Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap proyek pengadaan perabot rumah dinas DPR RI dikorupsi hingga puluhan miliar. Sementara nilai proyek itu sendiri senilai Rp 120 miliar.
"Kurang lebih Rp120 miliar nilai proyeknya. Tapi kerugian keuangan negaranya ada puluhan miliar sementara ini," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Jumat, (15/3/2024).
Advertisement
Ali menyebut pengadaan perabotan rumah dinas DPR yang dikorupsi berada di kawasan Kalibata dan Ulujami.
"Betul, jadi ada dua untuk pengadaan peralatan rumah jabatan anggota DPR RI baik yang di Kalibata maupun Ulujami," ucap Ali.
Ali mengungkap perabot rumah dinas DPR itu berupa peralatan ruang tamu, ruang makan dan peralatannya serta meja dan lain-lain.
Sejauh ini sudah ada beberapa perusahaan pelaksana yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Modus yang digunakan juga dengan cara bukan memakai nama perusahaan itu sendiri.
"Salah satu modusnya kan kemudian ada yang pinjam bendera, kemudian formalitas dalam proses-proses itu," jelasnya.
Sebelumnya, KPK menyebut kasus korupsi pengadaan perabotan rumah Dinas DPR RI tahun anggaran 2020 diduga ada penggelembungan harga alias 'mark up'.
"Ini kasusnya kalau enggak salah 'mark up' harga," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, (6/3/2024).
Alex menjelaskan, dalam proyek tersebut ada peningkatan harga yang dilakukan secara berkelompok. Namun, dia tidak merinci berapa nilai mark up pengadaan perabotan rumah Dinas DPR RI.
"Katanya mahal padahal di pasar gak seperti itu," ungkap dia.
KPK melakukan pencegahan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. Sebanyak tujuh orang yang dicegah tersebut yakni dari pihak penyelenggara dan swasta.
"Betul yang kami melakukan pencegahan agar tidak kepergian ke luar negeri dalam perkara ini. Setidaknya ada 7 orang yang dicegah agar tidak kepergian luar negeri yang terdiri dari penyelenggara negara dan juga swasta," ujar Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Selasa 5 Maret 2024.
Pencegahan tersebut, lanjut dia, sehubungan dengan kebutuhan penyelidikan untuk mendalami kasus korupsi pengadaan rumah dinas DPR RI ini. Nantinya juga ketujuh orang tersebut bakal diperiksa oleh penyidik Komisi Antirasuah.
Terhadap ketujuh orang tersebut dicegah untuk enam bulan pertama hingga bulan Juli 2024 mendatang.
"Ini adalah proses penyelenggara yang terus kami lakukan sehingga diharapkan para pihak yang dicegah ini nantinya dapat kooperatif dan tetap berada di dalam negeri ketika keterangannya dibutuhkan pada proses penyidikan yang sedang berjalan ini," ungkap Ali.
Meski demikian, Ali enggan untuk membeberkan siapa ketujuh orang yang dicegah terkait dugaan korupsi rumah dinas DPR itu. Termasuk juga dengan konstruksi perkara yang tengah ditangani oleh oleh penyidik.
Komisi III: Siapapun Terlibat Diproses, Jangan Tebang Pilih
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menanggapi soal kasus korupsi pengadaan peralatan di rumah dinas DPR RI. Dia meminta agar seluruh pihak yang terlibat diproses sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Enggak tahu saya (kasusnya), intinya siapa pun terlibat diproses, silakan, asal jangan tebang pilih," kata Benny, di Jakarta, dikutip Selasa (27/2/2024).
Dia pun berharap agar dalam penyelesaian kasus korupsi tersebut tak ada tebang pilih apalagi ada motif politik terselubung.
"Asal jangan tebang pilih , jangan ada motif politik, balas dendam dan jangan diperalat," tegas dia.
Advertisement
Lebih Dari 2 Tersangka
KPK sebelumnya menyebut jumlah tersangka dalam kasus korupsi pengadaan peralatan di perumahan jabatan DPR RI lebih dari dua orang. Kasus ini sendiri diduga menyeret nama Sekjen DPR RI, Indra Iskandar.
"Lebih dari dua orang tersangka," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri lewat keterangannya, Senin (26/2/2024).
Ali juga mengungkap modus dalam kasus ini, terkait pengadaan barang seperti peralatan tempat tidur hingga ruang tamu yang diduga hanya formalitas.
"Antara lain dugaan pelaksanaan dilakukan secara formalitas. Padahal melanggar beberapa ketentuan PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa)," jelas Ali.
Reporter: Rahmat Baihaqi/Merdeka