Liputan6.com, Jakarta - Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2023-2024 mencapai angka 0.713 atau naik 0.008 poin dari IPM Indonesia di tahun sebelumnya. Dengan demikian, Indonesia naik peringkat dari urutan 114 ke 112.
Adapun hal ini tercatat dalam laporan baru yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Development Programme (UNDP). Namun, ada sejumlah catatan penting yang ditujukan bagi Indonesia.
Advertisement
Dijelaskan bahwa kenaikan IPM tersebut menunjukkan Indonesia berada di jalur yang tepat dalam pemulihan yang stabil menuju pencapaian tingkat IPM tertinggi sebelum pandemi 2019 yaitu 0,718. Namun, Indonesia disebut masih menghadapi tantangan dalam hal kesenjangan.
Dimana IPM Indonesia terkoreksi di angka 0.588 yang membuat adanya kemajuan pembangunan yang tidak merata. Hal ini menyebabkan adanya kelompok masyarakat miskin tertinggal, memperlebar ketimpangan, dan memicu polarisasi politik dalam skala global.
Kepala Program Pembangunan PBB Achim Steiner, mengatakan dalam laporan pembangunan manusia 2023-2024 yang berjudul 'Breaking the Gridlock: Reimagining Cooperation in a Polarized World', mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan.
Kembali membaiknya IPM global juga mencerminkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita, pendidikan, dan angka harapan hidup masih menyimpan situasi yang parsial, tidak lengkap, dan tidak merata.
Oleh sebab itu, meski IPM diproyeksikan mencapai rekor tertinggi pada 2023 setelah penurunan tajam pada 2020 dan 2021, masih memperlihatkan adanya kemajuan yang sangat tidak merata.
"Negara-negara maju mengalami tingkat pembangunan manusia yang mencapai rekor tertinggi, sementara setengah dari negara-negara berkembang justru alami kemunduran," kata Steiner dalam keterangan, diterima Kamis (21/3/2024).
Menurut Steiner, ketimpangan global diperparah oleh konsentrasi ekonomi yang signifikan. Dia menyebut, hampir 40 persen perdagangan barang global terkonsentrasi di tiga negara atau bahkan kurang dari itu.
"Meskipun masyarakat global kita sangat terhubung satu sama lain, namun masih belum optimal. Kita harus memanfaatkan saling ketergantungan dan kapasitas kita untuk mengatasi tantangan bersama dan tantangan eksistensial serta memastikan aspirasi masyarakat terpenuhi," kata dia.
Lebih lanjut, disampaikan bahwa ada hambatan terhadap kemajuan aksi bersama internasional oleh munculnya 'paradoks demokrasi'. Lebih dari separuh responden survei global mendukung pemimpin yang mungkin melemahkan demokrasi dengan mengabaikan aturan-aturan dasar dalam proses demokrasi.
Namun, setengah dari masyarakat yang disurvei di seluruh dunia melaporkan tidak mempunyai kendali penuh atas kehidupan mereka. Hanya lebih dari dua pertiganya percaya mereka mempunyai pengaruh kecil terhadap keputusan pemerintah.
4 Bidang yang Harus Ditindaklanjuti
Selanjutnya, laporan ini juga menyoroti bahwa deglobalisasi tidak mungkin dilakukan dan tidak realistis dilakukan saat ini. Selain itu, ditemukan bahwa interdependensi ekonomi masih tinggi.
"Laporan ini menunjukkan bahwa tidak ada kawasan yang hampir mencapai kemandirian, karena semua negara tergantung pada impor dari negara lain sebesar 25 persen atau lebih untuk setidaknya satu jenis barang dan jasa utama," kata Steiner.
Lebih lanjut, laporan ini mengusulkan ada empat bidang yang harus segera ditindaklanjuti, antara lain:
1. Planetary public goods (untuk stabilitas iklim, saat kita menghadapi tantangan Antroposen yang belum pernah terjadi sebelumnya)
2. Global public goods (untuk pemerataan yang lebih luas dalam pemanfaatan teknologi baru untuk pembangunan manusia yang adil)
3. Adanya mekanisme keuangan baru dan diperluas, termasuk inovasi kerja sama internasional yang melengkapi bantuan kemanusiaan dan bantuan pembangunan tradisional untuk negara-negara berpenghasilan rendah
4. Pengurangan polarisasi politik melalui pendekatan tata kelola baru yang berfokus untuk menyuarakan pendapat masyarakat dalam diskusi dan mengatasi misinformasi.
Advertisement