Kepala BKKBN Sebut Broken Home Jadi Salah Satu Penyebab Anak Miliki Mental yang Memprihatinkan

Broken home membuat anak tak dapat kasih sayang utuh dari orangtua dan bisa pengaruhi kondisi mentalnya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 17 Mar 2024, 09:00 WIB
Kepala BKKBN Sebut Broken Home Jadi Salah Satu Penyebab Anak Miliki Mental yang Memprihatinkan. Foto: BKKBN.

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi mental anak memiliki kaitan dengan keadaan keluarganya. Keluarga harmonis dapat membuat perkembangan mental anak berjalan dengan baik, pun sebaliknya.

Terkait hal ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyinggung banyaknya fenomena perceraian menghasilkan keluarga broken home. Dalam kondisi seperti ini, anak tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari orangtua.

“Konflik di dalam rumah tangga apabila diselesaikan dengan logika itu berat, hasilnya pasti kacau. Tapi harus diselesaikan dengan perasaan,” kata Hasto dalam Kelas Orang Tua BERSAHAJA (Bersahabat dengan Remaja) yang dilaksanakan secara daring, Kamis 14 Maret 2024.

Hasto mengatakan, anak-anak korban broken home seringkali membentuk kelompoknya sendiri, di mana mereka saling berbagi keluhan satu sama lain. Bahkan, anak-anak dari keluarga baik-baik tapi terlantar dan merasa tidak mendapat kasih sayang turut bergabung menjadi anak jalanan.

“Mereka silent (diam), orangtua tidak tahu, jumlahnya cukup besar dan kondisi (mentalnya) memprihatinkan,” ujar Hasto.

Dia menambahkan, pola pikir anak yang merasa ditelantarkan orangtuanya sangat berbeda dengan anak dari keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, selain mengajarkan etika dan norma, Hasto juga mengajak para orangtua agar menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.

“Dimulai dari keluarga, inilah akan dihasilkan anak yang baik dan tidak lemah. Lemah ini tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan juga lemah mentalnya, lemah imannya, lemah perilakunya. Orangtua yang banyak bercerai tadi, ketika kita analisis 70 persen penyebabnya adalah masalah kecil yang mereka tidak bisa memaklumi,” kata Hasto.


Peran Penting Remaja

Lebih lanjut disampaikan bahwa keluarga adalah pembentuk generasi yang kelak jadi harapan bangsa. Para remaja perlu tumbuh dengan kualitas mental yang baik karena kelak nasib Indonesia ada di tangan mereka.

Untuk itu, Direktur Bina Ketahanan Remaja Edi Setiawan membagi peran penting remaja dalam konteks Program Bangga Kencana menjadi tiga aspek, yakni:

  • Pertama, sebagai calon penduduk usia produktif dan calon aktor pembangunan yang harus berkualitas.
  • Kedua, sebagai calon pasangan yang akan membangun keluarga berkualitas.
  • Ketiga, sebagai calon orangtua yang akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang juga harus berkualitas.

Maka dari itu, lanjut Edi, BKKBN berupaya memastikan remaja-remaja di Indonesia mampu menyiapkan diri agar memiliki perencanaan dalam mempersiapkan dan melewati lima transisi kehidupan. Upaya ini meliputi:

  • Mempraktikkan gaya hidup sehat
  • Melanjutkan pendidikan
  • Mulai mencari pekerjaan
  • Menjadi anggota masyarakat yang baik
  • Memulai kehidupan keluarga.

Hambatan Hubungan Antara Orangtua dan Remaja

Sayangnya, Edi berpendapat bahwa seringkali terdapat hambatan dalam hubungan antara orangtua dan remaja. Masalah komunikasi kerap terjadi diduga lantaran perbedaan generasi.

“Karena berbeda generasi, sehingga masalah komunikasi acap kali terjadi,” ujar Edi.

Disebutkannya, tantangan orangtua dalam membimbing remaja dalam bidang akademik dan pendidikan seksualitas adalah faktor-faktor yang ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter remaja.

“Sehingga orangtua yang memiliki anak remaja perlu membekali diri dengan terus meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi permasalahan tersebut,” ucapnya.


Kenali 4 Jenis Pola Asuh

Agar menjadi orangtua yang mampu menghadapi putra-putrinya, ibu dan bapak perlu mengetahui empat jenis pola asuh.

Menurut psikolog Johana Rosalina K, PhD, empat jenis pola asuh ini meliputi:

  • Authoritative (kehangatan, tanggapan, kontrol, ketegasan tinggi)
  • Indulgent (memanjakan, hangat tapi tidak ada kontrol)
  • Neglectful (tidak ada kontrol dan dingin)
  • Autoritarian (kontrol dan ketegasan tinggi tapi dingin).

Johana menyebut pola asuh yang salah dapat membentuk pribadi yang negatif dalam diri anak.

“Mari kita belajar menjadi orangtua yang authoritative, ini sebagai pola asuh kepada anak-anak kita. Demokratis dengan mengajak anak aktif berdiskusi, dengarkan dan berikan tanggapan yang responsif.”

“Jangan menjadi orangtua yang abai dan cuek, apalagi otoriter karena akan berdampak negatif dan membuat anak terluka, nantinya anak akan menjadi pendendam,” papar Johana.

Pada dasarnya, sambung Johana, prinsip membuat remaja bertanggung jawab adalah dengan:

  • Mengajarkan konsep diri yang positif
  • Cara bertanggung jawab
  • Membantu remaja independen dapat memecahkan masalahnya sendiri
  • Menentralisasi argumen dengan tenang.

“Cara orangtua bicara pada anak, menjadi inner voice anak, misal ketika orangtua bicara dengan nada tinggi maka dalam benak anaknya akan merasa tidak berharga karena orangtuanya hanya marah-marah dan tidak puas pada pencapaian anaknya,” kata Johana. Lebih lanjut, hal itu akan membentuk konsep diri anak yang minder, pemalu, penakut, dan tidak percaya diri.

Sebaliknya, jika orangtua mendukung anaknya dan memberikan afirmasi positif pada pencapaian buah hati, maka akan membentuk anak yang percaya diri, hal ini akan memengaruhi pencapaian anak di masa mendatang.

Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya