Petualangan Srini Maria, Guru Tani dari Lereng Merapi

Dari baby buncis, bit, sampai kelengkeng, Srini buktikan petani bisa sukses.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 25 Mar 2024, 10:14 WIB
Srini sedang menunjukkan alpukat yang ia rawat di rumahnya di Desa Sengi, Magelang Sabtu (9/3/2024). (Foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Liputan6.com, Jakarta Hujan enggan beranjak dari rumah Srini Maria Margaretha (63) di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dengan payung merah, Srini menjejak tanah basah di kebun rumahnya. Sore itu Sabtu (9/3/2024), Srini hendak mengecek pohon-pohon alpukat yang sebentar lagi akan panen

Alpukat yang dirawat Srini punya ukuran besar. Ia menunjukkan salah satu alpukat yang berukuran sebesar kepala bayi. Buahnya hijau dan bulat sempurna. Srini menyebutkan, alpukatnya berasal dari bibit unggul dan ditanam secara organik. 

Rumah Srini tidak terlalu luas, tetapi dikelilingi lahan sekitar 2.500 meter persegi. Di lahan Srini menanam berbagai jenis tanaman, mulai dari sayuran seperti sawi, pokcoy, peterseli, tomat, cabai, rosemari, selada, hingga buah-buahan seperti jeruk, srikaya, dan bit. Semua ia budidayakan secara organik.

Sudah hampir 14 tahun, Srini menekuni pertanian organik. Tak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk warga-warga di sekitar rumahnya, terutama para petani perempuan.


Tinggalkan profesi guru untuk jadi petani

Srini dulunya pernah menjadi guru TK dan SMA sebelum banting setir jadi petani. (Foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Meski lahir dari keluarga tani, Srini tak pernah bermimpi jadi petani. Usai lulus dari Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Magelang, Srini memutuskan untuk menjadi guru Taman Kanak-Kanak (TK) di Muntilan. Ia juga sempat menjadi guru Bahasa Indonesia di Kota Magelang. 

Namun, Srini merasa belum menemukan jati dirinya. Ia merasa berat ketika harus mengajar, mempersiapkan ujian, hingga menghadapi anak yang bandel. Hanya 3 bulan bertahan menjadi guru, Srini memutuskan kembali ke kampung halamannya di Dusun Gowok Ringin, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. 

“Setelah merasakan jadi guru TK dan SMA, kok malah ingin pulang merawat lahan yang diberikan orang tua,” ujar Srini.

Pada 2010, Srini lalu mendapat pendampingan dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. Perempuan tiga anak ini juga diajak belajar budidaya sayuran organik di Pusat Pelatihan Organization for Industrial and Cultural Advancement (OISCA) di Karanganyar, Jawa Tengah. Saat itu, seluruh peserta pelatihan adalah petani tulen yang sudah punya puluhan tahun pengalaman. Sementara Srini, tak punya bekal ilmu pertanian sedikitpun.

“Mereka semua petani yang sudah berpenghasilan. Dari petani padi, petani jagung, sayuran.Nah terus karena saya backgroundnya dari nol, sempat bingung juga setelah itu mau buat apa,” cerita Srini.

Dari pelatihan-pelatihan tersebut, Srini mendapat beragam ilmu mulai dari teknik pertanian organik hingga potensi ekspor hasil pertanian.


Bentuk KWT pertama di Sengi

KWT Merapi Asri yang dibentuk Srini di Desa Sengi. (Foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Pihak Dinas Pertanian lalu menyarankan Srini untuk membentuk kelompok wanita tani (KWT). Kelompok ini nantinya bisa terlibat secara aktif dalam kegiatan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan.

“Saat itu saya bahkan tidak tahu apa itu KWT, belum ada KWT di sini,” ujar Srini.

Srini punya tekad kuat membagikan ilmunya pada perempuan-perempuan di desanya. Ia ingin perempuan lebih berdaya, berilmu, dan tak hanya sekadar menjadi pendukung suami. 

Untuk menjaring para perempuan desanya, Srini rajin datang dari satu arisan ke arisan setiap minggunya. Ia mengenalkan misinya mengembangkan pertanian organik dan potensi ekspor yang bisa dihasilkan. Akhirnya, pada Juli 2010 bersama 28 perempuan lainnya, Srini mendirikan KWT Merapi Asri. 


Bantu bangkit dari erupsi merapi

Srini mulai mengembangkan baby buncis pasca erupsi Merapi 2010 (ilustrasi buncis/copyright unsplash/Neha Deshmukh)

Desa Sengi termasuk kawasan rawan bencana (KRB) II Gunung Merapi. Wilayah ini memiliki kemungkinan untuk terpengaruh awan panas, aliran lava, lontaran batu, longsoran, dan hujan abu yang intens saat terjadi erupsi. 

Pada 26 Oktober 2010, erupsi Merapi terjadi. Sengi yang berada di lereng Merapi jadi desa paling terdampak. Seluruh lahan pertanian lumpuh seketika.

“Tahun 2010 di sini semua tidak ada yang bisa dilihat. Semua tanaman tidak ada yang hidup. Kalau petani mau bangkit, ya dari nol,” ujar Srini.

Dari tragedi inilah, Srini mulai menggeliat. Ia mengawali dengan membuka sekolah lapang di Desa Sengi. Sekolah lapang adalah pendekatan pendidikan pertanian yang menekankan pembelajaran langsung di lapangan atau di lokasi pertanian. Ini melibatkan praktik langsung, pelatihan, dan demonstrasi teknik pertanian kepada petani secara langsung di lokasi pertanian mereka. 

“Di sekolah lapang, saya berbagi cara membuat pupuk dan pestisida tanpa kimia alias organik. Jadi lebih ramah lingkungan dan sayuran lebih sehat,” jelas Srini.

Saat itu pula, Srini mengenalkan komoditas buncis Perancis atau juga dikenal sebagai baby buncis. Mereka memiliki ciri seperti biji yang kecil dan tekstur yang lembut, serta ukuran yang lebih kecil daripada buncis dewasa. Buncis perancis seringkali memiliki warna hijau cerah dan bentuk yang panjang dan ramping. 

Awalnya, Srini mencoba menanam sendiri  di lahan seluas 400 m². Satu kilogram baby buncis bisa dihargai sampai rp 10.000. Dari bidang tanah tersebut, Srini bisa mengirimkan hasil panen pertamanya sebanyak 25—30 kg baby buncis ke Singapura melalui perantara pengepul sayuran di Semarang. Ketika hasil terlihat, perempuan lainnya pun tertarik.

“Biasanya saya kan kalau mau praktekan ke orang lain, saya mencoba dulu. Saya nyoba dulu, terus akhirnya ibu-ibu saya suruh nanam mereka mau,” ujar Srini.

Setiap panen, KWT Merapi Asri bisa mengarungi 100 kg buncis per hari. Harga baby buncis yang lebih tinggi dari buncis biasa membuat Srini dan perempuan di desanya meraup banyak keuntungan. 

Selain baby buncis, Srini juga sempat menanam berbagai sayuran elit lainnya seperti peterseli, rosemari, hingga buat bit. Ilmu pertanian organik, kesempatan ekspor, dan perluasan komoditas ini bisa membuat warga Sengi bangkit dari efek erupsi Merapi. Hadirnya KWT Merapi Asri membuat petani perempuan di Sengi bisa mengembangkan hasil pertaniannya lebih baik lagi.

“Dulu mereka tanamnya masih konvensional, belum ada ilmunya. Sekarang ada ilmunya berarti hasilnya lebih banyak. Misal dulu cuma berapa kilo, sekarang bisa dua kali lipat, pungkas Srini.


Kembangkan kelengkeng kualitas super

Kini Srini mengembangkan kelengkeng di pasar lokal (ilustrasi buah kelengkeng/Arina_B/shutterstock)

Kini Srini lebih fokus pada pasar lokal yang dinilainya jauh lebih menguntungkan. Per 2024, Srini mencatat ada 12 anggota aktif KWT Merapi Asri. Saat ini, para anggota tersebut sudah mandiri mengembangkan pertaniannya.

“Sekarang anggota yang saya dampingi itu kebanyakan anak-anaknya sudah jadi penyuplai sayur,” Ujar Srini.

Beberapa tahun belakangan, Srini memilih untuk mengembangkan pertanian kelengkeng varietas new kristal. Varietas ini dipilih karena mudah dikembangkan dan bisa diatur masa panennya. Sejak 2017, ia berhasil membina sekitar 40 petani untuk membudidayakan kelengkeng. Satu kilogram kelengkeng bisa dihargai sampai rp40.000. 

Tak cuma menjual kelengkeng segar, Srini juga membuka paket pendampingan bertani kelengkeng. Kini, tak cuma warga sekitar desa yang berguru ke Srini, tapi juga warga dari luar kota. 

Meski tak lagi jadi guru di sekolah, Srini masih tetap menjadi guru bagi petani di lereng Merapi. Srini mengungkap dari hasil penjualan kelengkeng segar, bibit, dan pendampingan, ia pernah cuan sampai lebih dari rp100 juta.

“Jadi, saya dulu hanya dampingi KWT, sekarang malah warga dari luar kota pada ke sini,” ujar Srini.


Dorongan modal dari BRI

Bank BRI KC Muntilan (Foto: Liputan6.com/Anugerah Ayu).

Untuk menggarap lahan pertaniannya, Srini butuh modal yang tak sedikit. Namun, ia tak begitu khawatir. Sejak awal memutuskan bertani, Srini mendapat dorongan modal dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). 

“Bahkan sebelum membentuk KWT, saya sudah mengajukan permodalan ke BRI” ujar Srini. 

Pada 2013, Srini memberanikan diri mengajukan pinjaman modal sejumlah rp100 juta. Modal inilah yang digunakan Srini untuk membeli benih, pupuk, olah lahan, dan operasional lainnya. Melalui Srini, anggota KWT Merapi Asri juga bisa mengajukan pinjaman dengan lebih mudah.

“Waktu itu ada sekitar 10 anggota yang mengajukan KUR, semua saya kelola dan bisa lunas semua,” ujar Srini.

Srini mengungkapkan, tak butuh proses berbelit dan lama untuk mendapat permodalan dengan BRI. Ia merasa selalu dimudahkan ketika mengajukan pinjaman.

Selain permodalan, sejak 2021 Srini juga sering diikutkan dalam pameran atau bazar yang diadakan BRI. Dari pameran-pameran ini, Srini bisa mengembangkan jaringan yang lebih luas. 

Kepala Cabang BRI Muntilan, Dani Ratmoko menyebutkan, BRI memang memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan permodalan usaha. Dalam sektor pertanian, BRI juga juga punya perlakuan khusus untuk petani.

“Kalau untuk pertanian itu lebih spesial karena selain kita juga harus paham apa yang ditanam sama petani itu, kita juga harus tahu siklus bisnis mereka,” ujar Dani saat ditemui di Kantor Cabang BRI Muntilan, Jumat (15/3/2014).

Maka dari itu, Dani menjelaskan bahwa BRI juga menawarkan kredit musiman untuk petani. Dalam konteks ini, petani memiliki kemampuan untuk melunasi cicilan sesuai dengan pola pendapatan yang tidak menentu.

“Jadi kita menggabungkan antara bisnis, pengetahuan mereka akan pertanian, dan akses permodalannya, biar taraf hidup mereka lebih baik lagi, tambah Dani.

Melalui fungsi ini, BRI berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani, memfasilitasi akses terhadap modal dan layanan keuangan, serta memberikan dukungan dalam pengembangan usaha pertanian mereka.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya