Liputan6.com, Jakarta Wilmar mendampingi 1.500 petani swadaya dari lima koperasi kelapa sawit di Siak, Riau dalam meraih sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Upaya itu dilakukan melalui pendekatan jurisdiksi (jurisdictional approach) Siak Hijau. Kemitraan tersebut diharapkan dapat membantu petani meningkatkan kemampuannya meraih keberlanjutan.
Advertisement
Lansekap Siak Hijau merupakan kolaborasi multi-stakeholder yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Siak, untuk mewujudkan pembangunan Kabupaten Siak yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Salah satu sektor yang menjadi prioritas dalam kolaborasi ini adalah pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis kelapa sawit, dengan mengembangkan perkebunan yang berkelanjutan bagi petani swadaya. Kolaborasi itu dibentuk sebagai wujud dukungan swasta terhadap pelaksanaan kebijakan lansekap Siak Hijau, khususnya dalam memperkuat koordinasi dan sinergisitas program.
Menurut Head Sustainability Wilmar Indonesia Pujuh Kurniawan, pihaknya telah mendampingi 1.500 petani swadaya yang mengelola kebun sekitar 2.500 hektare (ha). Mereka tergabung dalam lima koperasi petani swadaya. Dari jumlah itu, dua diantaranya telah mengantongi sertifikasi ISPO sejak 2019. Pada awal tahun ini, dua koperasi lainnya sedang dalam proses penyelesaian sertifikasi, dan satu koperasi sedang proses persiapan.
“Program ini dijalankan bersama PT Permodalan Siak (PERSI), dinas perkebunan, dan dinas lain yang terkait,” kata Pujuh dalam Workshop Sinergi Siak Hijau: Kolaborasi Stakeholder untuk mendukung Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Lanskap Siak Hijau pekan lalu.
Selain di Siak, Wilmar juga melaksanakan pemberdayaan petani swadaya di beberapa propinsi, yaitu Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Pihaknya telah bermitra dan mendampingi 14 kelompok petani swadaya, dengan total jumlah petani mencapai 5.760 orang dan luas kebun 12.584 ha. Hingga saat ini sudah ada delapan kelompok petani swadaya yang telah berhasil mengantongi sertifikat ISPO, yang mencakup 8.588 ha kebun dari 3.525 petani swadaya.
Kebun Kelapa Sawit
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan, Siak Hijau dapat menjadi model pengelolaan kebun kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Kolaborasi tersebut telah menjadi wadah sinergi bagi para stakeholder untuk meningkatkan kemampuannya dalam meraih sertifikasi keberkelanjutan, terutama bagi petani swadaya. "Pembeli minyak sawit dunia menuntut produk yang berkelanjutan. Ini penting bagi perusahaan dan petani agar dapat mengikuti tuntutan pasar,” kata Sudarsono.
Dia menilai, saat ini petani menyumbang 40 persen dari total produksi tandan buah segar (TBS) sawit nasional. Sayangnya, mereka masih banyak keterbatasan dalam meraih sertifikasi. Hal itu perlu mendapatkan perhatian semua pihak untuk membantu meningkatkan kemampuan mereka.
Perkebunan kelapa sawit adalah salah satu sektor dengan pertumbuhan tertinggi di Siak. Luasnya saat ini mencapai 328,8 ribu ha. Dari total luas tersebut, luas kebun yang dikelola petani swadaya mencapai 208.075 ha.
Advertisement
Mengenal Ganoderma, Ancaman Menakutkan di Industri Kelapa Sawit Indonesia
Sebelumnya, Penyuluh Pertanian BSIP Nusa Tenggara Barat Saleh Mokhtar menekankan pentingnya kegiatan penyuluhan bagi petani kelapa sawit rakyat dalam menghadapi ancaman Ganoderma. Hal tersebut diungkapkan dalam rangkaian acara 2nd Technical Meeting Roundtable Ganoderma Management (RGM).
"Luas area tutupan kelapa sawit nasional berdasarkan pengusahaan, 42% dikuasai rakyat, 5% oleh BUMN, sementara 53% oleh perusahaan swasta. Penyuluhan itu penting dan merupakan hak asasi dari petani itu sendiri," ujar Saleh dalam keterangan tertulis, Kamis (7/3/2024).
Penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma Boninense telah menjadi masalah pada industri kelapa sawit di Indonesia dalam kurun waktu lebih dari 80 tahun terakhir. Oleh sebab itu diperlukan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap (PKS) pekebun sawit untuk mengimplementasikan tindakan pengendalian secara preventif maupun secara kuratif yang ramah lingkungan.
Serangan Ganoderma sudah mulai merebak di seluruh wilayah perkelapasawitan di Indonesia termasuk di Papua. Pada tingkat kerusakan 2 sampai 4% kerugian negara dapat mencapai antara 10 sampai dengan 20 triliun Rupiah per tahun.
Serangan Ganoderma
Meluasnya serangan Ganoderma bisa juga disebabkan oleh "human error" yaitu berupa ketidakterbukaan manajemen di level perkebunan besar swasta dan nasional karena terkait dengan prestasi pengelolaan kebun.
Namun di era digitilisasi sekarang ini tidak ada yang bisa ditutup-tutupi ladi. Yang bermasalah adalah di level perkebunan rakyat, di mana pengtahuan tentang Ganoderma masih rendah.
Perawatan Insentif
Co-Founder RGM Darmono Taniwiryono menegaskan kurangnya perawatan yang intensif serta sikap abai pekebun sawit dalam perawatan kebun kelapa sawit yang menyebabkan mudahnya terjadi serangan Ganoderma.
“Para pelaku usaha harus intensif merawat kebun terutama kesehatan akar, akar kelapa sawit itu seperti mesin, jika akarnya rusak, maka akan rusak semuanya. Pentingnya pengetahuan yang memadai dan sikap keterbukaan para pekebun jika terjadi serangan Ganoderma, seharusnya segera ditangani, karena abai atau rasa takut performa pekerjaan turun, malah justru harus segera ditangani.” Imbuhnya
“Padahal Ganoderma pada kelapa sawit bisa dikurangi dampaknya dengan kombinasi pendekatan, yaitu biofungisida, root pruning dan aplikasi bahan organik. Hasilnya dapat dilihat dalam waktu rata-rata 3 bulan, bahkan terjadi pada tanaman berumur lebih dari 20 tahun, ini yang perlu diberikan edukasi untuk para pekebun bahwa ada harapan tanaman menjadi sehat jika kebunnya terkena Ganoderma," tegas Darmono
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusines Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menekankan, serangan Ganoderma pada perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan produktivitas kelapa sawit.
"Masihkah Indonesia dan minyak sawit menjadi raja minyak nabati kedepan? Tergantung pada demand side dan supply side, termasuk penurunan citra sawit akibat kampanye negatif, substitusi minyak sawit, kegagalan mitigasi perubahan iklim, dan Ganoderma serta biaya produksi yang meningkat cepat. Produktivitas cenderung turun dalam 5 tahun, padahal komposisi tanaman usia produktif tinggi diduga karena penyakit Ganoderma."
Advertisement