Mengenal Istilah Crypto Bubbles dan Contoh Kasusnya

Sama seperti gelembung dot-com pada akhir 1990-an atau gelembung perumahan pada 2008, gelembung kripto memikat investor dengan janji-janji keuntungan besar.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 20 Mar 2024, 06:00 WIB
Beberapa pekan terakhir muncul beberapa isu terkait crypto bubbles yang menyebabkan pasar kripto kembali terkoreksi. (Foto: Traxer/unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir muncul beberapa isu terkait crypto bubbles yang menyebabkan pasar kripto kembali terkoreksi. Lantas apa sebenarnya Crypto Bubbles atau gelembung aset kripto

Dilansir dari Cryptonews, Rabu (20/3/2024), Crypto Bubbles merupakan sebuah fenomena di mana sebuah aset kripto harganya mengalami lonjakan sangat  tinggi dari nilai yang sebenarnya dalam waktu tertentu.

Gelembung kripto mewakili lonjakan harga mata uang kripto yang terutama didorong oleh hype dan spekulasi, jauh melebihi nilai intrinsiknya. 

Tidak seperti aset tradisional, sebagian besar mata uang kripto tidak memiliki aset nyata atau aliran pendapatan, sehingga menjadikan penilaiannya sebagai upaya spekulatif yang rentan terhadap sentimen dan sensasi pasar.

Sama seperti gelembung dot-com pada akhir 1990-an atau gelembung perumahan pada 2008, gelembung kripto memikat investor dengan janji-janji keuntungan besar, yang berpuncak pada keruntuhan yang tajam dan berpotensi menghancurkan.

Persamaan antara gelembung kripto dan gelembung tradisional sulit untuk diabaikan. Keduanya ditandai oleh kegembiraan dan euforia, mendorong harga ke tingkat yang sangat tinggi, dan dipicu oleh rasa takut ketinggalan (FOMO) dan kegilaan spekulatif.

Tidak adanya metrik penilaian yang jelas dan menjamurnya produk-produk investasi baru sering kali semakin memperburuk volatilitas pasar, serupa dengan pola-pola yang terlihat pada gelembung keuangan di masa lalu.

Contoh gelembung kripto masa lalu

Gelembung kripto memiliki sejarah yang menarik sejak debut Bitcoin pada 2009, dengan koin tersebut mengalami banyak siklus naik dan turun. Spekulasi pasar, kemajuan teknologi, dan pengaruh peraturan sering kali mendorong fluktuasi ini.

Gelembung kripto pertama yang terkenal muncul saat masa awal Bitcoin yaitu pada 2011. Harga mata uang kripto melonjak dari beberapa sen menjadi sekitar USD 30 dari bulan April hingga Juni tahun itu. 

Hal ini memicu hiruk pikuk investasi dan perhatian media. Namun, gelembung kripto pecah, menyebabkan harga Bitcoin anjlok hingga satu digit, sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi investor awal.

 

 

 


Gelembung Bitcoin

Ilustrasi Kripto atau Crypto. Foto: Unsplash/Traxer

Contoh lainnya adalah gelembung Bitcoin yang terkenal pada 2017, yang membekas dalam ingatan banyak investor. Harga BTC melonjak hingga hampir USD 20.000 pada akhir 2017, sebelum jatuh menjadi sekitar USD 3.000 dalam setahun.

Dunia kripto juga mengalami gelembung ketika penawaran koin awal (ICO), di mana banyak mata uang kripto diperkenalkan melalui ICO, seringkali tanpa produk atau layanan nyata. 

Banyak dari proyek-proyek ini ternyata merupakan penipuan, yang pasti menyebabkan jatuhnya mata uang kripto dan menyebabkan kerugian besar bagi mereka yang telah ikut serta dalam hype tersebut.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 


Harga Bitcoin Melemah Usai Perdebatan Isu Crypto Bubble

Ilustrasi kripto (Foto: Unsplash/Andre Francois M.)

Sebelumnya diberitakan, Bitcoin melanjutkan penurunannya dari rekor tertinggi terbarunya. Penurunan ini terjadi di tengah perdebatan yang semakin intensif mengenai apakah kenaikan mata uang kripto merupakan bukti spekulatif di pasar global dan terkait crypto bubble. 

Crypto Bubbles atau gelembung aset kripto adalah sebuah fenomena seiring  sebuah aset kripto harganya mengalami lonjakan sangat  tinggi dari nilai yang sebenarnya dalam waktu tertentu.

Meskipun begitu, lonjakan tersebut akan diikuti oleh penurunan yang cepat dan tajam oleh aset kripto tersebut yang dapat menimbulkan kerugian bagi para investor.

Dilansir dari Yahoo Finance, Selasa (19/3/2024), Bitcoin sempat turun sebanyak 7,2% pada Sabtu, 16 Maret 2024. Bitcoin sempat turun hingga level USD 65.000 atau setara Rp 1 miliar (asumsi kurs Rp 15.646 per dolar AS) 

Token tersebut mencapai puncak baru sepanjang masa hampir USD 73.798 atau setara Rp 1,15 miliar sehari sebelumnya.

 


Dana yang Masuk

Ilustrasi perdagangan Kripto. (Foto By AI)

Dalam wawancara dengan Bloomberg Television, Kepala Strategi Investasi Bank of America Corp Michael Hartnett mengatakan pasar menunjukkan karakteristik gelembung dalam lonjakan rekor oleh saham-saham Magnificent Seven di sektor teknologi dan harga kripto tertinggi sepanjang masa.

Komentar tersebut menjadi bahan perdebatan langsung di Wall Street mengenai apakah banyak pasar rentan terhadap kemunduran. 

Untuk Bitcoin, para pendukungnya menunjuk pada sekitar USD 12 miliar atau setara Rp 187,7 triliun arus masuk bersih ke dalam dana khusus yang diperdagangkan di bursa AS atau ETF Bitcoin sejak debutnya pada 11 Januari sebagai dukungan mendasar, serta momen halving yang akan berlangsung.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

INFOGRAFIS: 10 Mata Uang Kripto dengan Valuasi Terbesar (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya