setiap 10 anak adalah penyandang disabilitas. Kondisi disabilitas di kalangan anak-anak semakin meningkat di antaranya akibat konflik bersenjata dan bencana.

Hal ini diungkap dalam buku panduan Including Children with Disabilities in Humanitarian Action yang diterbitkan UNICEF pada 16 Februari 2024.

Dalam setiap krisis, anak-anak dan orang dewasa penyandang disabilitas termasuk yang paling banyak terkena dampaknya. Mereka terpinggirkan dan sering kali tidak mendapat bantuan kemanusiaan.

Padahal, anak-anak penyandang disabilitas adalah yang paling membutuhkan layanan dasar untuk bertahan hidup dan berkembang.

“Selain kebutuhan nutrisi, layanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan lingkungan yang protektif. Mereka punya tambahan kebutuhan lain karena kondisi disabilitas mereka, seperti lingkungan yang dapat diakses dan alat bantu,” kata Director, Programme Division UNICEF, Ted Chaiban dalam publikasi tersebut.

Dalam membantu anak penyandang disabilitas, diperlukan pemahaman yang lebih baik soal tantangan yang mereka hadapi dalam krisis kemanusiaan. Hal ini juga penting untuk dilakukan guna mengetahui bagaimana menyesuaikan program kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Beberapa tantangan yang dihadapi oleh anak-anak dan orang dewasa penyandang disabilitas dalam krisis kemanusiaan yakni:

Jarang Dilibatkan Dalam Pengumpulan Data

Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas jarang dilibatkan dalam penilaian, pelatihan, dan pengumpulan data lainnya. Akibatnya, program kemanusiaan mungkin tidak terdokumentasi dan tidak mempertimbangkan kebutuhan mereka.


Intervensi Kemanusiaan Tak Dibuat Khusus untuk Difabel

Kendala berikutnya, intervensi kemanusiaan arus utama tidak diperhitungkan secara khusus bagi anak-anak penyandang disabilitas.

Intervensi penting seperti pemberian makan bayi dan anak, kampanye vaksinasi dan dukungan psikososial, sering menjangkau anak-anak melalui sekolah. Sementara, ruang ramah anak yang mencakup anak-anak dan remaja penyandang disabilitas mungkin dikecualikan.

Keluarga Menyembunyikan Anak Difabel

Di waktu bersamaan, keluarga juga mungkin menyembunyikan anak dari masyarakat karena stigma. Ini dapat mengurangi akses anak terhadap bantuan dan dukungan kemanusiaan.


Kurangnya Pengetahuan Tentang Anak Disabilitas

Kendala juga muncul akibat kurangnya pengetahuan tentang anak penyandang disabilitas. Dan kurangnya kapasitas program untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Lokasi Layanan Kemanusiaan Sulit Diakses

Di sisi lain, bantuan dan layanan kemanusiaan, seperti makanan, air bersih, fasilitas kesehatan, ruang belajar sementara, dan ruang ramah anak seringkali berlokasi di tempat yang tidak dapat diakses oleh difabel.

Begitu pula penyediaan sarana untuk mendukung anak-anak dan remaja penyandang disabilitas, seperti fasilitas cuci tangan, dan alat bantu tidak direncanakan atau diposisikan sesuai kebutuhan disabilitas.


Angka Penyandang Disabilitas Terus Naik

Masalah kemanusiaan terkait disabilitas perlu ditangani lantaran jumlah penyandang disabilitas di dunia tidak sedikit.

Laporan tahun 2011 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa satu miliar orang di seluruh dunia menyandang disabilitas. Termasuk 93 juta anak di bawah usia 14 tahun.

Jumlah ini meningkat seiring adanya bencana dan konflik bersenjata. Penyandang disabilitas memang sangat rentan terhadap bencana.

Contohnya pada gempa dan tsunami tahun 2011 di Jepang, angka kematian di kalangan penyandang disabilitas adalah dua kali lipat dari angka kematian populasi lainnya (IFRC, Handicap International dan CBM, 2015).

Selama bencana dan konflik, anak-anak penyandang disabilitas lebih besar kemungkinannya untuk tertinggal, ditinggalkan atau diabaikan (UNICEF, 2013).

Setelah terjadinya bencana, anak-anak penyandang disabilitas dapat terpisah dari pengasuh atau keluarga mereka dan menjadi rentan terhadap kekerasan, eksploitasi dan pelecehan (UNHCR, 2003).

Anak perempuan penyandang disabilitas sangat rentan dan berisiko mengalami kekerasan seksual (UNICEF, 2013).

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya