Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Amerika Serikat (AS) di Virginia tengah menyelidiki Meta (induk Facebook) atas dugaan platform media sosial yang memfasilitasi dan mengambil keuntungan dari penjualan obat-obatan terlarang.
Informasi ini diketahui dari dokumen pengadilan dan segelintir orang yang mengetahui masalah tersebut, sebagaimana dilansir The Wall Street Journal, Senin (18/3/2024).
Advertisement
"Jaksa mengirimkan surat panggilan pengadilan tahun lalu dan telah mengajukan pertanyaan sebagai bagian dari penyelidikan dewan juri pidana," tulis laporan itu, seraya menambahkan bahwa mereka juga meminta catatan terkait kandungan narkoba atau penjualan gelap obat-obatan melalui platform Meta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) juga membantu penyelidikan tersebut. Perlu dicatat bahwa investigasi tidak selalu mengarah pada tuduhan melakukan kesalahan.
“Penjualan obat-obatan terlarang melanggar kebijakan kami dan kami berupaya menemukan dan menghapus konten ini dari layanan kami,” kata juru bicara Meta.
“Meta secara proaktif bekerja sama dengan otoritas penegak hukum untuk membantu memerangi penjualan dan distribusi obat-obatan terlarang,” ia menambahkan.
Sementara itu President of Global Affairs Meta, Nick Clegg, mengatakan bahwa perusahaan telah bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri AS, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, dan Snapchat untuk membantu mengganggu penjualan obat-obatan sintetis secara online.
"Kami juga mendidik penggunanya tentang risiko terkait obat-obatan terlarang," cuit Nick Clegg di platform X alias Twitter.
Donald Trump Sebut Facebook sebagai Musuh Rakyat, Saham Meta Tenggelam
Di sisi lain, saham Meta Platforms (META), pemilik Facebook, turun sekitar 4% pada Senin, 11 Maret 2024 setelah Trump menyebut Facebook sebagai 'musuh rakyat'.
Saham Meta juga turun 1,2% pada hari Jumat menyusul unggahan Trump di Truth Social, di mana mantan presiden tersebut mengecam Facebook sebagai musuh sejati rakyat.
Valuasi pasar Meta telah turun lebih dari USD 60 miliar sejak serangan Trump dimulai pada Kamis malam. Tampaknya tidak ada berita besar yang mendorong aksi jual Meta, selain kecaman dari Trump.
BACA JUGA:Hoaks Ridwan Kamil Bagikan Uang Rp 55 Juta Hanya Dengan Tebak Nama Kota di Facebook“Ini ada hubungannya dengan komentar mantan Presiden Trump. Facebook telah melalui banyak gelombang terseret ke dalam perdebatan politik, dan hal ini tidak pernah menjadi pertanda baik bagi mereka," kata analis di D.A. Davidson, Gil Luria, dikutip dari CNN International, Selasa (12/3/2024).
Trump mengejutkan banyak orang pada minggu lalu dengan membalikkan pendiriannya terhadap TikTok dan menentang larangan TikTok. Trump berargumentasi bahwa pelarangan TikTok akan membantu Facebook, sebuah perusahaan yang sudah lama menjadi lawan dari mantan presiden tersebut.
“Hal yang saya tidak suka adalah tanpa TikTok, Anda dapat membuat Facebook lebih besar, dan saya menganggap Facebook sebagai musuh masyarakat, bersama dengan banyak media,” kata Trump.
Facebook memberlakukan larangan dua tahun terhadap Trump setelah kerusuhan Capitol pada 6 Januari 2021. Meta mengaktifkan kembali akun Facebook dan Instagram Trump pada Februari 2023.
“Saya pikir Facebook sangat tidak jujur. Saya pikir Facebook telah memberikan dampak yang sangat buruk bagi negara kita, terutama ketika menyangkut pemilu,” kata Trump.
Investor jelas memperhatikan serangan Trump. Luria, menilai komentar Trump meningkatkan kekhawatiran bahwa Facebook akan kembali menjadi target Washington. Secara khusus, Luria mengatakan Trump, jika terpilih sebagai presiden, dapat menekan Facebook dengan mempersulit Meta melakukan akuisisi di masa depan. Sementara, akuisisi Instagram dan WhatsApp yang dilakukan perusahaan sebelumnya merupakan faktor penting dalam pertumbuhannya.
“Jika mereka tidak dapat membeli produk hebat berikutnya di masa depan, maka mereka akan kesulitan bersaing,” kata Luria.
“Ada hal-hal yang cukup berdampak yang dapat dilakukan seorang presiden, belum lagi menggunakan kekuasaan podium untuk membatasi daya tarik perusahaan terhadap basis pemilih tertentu," lanjut dia.
Advertisement
Lampu Hijau
Regulator AS baru-baru ini memberi lampu hijau untuk merger kontroversial antara pemilik Truth Social, Trump Media & Technology Group, dan perusahaan cek kosong. Jika disetujui oleh pemegang saham akhir bulan ini, Trump akan memiliki saham dominan di perusahaan publik baru yang bernilai miliaran dolar tersebut.
Anggota Dewan akan melakukan pemungutan suara minggu ini mengenai rancangan undang-undang yang akan memberikan waktu sekitar lima bulan kepada TikTok untuk memisahkan diri dari perusahaan induknya yang terkait dengan Tiongkok, jika tidak, toko aplikasi di Amerika Serikat akan dilarang menghosting aplikasi tersebut di platform mereka.
Presiden Joe Biden mengatakan dia siap menandatangani RUU TikTok menjadi undang-undang jika disahkan Kongres.
Miliarder AS Mark Zuckerberg hingga Jeff Bezos Kompak Jual Saham, Ada Apa?
Sejumlah miliarder Amerika Serikat (AS) menjual saham dalam jumlah besar. Analis menilai hal itu bukan sinyal yang baik dan menilai aksi miliarder tersebut untuk menghadapi pemilihan umum Amerika Serikat pada 2024.
Dikutip dari Hindustan Times, ditulis Selasa (12/3/2024), miliarder yang menjual saham tersebut antara lain CEO Apollo Global Management Leon Black yang menjual saham untuk pertama kali dalam 34 tahun. Ia menjual saham perusahaan equity-nya senilai USD 172,8 juta atau sekitar Rp 2,68 triliun (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.532).
Selain itu, keluarga pemilik Walmart yakni keluarga Walton menjual USD 1,5 miliar atau sekitar Rp 23,29 triliun selama sepekan.
Pada 2023, pendiri Facebook yakni Mark Zuckerberg menjual sekitar 1,4 juta saham Meta senilai USD 638 juta atau sekitar Rp 9,90 triliun, demikian dikutip dari dailymail.co.uk.
Kemudian miliarder Jeff Bezos menjual 14 juta saham Amazon senilai USD 2,4 miliar atau sekitar Rp 37,25 triliun. Penjualan saham itu bagian dari rencana Bezos yang menjual 50 juta saham.
Sejumlah pakar melihat ini bukan pertanda baik. Hal ini seiring aksi penjualan saham yang dilakukan menyusul pelaksanaan pemilu pada 2024.
Kepada Fortune, konsultan perusahaan keuangan Alan Johnson menuturkan, jika Anda membaca keadaan dan melihat apa yang mungkin terjadi dengan politik pada tahun depan dan selanjutnya, keadaan saat ini cukup baik dan pasar sedang naik.
"Dengan politik, kita dan segala sesuatu yang terjadi secara geopolitik, mungkin keadaannya tidak akan sebaik satu tahun dari sekarang atau dua tahun dari sekarang," ujar dia.
Hal ini terjadi karena indeks S&P 500 telah naik lebih dari 27 persen pada tahun lalu dan menambah miliaran dolar AS ke portofolio miliarder. "Jadi pemegang saham dapat mengambil keuntungan dari keringanan pajak yang diberikan pada masa pemerintahan Donald Trump," ujar dia.
Advertisement
Kata Pakar
Namun, pakar keuangan lainnya percaya penjualan saham ini mencerminkan sesuatu lebih besar di balik layar. American Hartford Gold kepada investor mengatakan, likuidasi besar-besaran mungkin merupakan tanda kemerosotan ekonomi yang akan datang. Direktur Mechi Block menuturkan, CEO ini keluar sebelum gelembung teknologi meledak.
"Miliarder seperti Jeff Bezos, CEO Mark Zuckerberg, Jamie Dimon dan keluarga Walton menjual sejumlah besar saham sendiri dan analis berpikir CEO mungkin bersiap menghadapi kemerosotan ekonomi,” kata dia.
Ia menuturkan, pasar saham yang terlalu panas dan terus naik ke level baru karena investor takut ketinggalan. “Orang dalam melepas saham bernilai miliaran dolar AS,” ujar dia.
Ia menambahkan, saham Meta melonjak 186 persen, saham JPMorgan bertambah hampir 30 persen, dan saham Amazon melonjak dekati 90 persen. “Ketiga saham perusahaan itu diperdagangkan mendekati rekor tertinggi,” tutur dia.
Ia menuturkan, biasanya jika CEO membeli saham, hal ini menunjukkan keyakinan terhadap potensi pertumbuhan masa depan perusahaan itu. “Mungkin juga pandangan para miliarder ini memberi mereka perspektif berbeda mengenai perekonomian dan ke mana arahnya,” kata dia.
INFOGRAFIS JOURNAL_Berbagai Fakta Mengenai Gerakan Cancel Culture di Media Sosial (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement