Liputan6.com, Jakarta - Niat menjadi salah satu rukun puasa. Tidak sah puasa seseorang tanpa diawali dengan niat. Khusus puasa Ramadhan, waktu niatnya antara terbenamnya matahari hingga muncul fajar shadiq, atau dari maghrib sampai subuh.
Sebagian besar kalangan muslim Indonesia melafalkan niat puasa Ramadhan setelah melaksanakan sholat tarawih dan witir di masjid, musala, atau langgar. Dengan bimbingan imam, niat puasa Ramadhan dilakukan masing-masing secara bersama-sama dengan jemaah lainnya.
Biasanya, bacaan niat puasa Ramadhan setelah tarawih dikeraskan. Pertanyaannya, bagaimana hukum mengeraskan niat puasa Ramadhan? Apakah niat cukup dilafalkan secara lisan saja?
Baca Juga
Advertisement
Perlu diketahui, tempat niat adalah di dalam hati setiap orang yang hendak melakukan ibadah, termasuk puasa Ramadhan. Dengan demikian, niat puasa yang dilafalkan secara berjemaah setelah tarawih tidak cukup tanpa disertai niat dalam hatinya.
Dalam mazhab Imam Syafi’i, melafalkan niat puasa Ramadhan bersama-sama setelah tarawih boleh-boleh saja. Namun tetap harus disertai niat dalam hati. Niat yang dilafalkan secara lisan sunnah saja.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Fathul Muin karya Imam Zainuddin al-Malibari berikut.
وفرضه أي الصوم نية بالقلب ولا يشترط التلفظ بها بل يندب
Artinya: “Fardhu-nya puasa adalah niat dengan hati, dan tidak disyaratkan me-lafadz-kannya, tetapi disunahkan (melafalkan).”
Saksikan Video Pilihan Ini:
Mengeraskan Niat Menurut Mazhab Lain
Melansir bincangsyariah.com, menurut pendapat ulama mazhab Imam Maliki, melafalkan niat bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was.
Sedangkan dalam mazhab Imam Hanafi, melafalkan niat itu bid’ah karena tidak ada riwayat Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Akan tetapi dianggap baik untuk menolak was-was.
Bahkan imam Ibnu al Qayyim di dalam Zadul Maad mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat. Beliau tidak setuju dengan pendapat imam Syafi’i. Karena menurut beliau Rasulullah saw. tidak pernah mengajarkan hal itu.
Sementara, Syekh Athiyyah Shaqar di dalam Fatawa Al Azhar mengatakan bahwa hukum yang menyatakan bahwa melafadzkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima, apalagi sampai mengatakan bid’ah dhalalah.
Karena para ulama’ besar membolehkannya, mereka menyebut sunnah, mustahab atau mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bahwa melafalkan (dengan lisan) niat itu tidak mendatangkan mudarat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
Advertisement
Lafal Niat Puasa Ramadhan
Sebagai pengingat, berikut ini lafal niat puasa Ramadhan dalam kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu.
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā.
Artinya: “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”
Wallahu a’lam.