Liputan6.com, Jakarta - Seruan "pemberdayaan perempuan" kian nyaring terdengar, terutama dalam beberapa tahun belakangan. Interpretasinya boleh jadi luas, tapi jangan sampai mengingkari hak-hak para perempuan yang diperjuangkan sejak lama, dan masih berlanjut hingga hari ini.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan bahwa pemberdayaan perempuan secara prinsipiel merupakan upaya memampukan perempuan untuk setara dengan laki-laki, mandiri, dan dapat terlibat secara bermakna dalam pengambilan keputusan, bebas dari segala bentuk diskriminasi berbasis gender.
Advertisement
"Ada empat unsur penting dalam pemberdayaan perempuan," katanya melalui pesan pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 8 Maret 2024. "Pertama, akses, yaitu peluang atau kesempatan perempuan menjangkau dan menggunakan sumber-sumber daya tertentu, seperti informasi, modal berupa pinjaman, bantuan bibit dan pupuk, serta pelatihan."
"Kedua, partisipasi. (Ini) merupakan kesertaan perempuan secara bermakna dalam pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, serta perencanaan program dan pelaksanaan kegiatannya, baik dalam keluarga sebagai lembaga terkecil di masyarakat, rukun tetangga, organisasi, maupun ketika menyikapi kasus yang dihadapinya."
Ketiga, Rainy melanjutkan, kontrol, yakni pengawasan terhadap sumber-sumber daya, baik modal, akses, peluang, dan sumber-sumber daya lain, seperti teknologi maupun informasi. "Keempat, manfaat. (Ini) merupakan kegunaan yang dapat dijangkau dan dinikmati sepenuhnya (oleh perempuan), dan setara dengan laki-laki."
Keempat unsur ini, ia menggarisbawahi, juga berlaku bagi perempuan kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, dengan "metode berbeda seturut kondisi disabilitasnya," sebut dia.
Kritis Menyikapi Agenda Pemberdayaan Perempuan
Sepakat dengan narasi itu, COO Indonesian Women League, Esther Yobelitha, menegaskan bahwa empat unsur di atas bukan berarti memberi "karpet merah" pada para perempuan. "Tapi, menyadari bahwa starting point untuk perempuan saja sudah berbeda," ungkapnya melalui pesan, Jumat, 8 Maret 2024.
"Maka itu, perlu dicek ketika perempuan sudah punya keinginan untuk berkembang, apakah ia bisa berdaya dengan dukungan dari lingkungan yang ada," imbuhnya.
Di sisi lain, Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial SINDIKASI, Selira Dian, menyebut bahwa secara pribadi, ia tidak menyukai istilah "pemberdayaan perempuan," karena membuat seakan-akan sebelumnya perempuan tidak berdaya. "Aku prefer menyebutnya Pengarusutamaan Gender (PUG)," ucapnya lewat pesan, Rabu, 6 Maret 2024.
Secara konteks, menurutnya, istilah PUG menjawab masalah yang dihadapi perempuan, yakni kurang atau sengaja "didomestifikasi" sehingga keterwakilan perempuan, terutama di ruang publik, sangat minim. Ia melanjutkan, "PUG memang jadi agenda yang masif dicanangkan gerakan masyarakat dan pemerintah di berbagai lini, tujuannya tentu mengisi kekurangan representasi perempuan."
"Namun, sekali lagi, kita harus kritis melihat agenda ini karena bisa jadi perempuan hanya jadi tokenisme atau dihadirkan sebagai tameng untuk menunjukan seolah-olah kita sudah inklusif," serunya. "Padahal kenyataannya, masalah paling darurat, seperti kekerasan seksual, masih menghantui perempuan dan minoritas gender lain."
"Coba saja lihat bagaimana sulitnya UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) disahkan, itu bisa jadi contoh kasus bagaimana negara setengah hati menjamin perlindungan terhadap perempuan," kritik Dian.
Advertisement
Hapus Kekerasan Berbasis Gender
Esther menyambung, "Bicara pemberdayaan perempuan berarti juga membahas kesetaraan gender. Pun perempuan sudah berdaya, tapi pemikiran orang masih penuh bias gender, ini juga akan jadi penghambat. Jadi, wacana terkait menyadari bias-bias yang mungkin dimiliki dan merugikan orang lain juga penting, supaya punya pola pikir yang tidak merugikan orang lain."
Menurut Rainy, faktor lain yang juga penting disuarakan berbarengan dengan pemberdayaan perempuan adalah penghapusan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Ia menilai, "Kekerasan terhadap perempuan tidak pandang bulu, mulai dari kanak-kanak, penyandang disabilitas mental atau intelektual, hingga lansia."
"Juga, tidak pandang tingkat pendidikan, penghasilan, dan jabatan," sambungnya. "Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak pada pelemahan perempuan berupa trauma dan gangguan psikis berkepanjangan, bahkan berpotensi mendorong korban bunuh diri, mengalami gangguan jiwa akut, atau melukai diri sendiri."
"Trauma berkelanjutan dapat berdampak pada ekonomi dan pekerjaan dengan perempuan kemungkinan menarik diri dari lingkungan sosialnya, serta risiko merosot dalam pencapaian kerja sehingga terancam di-PHK atau tidak dipromosi."
Karena itu, ia melanjutkan, Komnas Perempuan sepakat bahwa pemberdayaan perlu mencakup perlindungan perempuan. "Yang dimaksud perlindungan perempuan mengacu pada Peraturan Menteri PPPA No. 2/2022, yakni segala upaya penanganan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan, serta perlindungan dari segala bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan perlindungan khusus."
Sementara menurut Dian, sebenarnya tidak perlu ada perlindungan khusus bagi perempuan jika sejak awal tidak ada kekerasan berbasis gender. "Namun, kenyataannya hal ini selalu berulang dan dibiarkan negara," ucapnya. "Maka itu, melihat konteks masalah, perlindungan terhadap perempuan jadi darurat dan harus ada strategi untuk meredam situasi ini."
Ubah Cara Pikir
Dian mencontohkan, ada gerbong khusus perempuan di KRL Commuterline yang bermaksud menurunkan angka pelecehan seksual. "Di satu sisi bagus, akhirnya setelah belasan tahun pemerintah mengakui adanya pelecehan seksual di transportasi umum. Namun, sebenarnya strategi ini belum menjawab akar masalah, karena justru menebalkan stigma 'perempuan lemah maka perlu gerbong khusus.'"
"Lalu, kalau ada pelecehan di gerbong non-perempuan, bisa jadi ia akan diteriaki, 'Makanya mba di gerbong perempuan aja.' Ini jelas mereplikasi cara domestifikasi perempuan di ruang publik. Yang harus dibenahi adalah mindset semua orang agar tidak melecehkan, bukan memaksa perempuan masuk ke dalam satu gerbong, kemudian lepas tangan," bebernya.
Sebagai serikat pekerja, menurut Dian, SINDIKASI selalu menerapkan pengarusutamaan gender, baik perempuan maupun minoritas gender lain; kepemimpinan perempuan; regulasi internal yang inklusif, mulai dari AD ART, Pakta Integritas Anti-Kekerasan Seksual, SOP Penanganan Kekerasan Seksual, Divisi Gender dan Inklusi Sosial, hingga layanan Hotline Pengaduan Kekerasan Seksual untuk anggota.
"Kami pernah menerbitkan beberapa riset, seperti 'Mengubur Pundi di Tengah Pandemi (2020),' 'Flexploitation (2021),' dan 'Asesmen Pengarusutamaan Gender dan Inklusi Sosial terhadap SINDIKASI (2021),' hasilnya, perempuan mengalami lapis diskriminasi yang struktural," sebutnya.
Ini mencakup ketimpangan upah dibanding pekerja laki-laki, ancaman kekerasan seksual, beban ganda bagi ibu bekerja, minim fasilitas bagi ibu (day care dan ruang laktasi), serta masih banyak lagi.
Advertisement
Tidak Ada Keadilan Tanpa Perjuangan
Sebagai penutup, Esther mengatakan, "Perempuan punya pilihan, siapa pun dia dan di mana pun dia berada. Perempuan jadi seolah tidak punya pilihan karena ada ketidaksetaraan yang terjadi. Patriarki masih ada, bias masih ada. Bagian kita para perempuan adalah mencoba terus berkembang terlepas dari apa yang terjadi dalam hidup kita."
"Selain itu, (kita) juga (bisa) mengedukasi, mulai dari orang-orang terdekat kita. Jadi berdaya bukan berarti kita tidak membutuhkan orang lain, jadi berdaya bukan berarti kita harus hidup sendiri, jadi berdaya justru perempuan yang bisa jadi teladan dan membawa lebih banyak orang berdaya," tandasnya.
Menyalurkan semangat Hari Perempuan Sedunia yang diperingati setiap 8 Maret, Rainy berpesan, "Berdirilah setara, mandiri, dan kenali jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan. Kenali juga hak-hakmu dan berani bersuara untuk memutus keberulangan kekerasan dan impunitas pelaku."
Terakhir, Dian menyampaikan, "Penindasan yang dialami perempuan itu sistematis dari hulu ke hilir. Maka itu untuk menghapusnya, kebijakan harus demikian pula. Jangan menjadikan perempuan sebagai tokenisme alias mengambil keuntungan dengan menghadirkan perempuan sebagai representasi, namun hak-haknya tidak pernah digenapi."
"Jika ada kesempatan, marilah kita berserikat untuk menuntut hak kita sebagai perempuan dan minoritas gender, karena memang kenyataan pahitnya adalah tidak ada keadilan tanpa perjuangan," tutupnya.