DKPP Jatuhkan Sanksi ke Bawaslu Karena Tidak Tangani Laporan Pelanggaran Gibran

Mahasiswa dari LBH Yusuf bernama Muhammad Fauzi melaporkan ke DKPP bahwa laporannya terkait dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Calon Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka tidak ditangani Bawaslu.

oleh Tim News diperbarui 20 Mar 2024, 16:52 WIB
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja menjelaskan, dari 70 perkara dugaan pelanggaran pada masa kampanye itu, 35 perkara di antaranya ditangani di tingkat pusat, kemudian 35 perkara lainnya di daerah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito memberikan sanksi peringatan kepada jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lantaran tidak menindaklanjuti laporan warga terkait dugaan pelanggaran Pemilu.

"Menjatuhkan sanksi peringatan kepada tergugat satu Rahmat Bagja selaku ketua merangkap anggota Bawaslu, teradu dua Lolly Suhenty teradu tiga Puadi, teradu empat Totok Hariyono, teradu lima Herwyn J.H. Malonda masing-masing selaku anggota badan pengawas pemilihan umum sepanjang perkara nomor 7-PKE-DKPP/I/2024 terhitung sejak putusan ini dibacakan," kata Heddy dalam membacakan putusan sidang yang disiarkan oleh akun YouTube resmi milik DKPP, Rabu (20/3/2024). 

Semua berawal ketika seorang mahasiswa dari LBH Yusuf bernama Muhammad Fauzi melaporkan ke DKPP bahwa laporannya terkait dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Calon Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka tidak ditangani Bawaslu.

Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi di dalam sidang, menjelaskan bahwa Bawaslu menerima laporan dari terlapor bahwa Gibran Rakabuming Raka diduga melakukan kampanye pada 19 November 2023 lalu.

Dalam laporan tersebut kampanye itu berbalut agenda silaturahim Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi).

Gibran pun dinilai melanggar peraturan Pemilu lantaran dianggap berkampanye sebelum waktu yang telah ditetapkan KPU yakni 28 Februari 2024. Tidak hanya itu, Gibran juga dituding melibatkan kepala desa dalam kampanye serta memberikan uang transpor.

"Perbuatan yang dilakukan oleh terlapor (Gibran) adalah perbuatan yang dilarang berupa kampanye di luar jadwal sebagai ketentuan pasal 492 UU Pemilu. Perlibatan kepala desa dan perangkat desa sebagaimana ketentuan kampanye sebagai mana pasal 280 ayat 2 huruf H, huruf I dan huruf J UU Pemilu serta politik uang dalam bentuk pemberian uang transpor," kata I Dewa membacakan hasil pemeriksaan.

Namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti Bawaslu karena dianggap tidak memenuhi syarat materiil.

"Laporan pengadu satu tidak diregistrasi karena alasan tidak memenuhi syarat materiil. Alasan tidak memenuhi syarat materiil justru menjadi tanda tanya bagi pengadu  selaku pelapor dalam laporan itu," kata I Dewa.

Pengadu, lanjut Dewa juga tidak diberikan kesempatan untuk klarifikasi terhadap laporan tersebut sehingga pengguguran laporan terkesan hanya sepihak.

 


Terjadi Hanya di Pemilu

Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta. (Liputan6.com/Muhammad Ali)

I Dewa menjelaskan, alasan Bawaslu tidak menindaklanjuti laporan tersebut lantaran pasal yang disangkakan pelapor tentang dugaan politik uang dan pelanggaran kampanye hanya berlaku jika peristiwanya terjadi saat masa pemilu.

"Para teradu juga menjelaskan bahwa pasal yang disangkakan oleh pelapor merupakan tindak pidana pemilu namun berdasarkan ruang lingkup kampanye seusai lampiran PKPU nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilu sebagaimana diubah dengan PKPU nomor 20 tahun 2023 dimulai pada tanggal 28 November 2023 dan berakhir pada 10 Februari 2023," kata dia.

Hal ini lah yang membuat Bawaslu dianggap melanggar ketentuan peraturan pemilu serta dinilai tidak bekerja secara profesional.

"DKPP menilai terhadap tindakan para teradu terkait penanganan laporan dengan nomor 07 dan seterusnya tidak dapat dibenarkan menurut hukum dan etika. Sebagai pengawas Pemilu para teradu semestinya memiliki kemampuan dalam memahami perundang undangan secara luas. Alasan para teradu mendefinisikan kampanye di luar jadwal berdasarkan yurisprudensi laporan kampanye pada penanganan laporan dan temuan Pemilu 2019 tidak dapat dibenarkan secara hukum dan etika," kata I Dewa.

 


Dianggap Tidak Profesional

Selalu itu, Bawaslu juga seharusnya memberikan ruang untuk pengadu untuk mengklarifikasi aduannya. Bukan justru membatalkan secara sepihak.

"Para teradu seharusnya menggunakan kewenangan terhadap klarifikasi dan meminta pendapat dari KPU terkait aturan kampanye yang dilaporkan oleh pengadu satu sebelum memutuskan dan mengambil keputusan terhadap kajian awal terhadap definisi kampanye di luar jadwal," kata dia.

Karenanya, jajaran Bawaslu dalam hal ini dianggap tidak profesional dan melanggar etika dalam menjalankan pengawasan.

"Para teradu terbukti tidak profesional dan tidak berperasaan hukum dalam menangani laporan nomor 17 dan seterusnya dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat huruf a dan f Pasal 11 huruf a dan C dan 15 huruf b peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan umum Nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan penyelenggara pemilu. Dengan demikian para teradu terbukti melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu," kata I Dewa.

Infografis Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya