Berbuka Dahulu kemudian Bersenggama Siang Hari di Bulan Ramadhan, Apakah Tetap Membayar Kafarat?

Hasrat seksual bisa datang kapan saja termasuk saat puasa. Lantas, jika melakukan hal ini diawali dengan membatalkan puasa atau berbuka, apakah pelakunya harus membayar kafarat atau tidak?

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Mar 2024, 09:30 WIB
Ilustrasi pasangan suami istri. Pixabay.com.

Liputan6.com, Jakarta - Hasrat seksual bisa datang kapan saja termasuk saat melaksanakan puasa Ramadan. Jika berjimak diawali dengan membatalkan puasa atau berbuka terlebih dahulu, apakah pelakunya harus membayar kafarat atau tidak?

Hal ini pernah dialami seseorang hingga karena tidak kuat menahan hasrat seksualnya ini akhirnya ia berjima dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan.

Akan tetapi, sebelum melakukan jimak, ia terlebih dahulu membatalkan puasa atau mokel. Atas perbuatannya ini, maka ia menanyakan perihal apa yang ia lakukan.

Pertanyaannya ini dimuat di kolom Tanya Jawab Tentang Islam di laman islamqa.info. Pertanyaanya ini seputar dosa atau tidak yang ia lakukan.

“Saya Safar pulang ke negeri saya untuk mengisi liburan seminggu. Sehari sebelum bepergian, saya menelepon istri dan saya minta agar tidak berpuasa di hari kedatanganku karena saya ingin berhubungan badan setibanya di rumah karena saya tidak sabaran. (Istriku) taat dan tidak berpuasa. Lalu kami melakukan jimak di siang hari, sementara kami berdua tidak berpuasa, apakah yang kami lakukan merupakan perbuatan dosa?” tanya seseorang dikutip Kamis (21/03/2024).

 

Simak Video Pilihan Ini:


Ragam Pendapat Imam Mazhab

Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Syaikhul Islam rahimahullah telah ditanya tentang seseorang ingin menggauli istrinya di siang bulan Ramadan, kemudian dia berbuka dengan makan sebelum menggaulinya kemudian berjimak. Apakah dia terkena kafarat atau tidak? Dan kewajiban apa yang terkena bagi orang yang berbuka tanpa ada uzur?

Beliau menjawab, “Alhamdulillah, permasalah ini ada dua pendapat dari para ulama yang terkenal. Salah satunya, dia wajib (kafarat) dan ini pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad, Abu Hanifah dan lainnya. Yang kedua, tidak wajib (kafarat), ini merupakan mazhab Syafi’i.

Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah kewajiban penerapan kafarat mughaladzah, disyaratkan apabila jimaknya dilakukan saat sedang puasa yang sah. Syafi’i dan lainnya mensyaratkan hal itu.

Jika seseorang makan kemudian berjimak atau pagi hari tidak berniat puasa kemudian berjimak, atau berjimak dan membayar kaffarat kemudian berjimak, maka dia tidak terkena kafarat (maksudnya menurut Syafi’i) karena dia tidak menggauli pada puasa yang sah.


Ulama yang Berpendapat Tetap Membayar Kafarat

Ilustrasi/copyright shutterstock.com/Kristyk.photo

Sementara yang kuat menurut Ahmad dan lainnya mengatakan, bahkan dia terkena kafarat pada contoh seperti ini. Karena dia diharuskan menahan di bulan Ramadan. Puasanya yang batal seperti ihram yang batal. Sebagaimana orang muhrim dalam haji, ketika rusak ihramnya, maka dia tetap diharuskan melanjutkan dengan (tetap) menahan dari larangan-larangan ihram.

Kalau dia melakukannya, maka dia terkena (kafarat) sebagaimana dalam kondisi ihram yang benar (sah). Begitu juga bagi orang yang diwajibkan puasa Ramadan,ketika diwajibkan menahan dari (pembatal puasa) meskipun puasanya rusak. Karena makan, berjimak atau tidak berniat. Maka dia tetap diharuskan menahan dari larangan puasa. Kalau dia melakukan sesuatu (dari larangan), maka dia terkena sebagaimana melakukan puasa yang sah. Dalam dua kondisi ini, tetap harus diqadha.

Hal itu karena dia melanggar kehormatan bulan yang terjadi pada dua tempat tersebut. Bahkan dalam kondisi seperti ini lebih ditekankan lagi. Karena dia telah berdosa dengan berbuka sehingga dia melanggar dua dosa. Sehingga kafaratnya lebih dikuatkan.

Disamping, jika tidak diwajibkan kafarat dalam kondisi seperti ini, hal itu mengakibatkan tidak ada seorang pun yang (melakukan) kafarat. Karena siapa yang ingin berjimak di bulan Ramadan dia dapat makan (terlebih dahulu) kemudian berjimak, justru dengan itu lebih membantu tujuannya. Itu artinya, jika jimak dilakukan sebelum makan, dia terkena kafarat. Tapi kalau dia dan istrinya makan kemudian berjimak, maka tidak ada kafarat, ini termasuk penerapat syariat yang buruk, tidak diajarkan hal seperti itu." (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, 2/471, Majmu Al-Fatawa, 25/260, Al-Majmu, 6/321).

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya