Peningkatan Nilai Tambah Minerba Indonesia Terganjal Teknologi

Indonesia tengah mendorong hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) guna meningkatkan nilai tambah. Namun, masih ada tantangan yang dihadapi.

oleh Arief Rahman H diperbarui 14 Mar 2024, 23:28 WIB
Tambang Batu Bara milik Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan (dok: PTBA)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia tengah mendorong hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) guna meningkatkan nilai tambah. Namun, masih ada tantangan yang dihadapi.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan ada tantangan dalam upaya meningkatkan nilai tambah minerba Indonesia. Hambatan itu ada pada sisi penggunaan teknologi dalam mengolah minerba.

"Nah begitu ktia bicara nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, baik batu bara maupun mineral ada kelemahan besar, kita tak punya teknologinya apalagi manufakturnya," ucap Irwandy dalam Seminar Energy for Prosperity di Jakarta, Kamis (14/3/2024).

"Kita membayar terlalu mahal misalnya nikel saja itu semua dari luar teknologinya," sambungnya.

Pada sektor nikel, Irwandy mengatakan banyak teknologi yang didatangkan dari China. Kemudian, ada teknologi yang dibawa PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dari Kanada pada medio 1970-an.

Pada kisaran tahun yang sama, PT Aneka Tambang Tbk atau Antam juga membawa teknologi asal Jepang dalam proses bisnisnya.

Kendati begitu, dua sumber teknologi ini dinilai masih mahal untuk Indonesia sehingga tak mampu bersaing dari sisi harga. "Tapi mereka kalah bersaing dari harga. Nah kalau kita semua menghitung berapa biaya yang kita keluarkan untuk teknologi sebenarnya besar sekali," urainya.


Ada EBT, Batu Bara untuk Pembangkit Listrik Masih Belum Tergantikan hingga 2060

Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk pertambangan dan lainnya pada September 2021 mencapai USD 3,77 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi peran batu bara dalam menipang energi listrik masih besar hingga 2060 mendatang. Meski, ada bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang digunakan secara bertahap.

Staf Khusus Menteri ESDM bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif menyampaikan ada 2 skenario yang bisa dijalankan terkait penggunaan batu bara. Pertama adalah skenario business as usual. Pada konteks ini, tidak ada bauran EBT yang berarti.

"Kalau ini adalah skenario seperti biasa, maka sampai 2060 itu masih produksi kita masih 720 juta (ton) ya," kata Irwandy dalam Seminar Energy for Prosperity, di Jakarta, Kamis (14/3/2024).

Dia menjelaskan, penggunaan batu bara terhadap pembangkit listrik bergantung pada bauran EBT. Target yang dipatok Dewan Energi Nasional (DEN) ikut turun dari 23 persen menjadi 17 persen pada 2030 mendatang. Sementara, realisasi bauran EBT saat ini masih berada di 13 persen.

"Nah, jadi ini adalah business as usual. Ini masih panjang cerita," kata dia.

Irwandy menyampaikan ada skenario kedua. Caranya dengan menggenjot penggunaan EBT dan mengalihkan ketergantungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke pembangkit EBT. Maka terjadi penurunan produksi batu bara yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya.

Meski begitu, batu bara masih akan digunakan hingga 2060 mendatang. Artinya, belum seluruh PLTU batu bara berhenti beroperasi dan digantikan dengan pembangkit EBT.

"Ternyata produksi batu bara kita di 2060 masih 227 juta (ton). Jadi kalau ditanya seberapa lama batu bara ini didalam buku saya mengenai batu bara Indonesia, itu mengatakan kurang lebih 40 tahun masih hidup," urainya.

 


Pengganti Batu Bara

Pertambangan batu bara di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Sebelumnya, PT PLN (Persero) melalui PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) berkomitmen terus mendorong program cofiring biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Direktur Utama PLN EPI Iwan Agung Firstantara mengatakan, pengembangan energi biomassa menjadi salah satu komitmen perusahaan dalam menyediakan pasokan energi alternatif selain batu bara.

“Pengembangan energi biomassa sejalan dengan komitmen PLN untuk mengurangi emisi karbon melalui program cofiring PLTU,” kata Iwan di Jakarta, Rabu (6/3/2024).

Iwan mengungkapkan, program cofiring PLTU telah dilakukan PLN Group sejak 2018 silam. Tercatat, hingga tahun 2022, implementasi cofiring PLTU telah dilakukan pada 36 unit PLTU dengan produksi energi bersih mencapai 575,4 GWh dengan capaian penurunan emisi sebesar 570 ribu ton CO2e

Menurut Iwan, komitmen pengembangan biomassa terus dijalankan perusahaan. Salah satunya dengan menginisiasi program Desa Berdaya Energi yang telah dimulai sejak Februari 2023 bersama Keraton Yogyakarta.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya