Konsisten Konsumsi Minuman Berpemanis Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung Koroner

Menurut pakar kesehatan, minuman berpemanis memiliki kaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 16 Mar 2024, 18:00 WIB
Konsisten Konsumsi Minuman Berpemanis Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung Koroner. Foto: Freepik.

Liputan6.com, Jakarta - Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kerap dikaitkan dengan peningkatan angka obesitas dan diabetes di tengah masyarakat.

Tak hanya itu, menurut pakar kesehatan sekaligus epidemiolog Dicky Budiman, minuman berpemanis juga memiliki kaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner.

“Konsumi minuman berpemanis bisa memberikan dampak negatif yang signifikan bagi kesehatan. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa konsumsi minuman berpemanis secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Sabtu (16/3/2024).

Dia menambahkan, studi jangka panjang juga menunjukkan bahwa konsumsi minuman berpemanis berhubungan dengan peningkatan risiko kematian secara keseluruhan.

“Oleh karena itu, dampak kesehatan dari minuman berpemanis bukan hanya terbatas pada diabetes dan obesitas tetapi mencakup berbagai masalah kesehatan lainnya termasuk penyakit jantung, kematian dini, dan masalah gigi seperti karies.”

Mengingat berbagai masalah kesehatan bisa timbul akibat minuman berpemanis, Dicky mendukung adanya kebijakan penerapan cukai MBDK.

“Dengan bukti yang diperkuat dengan riset ilmiah, kita bisa simpulkan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis memiliki potensi untuk mengurangi angka diabetes, obesitas, dan masalah kesehatan terkait lainnya.”


Terapkan Cukai Sambil Perhatikan Implikasi Ekonomi

Epidemiolog Dicky Budiman soal MBDK. Foto: Dok. Pribadi.

Lebih lanjut Dicky menyampaikan, penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan bisa dilakukan sambil memerhatikan implikasi industri dan ekonomi.

“Manfaat kesehatan jangka panjang bisa dicapai antara lain dengan kebijakan tadi, cukai, pajak. Tapi juga tentu sambil memerhatikan implikasi ekonomi dan industri.”

“Karena pada gilirannya, sebetulnya literasi juga memegang peran penting. Artinya begini, kalau konsumsinya wajar, tidak berlebihan, tentu ini tidak berdampak buruk,” jelas Dicky.

Konsumsi berlebihan terhadap MBDK terjadi lantaran minimnya literasi terkait dampak kesehatan yang bisa timbul. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki literasi yang baik terkait hal tersebut, maka mereka akan lebih bijak dalam mengonsumsi minuman manis.


Jika Cukai MBDK Diterapkan

Jika cukai MBDK diterapkan, maka tugas semua pihak tak serta merta selesai. Perlu ada monitoring atau pemantauan yang konsisten.

“Kalau ini (cukai MBDK) misalnya sudah diterapkan sekalipun, monitoring, evaluasi berkala, termasuk literasi tetap perlu dilakukan.”

“Karena pada gilirannya, literasi inilah yang akan menjadi benteng terakhir sehingga masyarakat bisa memilih mana yang baik, mana yang tidak,” papar Dicky.


Penerapan Cukai MBDK Sejalan dengan Rekomendasi WHO

Usulan penerapan cukai MBDK dianggap sebagai strategi efektif untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis.

Penurunan konsumsi minuman manis kemudian berpotensi menurunkan angka diabetes dan obesitas. Ini telah dibuktikan dengan berbagai riset.

“ini sebetulnya sejalan dengan penelitian dan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sendiri merekomendasikan bahwa ini harus dikendalikan, masalah penggunaan pemanis buatan.”

Dalam kajian WHO, penggunaan pemanis buatan tidak memberikan manfaat jangka panjang pada orang dewasa dan anak-anak. Sebaliknya, ada potensi efek yang tidak diinginkan dari penggunaan pemanis buatan ini seperti risiko diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskuler, dan kematian.

“Artinya, ini (usulan penerapan cukai MBDK) sejalan dengan rekomendasi dari badan kesehatan dunia,” pungkasnya.  

Arya Permana, salah satu contoh kasus obesitas yang mengkhawatirkan (liputan6.com/Tri yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya