Liputan6.com, Jakarta - Dalam mencapai eliminasi tuberkulosis (TB) 2030, perlu dilakukan berbagai upaya, salah satunya terapi pencegahan tuberkulosis atau TPT.
Menurut Ketua Koalisi Organisasi Profesi untuk Tuberkulosis (KOPI TB) Erlina Burhan TPT adalah pengobatan yang diberikan kepada orang yang terinfeksi kuman atau mikobakterium tuberkulosis dan berisiko sakit TB. Tujuannya, mencegah agar orang yang terinfeksi kuman tersebut tidak sakit TB.
Advertisement
“Perlu diingat, terinfeksi bukan berarti sakit. Terinfeksi itu artinya ada kuman di dalam tubuh tapi tidak menimbulkan sakit. Jadi, kalau kita menghirup kuman TB di udara biasanya 70 persen tidak sakit, 30 persen terinfeksi tapi enggak sakit juga, cuman ada kuman di tubuhnya, kumannya tidur atau dormant,” jelas Erlina dalam temu media Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia bersama Kementerian Kesehatan secara daring, Jumat (22/3/2024).
Orang yang terinfeksi, lanjut Erlina, meski sekarang tidak sakit, tapi suatu ketika jika ia memiliki risiko untuk jadi sakit TB maka orang tersebut akan sangat rentan.
“Nah, orang-orang risiko tinggi inilah yang perlu diberikan terapi pencegahan. Dan terapi pencegahannya berbeda dengan pengobatan yang lazim kita tahu.”
Sebelum menjalani TPT, orang yang dicurigai terinfeksi TB tapi tidak sakit bisa memastikan kondisinya dengan pemeriksaan IGRA atau periksa darah dan uji tuberkulin atau Mantoux test.
“Kalau Mantoux test-nya positif berarti ada kuman TB di tubuhnya, tapi belum tentu dia sakit. Pemeriksaan ini menunjukkan bahwa tubuh telah terekspos oleh kuman TB.”
Populasi Sasaran TPT
Seperti disampaikan Erlina, orang yang terinfeksi kuman TB tapi kumannya tidur maka tidak akan merasakan apapun.
Namun, kuman yang tidur bertahun-tahun dalam tubuh ini suatu ketika bisa bangun atau kembali aktif.
Lantas, kelompok mana yang kuman TB-nya bisa bangun atau kembali aktif?
Erlina merinci orang yang kuman TB-nya bisa kembali aktif atau disebut pula sebagai populasi berisiko sasaran TPT yakni:
- Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
- Orang yang tinggal serumah dengan pasien TB.
- Anak usia di bawah 5 tahun.
- Anak usia 5-14 tahun.
- Remaja dan dewasa usia di atas 15 tahun.
- Warga binaan pemasyarakatan (WBP).
- Petugas kesehatan.
- Penghuni sekolah berasrama.
- Penghuni barak militer.
- Pengguna narkoba suntik.
- Orang dengan kekebalan tubuh rendah seperti pasien kanker, pasien cuci darah, cangkok organ, dan lain-lain.
Advertisement
Cara Pemberian TPT
Penerima TPT hanya membutuhkan satu jenis obat, berbeda dengan pasien TB yang harus menerima empat jenis obat sekaligus. Ini karena penerima TPT memiliki kuman yang lebih sedikit di dalam tubuh.
Terkait pemberian TPT, sejauh ini di Indonesia ada tiga cara yakni:
- Pemberian isoniazid selama enam bulan atau 6H.
- Kombinasi obat isoniazid dan rifapentine selama tiga bulan atau 3HP.
- Kombinasi obat isoniazid dan rifampisin selama tiga bulan atau 3HR.
“Kombinasi obat isoniazid dosis tinggi dengan rifapentine ini keren banget cukup tiga bulan dan itu pun enggak tiap hari, satu kali seminggu saja selama 12 minggu.”
“Dan kalau itu enggak ada kita bisa pakai kombinasi isoniazid rifampisin tiga bulan saja, tapi ini setiap hari,” jelas Erlina.
Akses Layanan TPT
Jika cakupan TPT tinggi dan terapinya berjalan baik, maka meski banyak orang terinfeksi TB tapi mereka tidak akan sakit, lanjut Erlina. Dia pun menjelaskan bagaimana cara mengakses layanan TPT.
“TPT bisa diakses di FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) khususnya di puskesmas dan diberikan secara gratis, ingat ya gratis.”
TPT menjadi hal penting lantaran terbukti memiliki pengaruh baik terhadap penurunan kasus tuberkulosis. Beberapa pengaruh TPT terhadap eliminasi tuberkulosis yakni:
Penelitian skala nasional di Inggris menemukan bahwa TPT mengurangi risiko TB sebesar 24-86 persen pada seluruh populasi berisiko, termasuk yang terdiagnosis TB laten.
TPT terbukti mengurangi risiko TB atau kematian akibat TB pada pasien HIV yang rutin mengonsumsi ARV hingga 60 persen.
Pasien anak yang mengonsumsi TPT mengurangi risiko TB hingga 82 persen.
Advertisement