Liputan6.com, Moskow - Muhammad Yunus Musthofa, warga negara Indonesia (WNI) asal Ngawi, Jawa Timur, membagikan kisahnya tentang menjalani puasa Ramadan pertama di Chelyabinsk, Rusia. Dia baru enam bulan terakhir berada di sana untuk menyelesaikan pendidikan doktoral di Institute of Linguistic and International Communication, South Ural State University.
"Tidak terlalu berbeda jauh sebenarnya, Chelyabinsk hanya dua jam lebih lambat dari Waktu Indonesia Barat (WIB). Perbedaan utama justru di waktu Matahari terbit dan terbenam yang tergantung musim, kadang lebih cepat, kadang lebih lambat," tutur pria usia 26 tahun yang akrab disapa Yunus tersebut kepada Liputan6.com ketika ditanya soal perbedaan waktu.
Advertisement
"Ada semacam dewan masjid dan masjid pemerintah kota yang mengeluarkan informasi awal puasa, imsak, dan berbuka. Di sini, puasa dimulai pada 11 Maret 2024."
Yunus lebih lanjut menjelaskan bahwa Ramadan 2024 bertepatan dengan musim semi, sehingga lama berpuasa hampir sama seperti di Indonesia.
"Umumnya saat musim semi, Matahari terbit sekitar pukul 07.00 dan terbenam sekitar pukul 18.00. Ramadan akan menjadi unik kalau bertepatan dengan winter atau summer. Saat winter, Ramadan bisa sangat singkat karena matahari terbit pukul 09.00 dan terbenam pukul 16.00. Sedangkan saat summer, Ramadan bisa sangat panjang karena matahari terbit pukul 03.00 dan terbenam pukul 22.00. Saat musim semi seperti sekarang, cuacanya sudah lebih membaik, suhu rata-rata hanya di minus 5 sampai minus 10," ujar Yunus.
"Akan cukup repot jika Ramadhan datang saat winter karena winter kemarin suhu terdingin menyentuh minus 40. Sedangkan saat summer, suhu rata-rata tidak berbeda jauh dengan Indonesia di plus 30. Karena Rusia adalah negara sekuler, tidak ada keringanan atas hari raya agama apapun, bahkan tidak ada perayaan khusus pada hari besar Kristen Ortodoks yang merupakan agama mayoritas warga Rusia. Semua berjalan seperti hari-hari pada umumnya."
Chelyabinsk 'Sepi' WNI
Chelyabinsk, sebut Yunus, berbeda dengan Moskow, St. Petersburg, atau Kazan.
"Chelyabinsk bukan kota yang umum untuk mahasiswa Indonesia. Hanya ada tiga WNI di kota ini. Tapi, populasi muslim di Chelyabinsk lumayan besar. Kebanyakan adalah pendatang dari Tajikistan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, dan negara-negara pecahan Soviet lainnya yang memang mayoritasnya adalah muslim," ungkap Yunus.
"Selain itu, muslim di sini juga terdiri dari banyak mahasiswa asal Suriah, Iran, Irak, Yaman, Palestina, Mesir, Mali, Libya, serta negara-negara muslim di Timur Tengah dan Afrika lainnya. Ada pula sejumlah kecil warga negara Rusia yang beragama muslim dari etnis Tatar dan Bashkir di Chelyabinsk."
Demi menjamin kehalalan dan lebih ekonomis, Yunus memilih untuk masak makanannya sendiri.
"Saya biasanya masak kentang, sayur, ikan atau ayam. Tapi kita dengan mudah bisa menemukan restoran muslim, yang mayoritas asal Uzbekistan. Produk-produk halal food juga dengan mudah ditemukan di berbagai swalayan, bahkan swalayan kecil sekalipun," kata Yunus.
Bagaimana dengan takjil?
"Untuk takjil, tidak ada sesuatu yang spesial dan meriah seperti di Indonesia. Takjil di sini umumnya hanyalah kurma. Tidak ada tradisi khusus bagi muslim di sini untuk berbuka puasa dengan makanan tertentu," kata dia.
Advertisement
Ingin Menyelesaikan Studi Lebih Cepat
Di Kota Chelyabinsk, ungkap Yunus, ada beberapa masjid. "Salah satu yang terdekat dengan tempat tinggal saya hanya berjarak sekitar 2.5 km. Mungkin ada beda jumlah rakaat tarawih dan pelaksanaan witir di satu masjid dengan masjid lainnya, tapi di masjid yang dekat tempat tinggal saya, mereka tarawih delapan rakaat dan tiga salat witir."
Diskon Ramadan sendiri ada di beberapa toko, namun tidak terpampang melalui pengumuman besar.
"Ketika membayar maka kasir akan menawarkan produk diskon Ramadan," kata dia.
Apa yang paling dirindukan Yunus dari suasana Ramadan di tanah air?
"Ngabuburit karena tradisi seperti itu tidak ada di sini. Menunggu buka puasa sembari berkumpul bersama teman-teman untuk hunting beraneka ragam takjil adalah sesuatu yang spesial. Beragam pilihan takjil juga bagian dari yang saya rindukan terkait Ramadan di Indonesia. Tidak terbayangkan sebelumnya menjalani Ramadan tanpa bisa berbuka puasa dengan es blewah atau kolak pisang."
Yunus menempuh studinya atas beasiswa pemerintah Rusia.
"Saya memiliki waktu 3,5 tahun lagi untuk menyelesaikan studi, tapi saya berharap bisa merampungkannya lebih cepat. Mungkin 2,5 atau tiga tahun lagi," imbuhnya.