Liputan6.com, Amsterdam - Menjalani ibadah puasa Ramadan di rantau tentu punya tantangan tersendiri atau mungkin juga peluang. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Panji (33), warga negara Indonesia (WNI) asal Jakarta, yang saat ini bermukim di Amsterdam, Belanda.
Kepada Liputan6.com, Panji mengisahkan bahwa lingkungan kerjanya saat ini yang mayoritas non-Islam membuat cukup banyak yang penasaran dengan ibadah puasa yang dijalaninya. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa lama puasa Ramadhan tahun ini cukup mirip dengan di Indonesia.
Advertisement
"Alhamdulilah tahun ini cukup mirip karena waktu Subuhnya sekitar pukul 05.00 dan waktu berbukanya pukul 18.40. Saya ingat dua tahun lalu Ramadhan jatuh pada musim panas (summer) wah itu sangat menantang sekali! Karena sempat waktu Subuh itu pukul 03.30 dan waktu Magrib pukul 21.40. Dan mataharinya memang terik banget ya kalau lagi summer di sini, jadi sebisa mungkin cari tempat teduh dan minum yang banyak pas sahur dan berbukanya supaya tidak dehidrasi. Tapi alhamdulilah berhasil melaluinya dan tidak batal," ujar Panji.
"Yang menarik sebenarnya kalau lagi puasa dan work from office (WFO). Saya kerja dengan orang-orang Belanda semua dan di kantor mereka yang tidak berpuasa itu sangat penasaran kok bisa sih tidak makan dan minum selama itu. Mereka juga sering tanya apakah berat atau tidak? Ini sebenarnya peluang bagus ya untuk kita sharing tentang manfaat berpuasa dan memperkenalkan Islam."
Meski puasa, kata Panji, dia tetap diharapkan tampil maksimal dalam pekerjaan.
"Jangan sampai religi menjadi alasan kendor dalam urusan pekerjaan," kata dia.
Pandemi COVID-19
Panji dan istrinya sudah menetap di Belanda kurang lebih 4,5 tahun. Sebelum di Amsterdam, dia pernah tinggal di Den Haag dan Tilburg.
"Awalnya saya dapat kuliah di Belanda dan mulai tinggal di sini dari tahun 2019. Saya kuliah S2 di TIAS Business School, sebuah sekolah bisnis yang merupakan bagian dari Tilburg University. Saya mengambil jurusan MBA. Rencana awal saya mau pulang ke Indonesia setelah selesai kuliah. Namun, hal yang tidak disangka terjadi, pandemi COVID-19. Jadilah tidak bisa pulang ke Indonesia dan harus mencoba survive di sini," tutur Panji.
"Lalu coba-coba daftar kerja dan untungnya punya kenalan orang Belanda yang dulu pernah bekerja bareng. Alhamdulilah, bisa dibantu sama dia dapat kerja di sini dan sampai sekarang deh masih di sini. Saya bekerja di Pon Equipment B.V. sebagai pricing manager. Ini adalah distributor Caterpillar di Belanda."
Sekarang, kata Panji, waktu di Belanda lebih lambat enam jam dari Waktu Indonesia Barat (WIB), tapi pada 31 Maret akan ada daylight saving yang akan membuat Belanda jadi lebih lambat lima jam dari Indonesia.
Lantas dari mana Panjir mengikuti informasi ketentuan awal puasa?
"Sama halnya seperti di Indonesia, komunitas muslim di sini ada yang lebih memilih untuk menunggu melihat hilal (mayoritas warga keturunan Maroko) dan ada yang memilih menggunakan kalkulasi astronomi (mayoritas warga keturunan Turki) untuk menentukan kapan Ramadhan dimulai. Alhamdulillah, tahun ini, keduanya sepakat bahwa Ramadan akan dimulai pada hari yang sama, yaitu 11 Maret 2024. Untuk dapat informasi ini banyak sih sekarang di media sosial dan banyak masjid-masjid di sini yang memiliki akun media sosial. Terlebih, kita juga memiliki beberapa masjid Indonesia seperti Al Hikmah, PPME Al Ikhlash, SGU Utrecht, dan Masjid Euromuslim," terang Panji.
"(Masjid Indonesia) yang paling besar di Den Haag. Kita tapi boleh kok ikut ke masjid Maroko, Turki, atau Suriname untuk salat berjamaah dan tarawih. Tapi, kalau saya sendiri, tarawihnya di rumah saja biasanya."
Advertisement
Berencana Mudik
Keberadaan WNI di Belanda, ungkap Panji, cukup banyak.
"Jumlah diaspora Indonesia (WNI dan non-WNI yang keturunan suku di Indonesia) itu kedua terbanyak kalau tidak salah di dunia setelah Malaysia. Dan kami cukup membaur di sini dengan warga keturunan lainnya. Untuk umat muslim sendiri di Belanda itu paling banyak dari Turki dan Maroko karena memang banyak imigran dari kedua negara tersebut yang pada zamannya mengisi kekosongan labour (pekerja) di sini. Orang Suriname pun juga cukup banyak di sini, namun banyak yang non-muslim," jelas Panji.
Apakah banyak yang menjual halal food?
Saat ditanya soal di atas, Panji menjawab, "Wah makanan sih tetap tidak ada yang mengalahkan (makanan) Indonesia, sih! Kangen banget sama variasi makanan di Indonesia. Sebenarnya orang Indonesia banyak di sini dan makanan Indonesia juga banyak. Tapi, di sini tidak update dengan makanan-makanan yang lagi populer di Indonesia atau juga yang lokal banget seperti soto Betawi/sop kaki kambing, jarang banget yang ada."
"Rindu sekali dengan vibes-nya di Indonesia kalau udah bulan Ramadhan. Di sini paling di supermarket mulai jualan kurma aja," ungkap Panji.
Ditanya apa yang paling dirindukannya dari suasana Ramadan di tanah air, Panji mengatakan, "Beli kolak di pinggir jalan, dibangunin sahur dari masjid dekat rumah, dan acara iftar bareng teman dan keluarga."
Panji dan istri mengaku akan pulang ke tanah air untuk menikmati lebaran bareng keluarga dan sepinya Jakarta.