Liputan6.com, Jakarta - Krisis mubazir makanan bertambah dari tahun ke tahun di Indonesia. Hal ini bukan hanya akan menjadi masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga masalah lingkungan.
Salah satu faktor penyebab krisis mubazir makanan adalah tingginya tingkat pemborosan makanan di berbagai sektor, mulai dari pertanian, distribusi, hingga konsumsi. Hal ini mengakibatkan peningkatan limbah makanan yang tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga berdampak negatif pada lingkungan sekitar.
Advertisement
Menurut informasi yang beredar, Indonesia menempati peringkat empat food waste (sampah makanan) di seluruh dunia, setelah China, India, dan Nigeria.
Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan dalam program Climate Talk Liputan6.com pada Jumat (22/3/2024) mengatakan, "Berdasarkan data tahun 2023, total sampah sisa makanan di Indonesia mencapai 41,7% dibandingkan dengan semua sampah yang ada."
Alasan utama yang mendasari masalah ini, menurut Novrizal Tahar adalah kebiasaan atau habit orang-orang Indonesia yang menyiapkan atau membeli makanan lebih dari yang dibutuhkan oleh tubuhnya.
Berbeda dengan Jerman yang memiliki teknologi dan sistem pengelolaan yang sudah berkembang. Kepala Bidang Iklim dan Lingkungan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Maike Lorenz menjelaskan pengelolaan sampah di Jerman sudah terstruktur dan lebih baik sekarang.
"Di Jerman, limbah dikumpulkan secara terpisah di tingkat rumah tangga, yang berarti limbah makanan sebagian besar dapat dikumpulkan sebagai limbah organik dan kemudian dapat diolah menjadi kompos," ujar Maike Lorenz.
Pada tahun 2020, pembuangan limbah makanan di Jerman mencapai 11 juta ton dan sebagian besar limbah makanan berasal dari limbah rumah tangga, bukan berasal dari restoran atau level kontinental.
Sekitar 59% dari sampah tersebut berasal dari sisa makanan, sekitar 78 kilogram per orang per tahun. Angka ini masih dapat dibilang banyak, karena 1/3 dari limbah ini berasal dari buah dan sayuran yang sudah disiapkan.
Menurutnya, akan lebih mudah menyimpan makanan yang belum diolah dan menggunakannya kembali jika suatu saat dibutuhkan.
"Berbeda jika sayuran dan buah-buahan tersebut masih segar, akan lebih mudah menyimpan makanan yang belum disiapkan karena kita masih bisa mengolahnya dan menggunakannya kembali," jelasnya.
Jurus Jerman Pisahkan Limbah
Tidak ada sanksi khusus yang diterapkan oleh Jerman kepada masyarakat yang melanggar aturan dalam pengelolaan sampah organik, tapi untuk mengatasi masalah sisa makanan yang terus menerus bertambah negara tersebut memiliki jurus pengelolaan sampah yang efektif guna mengurangi limbah sisa makanan dari masyarakatnya.
Maike Lorenz mengatakan para warga diharuskan untuk memisahkan limbah mereka sendiri. Jadi, bagian dari limbah yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kompartemen khusus akan dikenakan biaya pengumpulan tambahan.
Menurut pemaparan Maike Lorenz, limbah organik yang masih dapat dimanfaatkan kembali akan dikenakan biaya pengumpulan yang lebih rendah. Hal ini bertujuan untuk mendorong warga agar lebih memperhatikan jenis limbah yang dihasilkan dan memilih untuk membuang limbah dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan efisien secara biaya.
"Jadi kami memisahkan sampah tergantung jenis nya, bagi sampah yang tidak masuk kategori akan dikenakan biaya tambahan" jelas Maike Lorenz.
Menurut Kementerian Pangan dan Pertanian Jerman, ada Strategi Nasional untuk Mengurangi Pemborosan Makanan yang diluncurkan pada bulan Februari 2019 bertujuan untuk mengurangi pemborosan makanan dari awal hingga akhir rantai pasokan makanan.
Jerman, jelas Maike Lorenz, melakukan pengumpulan data secara terus menerus untuk mengetahui di sektor mana pemborosan makanan dapat dihindari agar dapat merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah efektif untuk mengurangi limbah makanan.
Dengan cara ini, Pemerintah Jerman berharap dapat mencapai target mengurangi pemborosan dan kerugian makanan di Jerman menjadi separuhnya pada tahun 2030.
Advertisement
Inovasi Pengelolaan Sampah di Jerman dan Indonesia Via Aplikasi
Seiring dengan bertambahnya sampah di Indonesia dan Jerman, kedua negara kemudian membuat inovasi untuk mengatasi masalah ini secara bertahap.
Indonesia memiliki 'Surplus Indonesia', aplikasi penyelamat makanan pertama di yang hadir di negara ini, bertujuan untuk mengatasi masalah limbah makanan dengan menjual stok makanan berlebih dengan harga 50% lebih terjangkau melalui beberapa sektor.
Aplikasi ini telah menyelamatkan 100.000 ton makanan dan mencegah hingga 2,3 milliar nilai ekonomi yang hilang akibat pemborosan makanan.
Surplus Indonesia telah mencapai pertumbuhan pendapatan rata-rata 21% setiap bulannya dan tingkat pertumbuhan dari tahun ke tahun hingga. Perusahaan rintisan berbasis teknologi ramah lingkungan ini beroperasi di bebrapa daerah di Indonesia agar menjangkau lebih banyak orang.
Dengan lebih dari 200.000 pengguna aplikasi aktif dan lebih dari 4.000 pedagang makanan dan minuman. Pada tahun 2023, perusahaan rintisan ini menargetkan untuk menghemat 100 ton makanan, menghindari kerugian sebesar 1,5 milliar untuk bisnis, dan mencegah potensi emisi gas CO2 dari makanan yang dihemat.
Jerman sendiri memiliki TooGoodtoGo, aplikasi gratis yang menghubungkan perusahaan katering dengan klien untuk menjual makanan berlebih dengan harga yang jauh lebih murah.
Restoran, toko roti, kafe, motel, dan supermarket dapat menggunakan aplikasi ini untuk menyediakan makanan tambahan bagi konsumen yang mengambilnya sendiri.
Pelanggan membeli dan membayar langsung melalui aplikasi, dan mereka hanya perlu mengambil makanan yang mereka inginkan dalam jangka waktu tertentu.
Pelanggan dapat menyaring makanan dan membayar setidaknya setengah dari jumlah aslinya menggunakan aplikasi, sehingga lebih nyaman.
Kedua aplikasi ini merupakan solusi yang baik untuk mengurangi permasalahan limbah sampah di negara masing-masing.
Inovasi Pengelolaan Sampah Jerman yang Mungkin Bisa Diimpelentasikan di Indonesia
Untuk diketahui, di Jerman terdapat berbagai program yang dilaksanakan untuk mendukung pengelolaan sampah makanan agar tidak menjadi masalah berkelanjutan yang dapat diadopsi di Indonesia.
Salah satunya adalah Pekan Aksi Penyelamatan Makanan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pangan dan Pertanian Federal (BMEL) bekerja sama dengan negara bagian dan mitra lokal.
Pekan aksi ini bertujuan untuk mengumpulkan ide-ide tindakan dari berbagai sektor di sepanjang rantai pasokan makanan, memberikan informasi, serta mempromosikan pertukaran timbal balik.
"Program ini merupakan bagian dari Strategi Nasional untuk Mengurangi Sampah Makanan di Jerman yang dapat diadopsi di negara kita," ucap Maike Lorenz.
Selain itu, di bawah kepemimpinan WWF Jerman, sambung Maike Lorenz, telah dikembangkan sebelas langkah untuk mengurangi sampah makanan, khususnya dalam konteks katering di luar rumah.
"Langkah-langkah tersebut termasuk rekomendasi untuk mengurangi sisa makanan dari prasmanan dengan menggunakan wadah yang lebih kecil dan mengisi ulang prasmanan sesuai kebutuhan. Restoran juga disarankan untuk selalu menawarkan porsi hidangan yang lebih kecil pada menu serta variasi lauk pauk yang bervariasi," jelas Maike Lorenz.
Tindakan ini, imbuh Maike Lorenz, bertujuan untuk menyederhanakan proses penyajian makanan dan penyimpanan, serta mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.
Dengan mengadopsi program-program ini, diharapkan dapat membantu dalam mengurangi jumlah sampah makanan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan makanan secara berkelanjutan di Indonesia.
Advertisement