Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan jas hitam dan kopiah warna senada, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih meluncurkan buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi di Perpustakaan Nasional, Selasa (19/3/2024).
Darurat literasi Indonesia harus diatasi. Sejumlah persoalan literasi nyata mengemuka. Misal yang terjadi di lingkup pendidikan dimana perpustakaan sekolah kurang terbina, bahan bacaan yang bersifat pengayaaan siswa yang minim tersedia, hingga petugas perpustakaan yang malah diampu guru untuk memenuhi kebutuhan jam ajar. Padahal perpustakaan sekolah adalah pusat belajar.
Advertisement
"Perpustakaan sekolah sebagai salah satu sarana prasarana belum jadi prioritas dalam manajemen sekolah," imbuh Faqih saat temu wicara pascapeluncuran buku karyanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Perpustakaan Nasional Aminudin Aziz mengapresiasi buku yang diterbitkan Komisi X DPR RI, karena meski buku ini berisikan laporan singkat tapi isi informasinya justru dibutuhkan dan patut diketahui publik.
Jika dikritisi, apabila buku ini merupakan bagian konsep akademik maka harus dilampirkan kajian akademik literasi. Tapi sayangnya hal tersebut belum nampak.
Aziz merasa perlu meredefinisi literasi. Sesuai saran panitia kerja (panja) maka diperlukan definisi literasi yang mudah dipahami masyarakat.
Menanggapi sejumlah kekhawatiran Komisi X DPR RI seperti yang disampaikan Abdul Fikri Faqih tentang tenaga pustakawan di sekolah, Aziz mengatakan saat ini sudah tersolusikan melalui Kemendikbud. Pun, soal untuk menghidupkan perpustakaan desa, Perpusnas bersama Kementerian Desa berencana akan mengeluarkan Surat Edaran penggunaan dana desa untuk aktivitas perpustakaan desa.
Terkait kebijakan yang saat ini diprogramkan Perpusnas, Aziz menambahkan pihaknya kini berfokus pada penguatan kepada 10.000 perpustakaan desa dengan muatan koleksi 1.000 judul buku tiap perpustakaan yang merupakan kolaborasi Perpusnas dengan Badan Bahasa Kemendikbudristekdikti.
Membangun Ekosistem Kepenulisan
Pada kesempatan yang sama, novelis kenamaaan Asma Nadia mengeluarkan uneg-unegnya bahwa darurat literasi bukan kondisi akhir melainkan harus dijawab dengan optimisme.
Saya mendambakan sinergi kolaborasi antara Perpusnas dengan para penulis buku karena sejak pandemi sudah lebih 100 toko buku tutup. Maka, perlu intervensi dan kebijakan dari pemerintah untuk membantu toko buku karena imbas dari tutupnya toko buku berdampak pada penulis, sastrawan, dan penerbit.
"Fasilitas yang dimiliki Perpusnas juga harus bisa dirasakan mereka, seperti menjadi tempat peluncuran buku dan sebagainya agar siklus literasi tetap terjaga. Simbiosis mutualisme dibutuhkan sehingga ekosistem kepenulisan dan penerbitan tidak mati," pungkas Asma Nadia.
Advertisement