Perspektif Islam tentang 2 Gerhana yang Akan Terjadi pada Ramadhan 2024

Dalam waktu dekat, gerhana bulan penumbra akan terjadi pada 24-25 Maret 2024, atau 13-14 Ramadhan 2024, sebagaimana dikutip dari laman brin.go.id

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 17 Mar 2024, 04:30 WIB
Bulan purnama saat puncak gerhana bulan penumbra terlihat di langit Jakarta, Indonesia, Senin (7/8).Gerhana bulan penumbra adalah gerhana samar karena bulan purnama hanya terkena bayangan sekunder. (BAY ISMOYO / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Gerhana bulan akan terjadi pada Ramadan 2024 ini. Yang istimewa, gerhana ini terjadi dua jenis sekaligus, yakni gerhana bulan dan matahari.

Mengutip laman BRIN, dua gerhana yang diperkirakan terjadi di bulan Ramadhan 1445 H yaitu gerhana bulan penumbra pada 24-25 Maret 2024 dan gerhana matahari total (GMT) pada 8 April 2024.

Apabila dikonversikan ke kalender Hijriyah, maka gerhana bulan terjadi pada 13-14 Ramadhan 1445 Hijriyah sedangkan gerhana matahari pada 28 Ramadhan 1445 Hijriyah.

 

Melansir kanal Islami Liputan6.com, gerhana bulan adalah sebuah fenomena astronomi yang dapat diprediksi kapan terjadinya. Fenomena alam ini terjadi ketika sebagian atau keseluruhan penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi.

Salah satu jenis gerhana bulan adalah gerhana bulan penumbra. Gerhana bulan penumbra terjadi ketika ada sebagian cahaya matahari yang terhalang oleh bumi, dengan kata lain bulan masuk di bayangan penumbra Bumi. Akibatnya, bulan akan terlihat lebih redup dari saat purnama pada puncak gerhana terjadi.

Namun, sebagaimana dikutip dari laman brin.go.id, fenomena astronomi ini tidak melintasi wilayah Indonesia.

Dalam Islam, fenomena gerhana bulan penumbra bukan sekadar fenomena astronomi yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Bagi orang beriman, gerhana bulan penumbra adalah bukti kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Peristiwa gerhana ini tidak terlepas dari kuasa-Nya.

Gerhana juga menjadi salah satu tanda kiamat yang disebut Rasulullah, termaktub dalam hadis yang berderajat sahih.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Gerhana dalam Perspektif Islam

foto: pixabay

Ketika terjadi gerhana bulan, muslim disunnahkan untuk melaksanakan sholat khusuf. Namun karena gerhana bulan penumbra tidak melintasi wilayah Indonesia, maka muslim di Tanah Air tidak disunnahkan melaksanakan sholat tersebut.

Meskipun gerhana bulan penumbra 24-25 Maret 2024 melintasi wilayah Indonesia, umat Islam tidak sunnah melaksanakan sholat khusuf.

Mengutip keterangan Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis, saat terjadi gerhana bulan penumbra umat Islam tidak disunnahkan untuk melaksanakan sholat khusuf. Sebab, pada fenomena alam tersebut bulan akan terlihat seperti purnama biasa saja jika dilihat dari bumi.

“Peredupan magnitudonya kecil sekali. Kurang dari 3%. Jadi hampir tidak bisa dibedakan dengan purnama biasa. Apalagi kalau dilihat dengan mata telanjang,” demikian keterangan yang dikutip dari situs persis.or.id, Sabtu (16/3/2024).

“Sebab itu, gerhana bulan penumbra ini tidak termasuk khusuf. Bahkan dalam dalam istilah ilmu Falak gerhana ini disebut khusuf syibhi (menyerupai gerhana) artinya hanya syibhul khusuf bukan khusuf (gerhana),” lanjut keterangan tersebut.

 


Pandangan LF PBNU dan Muhammadiyah

Mitos 29 Februari menjadi inspirasi kisah sejumlah film, sementara Pemkab Bangka Tengah siapkan teleskop jelang gerhana matahari.

Pernyataan Persis senada dengan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU). Meskipun terjadi gerhana, tetapi tidak disunnahkan melaksanakan sholat khusuf saat gerhana bulan penumbra.

“Gerhana bulan penumbra tidak menjadi dasar penyelenggaraan sholat gerhana bulan. Secara fikih, sholat gerhana bulan hanya digelar apabila gerhana tersebut merupakan gerhana yang kasat mata sehingga terlihat dengan jelas menggelapnya bagian bulan,” kata Ketua LF PBNU, KH Sirril Wafa dikutip dari NU Online.

Organisasi Islam lain seperti Muhammadiyah juga sepakat bahwa pada gerhana bulan penumbra tidak disunnahkan melaksanakan sholat khusuf.

"Dalam kasus gerhana penumbra, piringan bulan tampak utuh dan bulat, tidak tampak terpotong, hanya cahaya bulan sedikit redup dan terkadang orang tidak bisa membedakannya dengan tidak gerhana. Oleh karena itu dalam kasus gerhana bulan penumbral menurut Majelis Tarjih dan Tajdid tidak disunahkan melakukan sholat gerhana bulan," demikian keterangan yang dikutip dari suaramuhammadiyah.id. Wallahu a’lam.


Gerhana Termasuk Tanda Kiamat yang Disebut Rasulullah

Ilustrasi gerhana bulan. (Photo by Martin Adams on Unsplash)

Gerhana dalam pandangan Islam juga berarti banyak hal. Dalam salah satu riwayat, gerhana disebut sebagai tanda kiamat.

Melansir kanal Islami Liputan6.com, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa hari kiamat itu ada. Hari berakhirnya kehidupan di dunia ini merupakan janji Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Meski sudah ditegaskan bahwa akan terjadi, namun soal kapan terjadinya tidak ada yang tahu. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri tidak mengetahui soal waktu tepat terjadinya hari akhir.

Hari kiamat memang tidak diketahui pasti waktu terjadinya. Akan tetapi, tanda-tanda yang mendekati kiamat telah disebutkan Rasulullah SAW dalam suatu hadis nabi.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW menyebutkan 10 tanda kiamat. Dari 10 tanda kiamat ini tiga di antaranya adalah munculnya gerhana yang terjadi di tiga tempat.

Berikut adalah redaksi hadis yang menjelaskan tentang tanda kiamat, yang artinya:

“Dari Hudzaifah bin Asid Al Ghifari berkata, Rasulullah SAW menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu. Ia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab, ‘Kami membicarakan kiamat.’ Ia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dābbah), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam AS, Ya'juj dan Ma'juj, tiga gerhana; gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka.” (Lihat Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim An-Naisaburi, Al-Jāmi’us Ṣaḥīḥ, [Beirut, Dārul Afaq Al-Jadidah: tanpa tahun], juz VIII, halaman 178).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya